Laman

Selasa, 29 April 2014

(Gas) Air Mata yang Bercerita

Oh PSS, PSS elang jawa,
Dimanapun aku mendukungmu..

Sore ini laga derby Jogja, mempertemukan dua klub besar yang berada dalam satu kota istimewa tercinta. PSS dan PSIM. Apa sih yang terlintas dalam pikiran orang ketika mendengar derby jogja? Bentrok. Yes. Bahkan seorang temanku berkali-kali terus saja ingin memastikan keadaan di stadion untuk mengetahui ada bentrokan atau tidak, belum lagi parno-nya pada segala macem batu, sajam dan entah apa lagi yang ada dalam pikirannya.

Pagi ini diawali dengan muter-muter pasar beringharjo untuk menemani temanku mencari kemeja putih yang akan dia kenakan sewaktu ujian pendadaran (gek aku kapan???). Setelah itu meluncur ke kampus untuk menemani temanku yang lain pendadaran (aku kapan caaahhhh???). Ketika temanku masuk ruang ujian, aku beburu kabur untuk bersiap ke sleman, sebelumnya mengambil cetakan buku di fotokopian.

Panas yang sungguh semlenget,  membuat kepalaku yang sudah pusing semakin nggliyeng saja. Tapi mau gimana lagi, demi PSS. Ketika menuju stadion, sudah terdengar riuh chant di dalam stadion, entah suporter yang mana, tapi suaranya cukup menggelegar. Tak sabar, kami bergegas masuk ke tribun.

Awalan yang cukup kondusif, menghilangkan segala persepsi buruk tentang derby jogja ini. Tapi baru berapa menit berlalu, tribun timur dan tribun utara terlibat bentrok. Yang mencuri perhatianku dan teman-teman adalah keberadaan dua orang yang duduk anteng diantara bentrok tersebut. Dan yang membuat kami berang adalah polisi penjaga yang tak kunjung meredakan bentrok dan mengondisikan situasi, mereka justru menonton bentrok tersebut. Sebelum akhirnya suporter tribun selatan mengecam lantang kelambanan mereka, akhirnya mereka bergegas menuju tempat kejadian.

Usai reda sebentar, kembali ricuh di babak kedua. Kali ini karena pelemparan botol air dan bom asap ke tengah lapangan. Semakin menjadi saja, entah siapa yang memulai, tapi tribun timur dan tribun selatan kali ini yang menjadi tempat kejadian bentrok. Polisi nampak mencoba meredam. Terdengar bunyi berdenting keras, ternyata itu adalah pecahan keramik yang terbentur pagar tribun dan tembok tribun.

Suasana kian memanas, dan ada beberapa orang yang terluka, mereka dibopong dengan tergesa-gesa melintasi pagar tribun menuju ruang kesehatan. Aku yang berada di tempat aman, hanya bisa bernyanyi lantang untuk meredam keadaan. Meski beberapa orang disekitarku tak bersuara, aku terus mengikuti nyanyian capotifo.

Ketika peluit panjang berbunyi, tanda pertandingan berakhir, terlihat Kristian Adelmun yang memprotes wasit, hingga wasit harus diamankan. Hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk PSS.

Ketika tengah sibuk memantau keadaan, hidungku serasa tertusuk-tusuk bau yang cukup tajam, seperti bau bubuk merica. Tak ayal beberapa kali aku bersin. Ku pandangi orang-orang disekitarku yang sibuk menutupi hidungnya, aku masih belum mengerti. Ketika menyadari mataku mulai terasa perih, temanku nyeletuk bahwa ini adalah gas air mata. Buru-buru kami mencari air untuk mengusap muka.

Ah, baru sekali ini aku merasakan gas airmata, dan rasanya begitu lucu. Memang kebetulan ditempatku tidak begitu pekat, tapi tetap terasa. Seperti inilah rasanya. Gas airmata, menjadi lantaran atas menitiknya airmata kami untuk PSS Sleman.

Aku ra ngerti piye ceritane, arepo aku melu neng stadion, aku ning tempat aman, dadi gor iso ndelok seko kadohan. sik penting kabeh tetep sedulur, ora ono dendam. fokus ning klub masing-masing.

Kalian kuat, kalian hebat, kalian harus semangat.

Maaf telah mengecewakan kalian, terimakasih sudah berjuang.


