Laman

Senin, 15 Februari 2010

OSPEK menyimpan cerita

Cinta itu datangnya tidak dapat ditebak. Mungkin kita yang tadinya sebal menatapnya, tapi begitu ada sesuatu yang menarik dari dirinya, entah itu sebuah kelebihan, kekurangan atau bahkan suatu kesalahan, kemudian kita tiba-tiba menjadi terpesona dan terpikat.Itu pulalah yang terjadi padaku beberapa minggu yang lalu, mungkin hanya sebuah kisah cinta lokasi tersingkat yang kumiliki. Tapi, selalu terkenang hingga saat ini.Pertama kali melihatnya, dengan penampilannya yang agak sedikit “preman”, rambut semi gondrongnya, tampangnya yang biasa-biasa saja, ditambah fakta kecil bahwa agamanya berbeda dengan agamaku (bisa ditebak lewat namanya), membuatku tak begitu mengacuhkannya.
Tapi, suatu kali kudengar dia salah berucap, membuatku tersenyum geli dan bahkan ada juga beberapa dari temanku yang tertawa. Entah kenapa mulai saat itu sedikit demi sedikit aku mulai memperhatikannya.
Ku tatap wajahnya, semakin ku teliti setiap inchi dari wajahnya, semakin terpancar aura yang tadinya terpendam. Wajahnya yang tadinya terlihat biasa-biasa saja dan sedikit menjemukan, sekarang menjadi terlihat manis dan menarik. Gayanya yang gokil dan bebas, menumbuhkan bunga-bunga kartun di hatiku yang semakin berhamburan.
Aku hanya punya waktu empat hari untuk leluasa memandangi wajahnya. Hari kedua dan hari ketiga, selalu kucari sosoknya, entah hanya sekedar memandang untuk membangkitkan desiran hangat yang terasa nikmat mengalir di pembuluh darahku. Atau hanya dapat merekam cintaku padanya dalam sebuah buklet yang setiap waktu harus ku bawa. Aku memilih berdenyut dalam diam, memilih menggambar wajahnya, memilih menjadi zombie hidup yang dibakar impuls cinta terpendam ini.
Dan hari keempat, hari terakhir untukku bisa leluasa memandangi wajahnya, di malam konser band. Aku merapatkan posisiku mendekat ke arahnya. Tapi, sesuatu yang aku khawatirkan muncul, sesuatu yang seharusnya dari awal sudah bisa kuduga. Sesosok gadis yang entah seperti apa wajahnya, tak dapat ku pandang karena membelakangiku. Gadis itu berhadapa-hadapan dengannya sambil bertukar senyum manis.
Teman-temannya yang ada disampingnya menyunggingkan cengiran lebar sambil mencibir,
“Pacar kamu nih?” yang kemudian disambut tawanya.
Aku yang berdiri hanya ± 2 meter dari posisinya, sedikit demi sedikit mulai menarik diri menjauh, menyeret tubuh yang terinjak kalah ini sambil membawa sedikit rasa perih di hati, menelan pahitnya segelintir kekecewaan.
Bunyi drum yang menghentak di malam konser band itu, membuatku berusaha mencari pelepasan sesak di hati yang ditimbuni beban yang kian penuh dan membuatku penat.
Aku juga mencari pembenaran, mungkin dia bukan untukku, mungkin aku tak punya kesempatan untuk lebih dekat dengannya dan kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Aku kembali tersentak, bunyi drum yang kian menggelegar, menggedor detak jantung sehingga membuatku berani berjoget di tengah kerumunan teman-temanku yang mulai melompat dan bersorak. Mengimbangi suara sang vokalis yang berteriak serak, membuat batinku sedikit lega.
Dan sosok itu kembali hadir, ikut berjoget mendekat ke arahku. Membuatku kembali menatap dan mengaguminya. Pesonannya yang begitu kuat membuatku harus bersusah payah untuk tidak mengharapkannya.
Rambut semi gondrongnya yang kini sudah acak-acakan, peluh yang sudah banjir membasahi kening, leher dan badannya yang telanjang dada. Membuatku tak berkutik.
Aku tak mau mendekat, tapi aku juga tak mampu menjauh. Aku tak bergeming sedikitpun, hanya dapat sesekali melirik ke arahnya hanya untuk memastikan keberadaaannya. Tapi, tak urung sesekali bahuku dan bahunya bersenggolan saat berjoget, membuat desiran hangat itu kembali mengisi kekalutan hatiku.
Tak sanggup dengan suasana seperti ini, aku beringsut untuk pulang. Tanpa memandangnya lagi, aku memaksakan kakiku untuk melangkah pergi dari sana, berusaha menarik langkah dan hatiku untuk pergi menghindarinya dan berusaha mengecupkan selamat tinggal untuk ketidakjelasan perasaan ini.
Aku tahu, aku sadar diri. Sudah ada gadis lain yang dia puja, sehingga aku sekarang terus berusaha belajar melupakan auranya. Setidaknya, kubuat garis pemisah yang begitu jauh, karena aku tak mau menyakiti hatiku dengan harapan-harapan yang mustahil. Mungkin aku harus tak memandangnya lagi, mungkin aku harus tak bertemu dengannya lagi.
Siangnya, saat aku kebetulan mampir ke kampusnya untuk menemani temanku mengambil barang. Aku melihat dia, duduk berkumpul dengan teman-temannya. Shit! gumamku kesal sambil menarik lengan temanku, mengajak temanku mencari jalan lain agar tak bertemu dengannya. Dan kisah cinta ini berakhir sampai sekarang. Entah untuk besok? Entah pula untuk lusa?