Jayalah PSS Sleman~

Rabu, 23 April 2014

Seikat Senja di Sewon Indah

Senja kali ini akan terlewati dengan syahdu di salah satu sudut kota Jogja, lebih tepatnya di wilayah kota Bantul bernama Sewon. Di sebuah tempat yang disebut Bale Black Box, sudah hampir seminggu lebih berkutat diruangan tersebut. Keren banget tempatnya, begitu masuk sudah disambut rumpun bambu yang berbaris rapi, kemudian diapit oleh sawah, bila senja datang, matahari berkilau tepat dihadapan. Malam hari apalagi, suara binatang malam mengusik sunyi, bahkan gemintang tak ketinggalan untuk memberi sedikit warna terang dalam gelap kami.

Lelah memang sudah membayang sejak sebulan terakhir, dan kegiatan ini akan berlangsung sebulan penuh, sudah terbayang kan seperti apa tumpukan lelah yang terpendam ini? Mana boleh aku mengeluh, yang hidupnya lebih syahdu dari aku saja tak pernah menghujat keadaan. Mana boleh aku kalah dengan mereka.

Dan hari ini, tepat pada tanggal 23 April 2014, BookLover Festival akan resmi dibuka. Kemudian persiapan sudah matang "sempurna". Entah sempurna seperti apa yang aku maksud, tapi yang aku tahu, semua begitu mengejutkan dan menakjubkan. Di luar dugaan.

Belum lagi kejadian hari ini sejak pagi hingga sekarang. Pagi tadi, bangun dari tidurku, dan hanya sempat cuci muka, aku teringat ada janji dengan temanku untuk bertemu dengan dosen pembimbing di kampus biru. tepat jam delapan dia datang, aku masih sibuk dengan netbuk dan mukaku. Masih semrawut, aku membangunkan temanku untuk meminta parfum. Sret~sret~sret. Sudah cukup untuk menyembunyikan bau naga.

Sesampainya disana, skripsiku ditolak. Beuh, sudah biasa. Lalu meluncur ke salah satu tempat fotokopi di kampus negeri lainnya untuk mencetak buku yang diminta dosen pembimbingku tadi. Dan habis sudah uang jajanku bulan ini. Okelah, ikuti saja keinginannya. Aku hanya mengikuti alurnya. Let it go with the flow. Jarene.

Sesudah itu kembali ke basecamp, disana sudah disambut oleh salah satu anggota magang untuk mencicipi produk kecapnya yang katanya dicampur dengan tinta cumi-cumi. Sudah terbayang seperti apa rasanya. Aneh. Fix absurd sekali.

Akhirnya aku putuskan untuk pulang ke kost. Tidur dan mandi. Sms berdatangan, dan tidak kuacuhkan. Sore datang, sudah waktunya untuk kembali berkutat dimarkas. Bolak-balik nge-print daftar buku tamu, sampai mas-mas penjaga printer yang cute itu mungkin sedikit bertanya-tanya oleh ke-warawiri-an aku dan temanku. Belum lagi sendalku yang lepas, dan tidak bawa uang lebih, akhirnya kembali bolak-balik dan dengan cekeran aku membeli sendal dan langsung memakainya.

Syahdu pokoknya. Dan kisah tentang senja itu mungkin masih akan berlanjut hingga malam nanti. Mari kita tunggu perkembangannya.

Senja hari ini.

Senja esok hari.

Dan senja untuk kesekian kalinya.



Senin, 21 April 2014

Sebuah Kisah tentang Madiun

Menurut jadwal, hari ini PSS akan bertanding di Madiun. Timeline twitterku sudah dipenuhi dengan kabar awayday. Rasanya pengen banget ikut, tapi kerjaan disini sedang tidak bisa ditinggal. Alasan again. Yes. Tapi, tandang kali ini mengingatkanku, tentang Madiun.

Duh, pernah kesana aja belum, tapi mungkin tidak akan pernah kesana. Ijin untuk kesana dipastikan sangat-sangat tidak mungkin. Kenapa? Ya karena sebuah kisah yang sedikitnya membuat beberapa orang disekelilingku merasa terluka. Apalagi aku.

Mungkin dalam fikiran orang-orang disekelilingku tadi, Madiun adalah tempat terlarang untukku. Tempat yang tidak akan pernah mereka perbolehkan untuk aku kunjungi. Kalau bukan dengan cara sembunyi-sembunyi.

Kisah itu tidak akan kukisahkan disini, meski judulnya seperti itu, dilarang kecewa yes?

Laga tandang selalu membawa cerita seru, selalu seperti itu. Sekarang menunggu para pengawal dan punggawa pulang dari medan laga. Menunggu oleh-oleh poin penuh.

Tentang Madiun tadi. Lupakan.

Super elang jawa teruslah berjuang.

Minggu, 20 April 2014

Emansipasi yang Basi

Membahas Kartini seakan tidak ada habisnya, tiap setahun sekali selalu ada satu hari dimana pembahasan tentang Kartini terus dikuliti. Mulai dari pemikirannya mengenai emansipasi wanita yang hingga hari ini masih saja nampak kabur.

Bagaimana tidak, perempuan jaman sekarang salah kaprah menanggapi keberadaan emansipasi. Kesetaraan gender katanya. Mereka menuntut laki-laki untuk menganggap tingkatan mereka sama, namun tetap saja perempuan selalu menganggap bahwa laki-laki yang membiarkan wanita bekerja adalah sebuah kejanggalan.


Itu hanya sebagian kecil dari keambiguan emansipasi. Bukan maksud aku menyalahkan perempuan, hanya mencoba membimbing pandangan mereka mengenai emansipasi yang terus saja mereka perjuangkan, namun ketika mereka dapatkan, dicampakkan begitu saja.

Dewasa ini, perempuan sudah mendapatkan kebebasan untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, mendapatkan pekerjaan diluar rumah, dll. Apalagi yang kurang? Apalagi yang mereka inginkan? Kesetaraan yang seperti apalagi yang belum mereka dapatkan?

Yang menjadi pertanyaan aku disini sebenarnya adalah, kenapa harus selalu membahas emansipasi di hari Kartini? Kemudian jawaban klise muncul, karena Kartini adalah tokoh emansipasi wanita, tokoh yang menginspirasi perempuan Indonesia untuk memberontak kodrat mereka.

Ya, mereka yang dulunya hanya sebagai konco wingking, kini sudah bisa menjadi seorang direktur dimana karyawannya mungkin saja sebagian besar adalah kaum Adam. Boleh saja berbangga diri, bagaimana tidak bangga? Mereka telah berhasil memperjuangkan emansipasi yang digadhang-gadhang Kartini sejak dulu.

Tapi, apakah pembahasan mengenai Kartini hanya sebatas emansipasi atau kesetaraan gender? Tidak kan? Pembaca pasti mengerti latar belakang Kartini yang masih mengalir darah biru ditubuhnya, dengan gelar Raden Ajeng, Kartini adalah perempuan bangsawan. Dalam diri seorang bangsawan selalu menjunjung tinggi adat budaya dan tata krama.

Kembali lagi membahas emansipasi, itu memang melanggar adat budaya jamannya. Tapi, menurut pandanganku, Kartini tengah membentuk budaya baru, budaya belajar. Belajar tentang apapun, sehingga perempuan tidak dianggap lagi sebagai kaum rendah dan lemah.

Tapi mengenai tata krama, ternyata sedikit terlupakan dari pembahasan emansipasi. Perempuan boleh saja memiliki pangkat lebih tinggi dari laki-laki, tapi secara kodrat mereka tetap mengabdi kepada laki-laki. Keadaan seperti itu tidak dapat diubah, sudah paten.

Sebenarnya aku ingin mengalihkan pembicaraan dari emansipasi yang ujung-ujungnya hanya membahas kesetaraan gender yang ambigu antara perempuan dan laki-laki, kemudian kita berbicara tentang tata krama, tentang perempuan itu sendiri.

Masih ingat dengan peristiwa kecaman media sosial kepada Dinda yang marah kepada seorang ibu yang tengah hamil karena menyerobot tempat duduknya. Banyak yang menghujatnya, ada pula yang membelanya, yang cuek dan tak acuh pun tentu saja ada. Melihat hal ini, sudah sepatutnya kah perempuan menuntut emansipasi? Sementara dengan sesamanya masih saling menghujat dan membedakan?

Kasus ini sebaiknya dipandang dari berbagai macam pandangan, maka akan tertemu apa yang sebenarnya harus diperbaiki.

Ketika Dinda melihat kasus ini dari sisinya sendiri, maka sudah pasti ibu itu salah karena menyerobot tempat duduknya. Ditambah dengan pembelaannya dimana dia juga tengah sakit karena tulangnya bergeser sehingga membuatnya harus bangun pagi kemudian mengarungi jarak dengan berganti-ganti angkutan, maka dia merasa keadaan tersebut tidak adil. Dia yang sudah berupaya sekeras itu harus menelan ludahnya ketika mendapati harapannya sia-sia.

Namun, jika dilihat dari sudut pandang ibu hamil, maka kasus tersebut memang seharusnya terjadi. Terbayang kan seberapa beratnya beban ibu hamil? Perutnya membesar, belum lagi lelah dan letih yang mudah menghampiri, sudah pasti mendapatkan hak yang lebih istimewa. Sudah sering mendengar kan kisah seorang ibu hamil ngidam kemudian mendapatkan hal yang ia idamkan secara cuma-cuma? Seperti itulah istimewanya mereka. Berat loh menyimpan satu nyawa yang dititipkan sang Khalik.

Apabila dilihat dari pandangan masyarakat, sudah pasti akan berpihak kepada ibu hamil, seperti apapun itu keadaannya. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa memang kerap ada orang yang berpura-pura hamil hanya untuk mendapatkan tempat duduk, menyebalkan memang. Tapi hati nurani tak pernah dapat diingkari, benar atau tidak kehamilan itu, secara fisik orang tersebut akan mendapatkan perlakuan istimewa.

Nah, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum sosial itu lebih kuat dan lebih kejam. Sebagai seorang perempuan, sudah pasti hati nuraninya tergerak untuk menolong kaumnya apabila mendapatkan kesusahan. Hanya saja, dalam kasus ini, kedua wanita ini sama-sama mendapat kesusahan. Jadi sebenarnya siapa yang salah?

Sebelum pembaca menghakimi siapapun, entah itu Dinda atau pun ibu yang hamil, perhatikan lah, dari sekian banyak orang yang duduk disana apakah semuanya hamil? Apakah semuanya sakit? Tidak kan? Jadi kenapa bukan mereka yang membagi tempat duduk?

Semua kembali kepada pribadi masing-masing. Dengan semangat Kartini ini, hari ini, bulan ini, tahun ini, mari kita merenungi, bahwa bukan hanya emansipasi yang harus kita capai, tapi juga kemaslahatan bersama antar sesama wanita.

Seorang wanita tidak akan membiarkan wanita lain menderita.

Kalimat tadi petikan dari salah satu judul film India favorit saya.


Jumat, 18 April 2014

Membagi Waktu untuk Banyak Cinta







"Jika buku adalah kekasih,
Jamahlah hingga kau dengar rintih
dan derak perih
tiap lembar yang kau pilih"



Untuk sementara, aku tak berbicara tentang bola. Duh, bukan aku menduakan atau mentigakan, atau bahkan menyekiankan cintaku. Tidak, semua imbang, sama rata sama rasa.

Kali ini aku akan berbicara tentang kecintaanku pada buku. Dan sekarang mulai menjadi kebiasaanku, dan ditambah lagi sebulan kedepan akan berkutat dengan buku, buku dan buku. Acara #BookLoversFest yang diselenggarakan oleh Radio Buku menarik perhatian temanku dan menarikku untuk turut andil sebagai relawan.

Padahal kau tahu, masih terbayang-bayang tanggung jawab yang masih dipundak makin berat saja, dua jenis tugas akhir yang harus segera ku akhiri dalam bentuk majalah dan skripsi. Ah, tidak mudah memang, tapi ini cukup menantang.

Kegiatan itu berlangsung selama sebulan, per harinya dimulai dari pukul satu siang hingga pukul sepuluh malam. Kinerjanya pun terus dilakukan secara kontinyu. Kemudian kami harus bergantian jaga, membagi waktu dengan jadwal yang tersedia. Dengan begitu banyak pertimbangan, kami mulai berbagi.

Minggu ini kami tak bisa mengikuti karena acara besar yang harus kami selenggarakan, musyawarah anggota, untuk benar-benar menjadi sebuah penghabisan atas salah satu tugas akhirku. Kemudian jadwal kampus tak lagi membayangi karena pagi hari masih banyak waktu untuk berjibaku. Kegiatan mengajar les private pun tak luput dari pertimbangan, perhitungan waktu harus tak luput agar semua sesuai rencana.

Dan lagi yang harus tak boleh tertinggal, jadwal laga bola. Kami memusatkan pada jadwal kandang yang masih bisa terjangkau dengan bolak-balik dalam hitungan waktu. Stadion Maguwoharjo, Stadion Mandala Krida. Ya disana kami menjadikan sebuah perhitungan untuk pengaturan jadwal.
Kebetulan ada jadwal kasar tanpa perkiraan pukul berapa laga berlangsung menjadi acuan, setiap ada laga, maka kami memilih masuk shift pertama. Memberikan jeda waktu untuk menuju tempat super elja berlaga.

Sudah terbayang betapa sibuknya kami dengan seabrek rutinitas yang sebelumnya sudah padat merayap. Dan dalam kepalaku ini, sudah beterbangan ribuan kunang-kunang yang mencoba hinggap sembari menyesakkan sejumlah pikiran yang semakin terasa pengap.

Tapi semua harus dijalani. Semua harus seperti yang sudah aku putuskan untuk terlewati dengan lapang dada. Dari sana nanti, pasti akan banyak yang dapat aku pahami, ilmu, buku, akrabnya sekat lingkup ruang dan waktu.

Dan kecintaanku pada yang tersebut tak memudar atau pun surut. Tapi setara. Sama rata sama rasa.

Selasa, 15 April 2014

Aku dan Cinta yang Berlaga








"seiring jejak langkahku, mendukung supereljaku,
jangan pernah kau ragu, kamilah pendukungmu,
satukanlah tekadmu, kobarkan semangatmu,
jadilah yang nomer satu, itulah yang kumau..."



Sejak seminggu yang lalu, badan sudah memaksa untuk istirahat, tapi apa daya, keadaan tak memungkinkan. Hari minggu pun ketika aku pulang kerumah, tak ada waktu untuk istirahat, bahkan untuk sekedar kerokan pun hari mencuri waktu disela-sela kesibukan. Tamu syukuran datang bergiliran, sehingga waktu untuk beristirahat semakin tak berkurang.

Dan hari selasa, menjadi hari dimana aku harus benar-benar sudah berada dijogja, ada janji yang harus ku tepati. Dengan badan masih tak karuan rasanya, aku memaksakan diri untuk turun. Siap datang ke stadion untuk melihat pertandingan klub tersayang.

Meski tetap saja ada sedikit halangan, harus mengajar les sebentar sebelum akhirnya ke sleman. Dan waktu memang terasa begitu singkat, tak ada jeda untuk berangkat. Dan tahukah kamu, semalam menjadi malam yang sangat menyenangkan. Diantara cahaya rembulan, kemudian kerumunan suporter yang bersuara lantang.

Oh iya, aku sempat lupa, tidak memberi kabar pada anak-anak komunitas Brigata Della Sud Montagna. Mereka sudah ada di tribun selatan, sudah bersiap di belakang gawang, sementara aku masih celingukan, mencari tempat yang masih luang. Dan tempat itu di pojok barat atas, aku hanya mampu memandangi giant flag yang berkibar, mencari giant flag milik mereka.

Sms itu muncul, aku yang masih sibuk bercerita dengan temanku, dan ternyata aku salah memberitahu posisiku, ku bilang aku berada di utara. Maklum waktu itu aku sedang memberitahu temanku tentang posisi suporter yang ada di utara dan selatan. Dan maklumi juga, aku disana buta arah, timur ku kira barat, barat ku kira timur, selatan ku kira utara, utara ku kira selatan. Ketika pertandingan hampir usai, sms itu muncul lagi dan berbunyi, kau jadi slemanona saja, hahaha, waktu itu aku masih tak menyadari kesalahan pengertian itu, barulah aku mengerti, ternyata aku keliru memberitahukan posisi.

Oh iya, pertandingan semalam benar-benar menakjubkan. Dengan segala koreo seluruh tribun dan permainan punggawa PSS Sleman, aku benar-benar terpuaskan. Suara lantangku, gegap gempita itu, terima kasih.

Sepulang darisana, badanku sudah semakin tak karuan rasanya. Semakin lemah tak berdaya. Tapi tetap saja, dalam hati terasa lega, lega yang tak terkira.

Terus berjuang super elja, jayalah PSS!

Jumat, 11 April 2014

Api Cinta dalam Sekam Hati






"hati ini sepi
tak ada lagi kamu
sudah tak ada lagi
cinta untukmu"



Aku tak mau menyatakan perasaan ini. Aku tak mau ada yang merasa sakit hati, atau terluka kemudian berlalu pergi. Mungkin memang kita sama-sama saling cinta, tapi apakah tidak lebih baik untuk menyimpan perasaan saja. Sakit memang, perih memang, sesak memang. Tapi bukankah itu jauh lebih nyaman daripada hubungan yang terbina selama ini berantakan?

Ku akui aku memang egois dengan segala perasaanku. Aku tak peduli dengan perasaanmu. Tapi tahukah kamu, masih ada perasaan orang lain disana yang harus ku jaga, kamu jaga, kita jaga. Dan itu tak sekedar hanya menanyakan, “apa kamu baik-baik saja?” tidak, itu tak berhenti sampai disitu. Biar saja kukorbankan perasaan ini saja, dan begitu juga dirimu.

Meski aku tak tahu, entah sampai kapan aku mampu menyembunyikan rasa ini. Bahkan mungkin hingga saat ini kamu pun tak menyadari. Aku hanya mencoba, menjaga yang memang masih bisa ku jaga. Kau tahu, jika aku mau sudah sejak dulu ku utarakan rasaku. Tapi, menimbang keadaan yang tidak memungkinkan, mungkin aku memilih melarikan diri dan mencari pelarian.

Tapi tahukah kamu, dengan segala pengorbanan ini yang kurasa benar, tetap saja ada banyak hati yang tanpa sadar ku lukai. Aku tidak pernah memahami bahwa permainan ini sudah terlalu jauh ku lalui. Jahat memang aku, tak punya hati memang aku, egois memang aku. Tapi semua ku lakukan hanya untuk menjaga keseimbangan hidup yang memang sudah seharusnya seperti ini.

Tapi kini aku semakin ragu, dengan segala perasaan yang dulu kau akui padaku. Kurasa itu tak berbeda dengan semua lelaki yang pernah ku temui. Ucapan mereka pada semua wanita rasanya tak jauh berbeda. Dan aku hanya mampu kembali meratapi dan mengubur sisa cinta ini di raga yang sudah tak bertumpu. Tak berpegangan pada apapun atau siapapun.

Ketika kau nyatakan hatimu terluka, taukah, hatiku sudah lam terluka jauh sebelum kau mengatakan bahwa hatimu terluka. Dan mungkin saat ini, hati yang semula ku miliki sudah tak berbentuk lagi, dan tak berada lagi ditempatnya. Aku mati rasa. Aku tak lagi punya cinta.

Yang mampu ku lakukan saat ini hanyalah diam, diam dan mengamati, apalagi yang akan kau lakukan untuk mengimbangi langkahku. Kau katakan aku boleh pergi bebas, jauh seperti pengelana, tapi tetap saja kau menarikku kembali, untuk berteduh dihatimu yang sudah sesak berpenghuni. Harus dimana aku duduk atau menepi?

Mungkin kita hanya bisa seperti ini, hanya sebagai dua hati yang tak pernah bisa saling membagi. Aku sudah tak tahu harus berbuat apa, cinta ini sudah habis menguar bersama rasa percaya, dan yang tersisa hanyalah harapan kosong yang kini tak lagi memiliki arah untuk menuju.

Bolehlah sebentar saja kau fikirkan, hati siapa yang sebenarnya sudah dipermainkan. Aku kah? Kamu kah? Dia kah? Mereka kah?

Ah, aku lupa, hati yang dulu pernah mengisi tubuh ini sudah lama menghilang, bersama kepulan sayang yang terbuang.

Tirai Hujan dan Rindu yang Berjatuhan





//
deras, hujan yang turun
mengingatkanku
pada dirimu,
aku masih disini,
untuk setia
//



Malam ini, dapat kuhitung berapa rindu yang bergulir dalam hati. Rindu ini, tinggal menghitung hari untuk terobati. Ah, mungkin bukan terobati, tapi semakin bertambah, bertambah, dan semakin bertambah lagi. Seperti cintaku, yang tumbuh setiap hari.

Empat hari lagi. Dihitung mundur sudah sejak beberapa minggu terakhir. Dan kini, semakin mendekati, semakin menghampiri. Kalian tahu kan siapa yang kubicarakan. Iya, PSS Sleman. Duh, kalian sungguh perhatian.

Hari ini, sembari menikmati rindu ini, ditemani semangkok mie, segelas cappucino caramel blendy, segelas air putih, aku mulai bercengkerama dengan perasaan yang kurasa sejati. Kembali lagi pujangga ini berpuisi. Tapi, apalah arti indahnya kata-kata yang terangkai, jika dibandingkan dengan sejuta rasa dalam hati, lebih.

Masih berkutat dengan dunia maya, demi melihat berita, apa yang sebenarnya terjadi pada super elja. Kemudian gemuruh itu datang, menghapus ingatan tentang kamu dan lamunanku. Iya, aku harus bergeser tempat, agar layar ini tidak dipenuhi embun dan timbunan titik air yang melekat.

Kupandangi kananku, tirai hujan berpadu dengan cahaya lampu, kemudian menampilkan rimbunnya daun bambu. Oh, sungguh syahdu. Kau tahu yang kuingat saat ini apa? Yang kuingat saat ini adalah saat PSS Sleman berlaga, final dengan Lampung FC. Saat itu hujan kan? Ya, aku sangat suka perasaan saat itu. Tak peduli hujan yang mengguyur, angin yang menggebur, kemudian gelegar suara guntur. Apalagi ketika peluit setengah pertandingan berbunyi, kemudian para lelaki yang ada didepanku dengan santainya membuka kaos mereka, sungguh seksi (abaikan pernyataan ini).

Dan malam ini, sekali lagi aku bermimpi, untuk segera esok pagi, kemudian esok pagi lagi, dan esok pagi lagi. Peluit itu akan berbunyi, kemudian pesta roll paper menghujani, nyala flare menerangi, gegap gempita kembang api. Duh, jadi kangen pengen ngechant lagi.

Sudah kusiapkan suara ini untuk lantang bernyanyi. Semoga tidak kena radang tenggorokan lagi. Aku tak mau hanya makan bubur atau bakso kuah lagi. Hahaha.

Semangatku untukmu Super Elja. Cintaku akan selalu dan sepanjang masa. Mari bernyanyi dan lantangkan suara. Agar PSSku menjadi juara.

Welldug~


Senin, 07 April 2014

Segelas Cappucino dan Sebuah Bukti Cinta










//Aku masih disini,
kan tetap disini
bersama PSS//
Mahmud Abas - Anang Hadi



Senin, 07 April 2014.

Hari ini mungkin jadi hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh pendukung klub bola lokal dari bumi Sembada, PSS. Seluruh Sleman Fans menunggu soft opening launching album kompilasi berjudul “Untuk PSS”. Dan saat ini, aku juga sedang streaming Elja Radio untuk dengerin launchingnya sambil ngopi bareng temen-temen.

Semua berawal dari motivasi kuat Sleman Fans yang mandiri menghidupi, dari PSS untuk PSS. Rasa kekeluargaan memang sangat kental terasa di supporter PSS. Dari BCS, Slemania dan seluruh Sleman Fans yang tersebar diseluruh penjuru Indonesia. Dan seluruh kecintaan itu kini terjadi dalam sebuah keping CD album kompilasi.

Sebulan yang lalu, lebih malah, sudah digelontorkan medley promo album. Penggalan dari beberapa lagu yang dikumpulkan jadi satu itu benar-benar menumbuhkan sebuah kerinduan yang besar bagi penikmat sekaligus pendukung PSS. Rasa rindu kini mulai menemukan tempat untuk bermuara, melajur dalam sebuah arus deras menuju dua kata untuk cinta pada tiga huruf, mandiri menghidupi PSS.

Segelas Cappucino Caramel Blend yang sungguh lembut dan nikmat itu menemaniku streamingan. Dengan headphone terpasang ditelinga, kemudian temanku yang lain mulai berjibaku dengan dunia mereka, apalagi tiga piring yang berisi pisang coklat bakar, french fries, dan jamur crispy begitu menggoda untuk dinikmati.

Kusesap kelembutan cappucino sembari mendengar lagu-lagu yang ada di album kompilasi diputar Elja Radio. Dingin memang cappucinonya, tapi kehangatan tetap saja mengalir dalam hati karena cinta yang begitu menggelora, ah, kalian tahu kan rasanya jatuh cinta? seperti itulah. Dan kini, rindu itu tertemu, promo medley yang hanya sepenggal dan menyisakan misteri itu kini dibuka secara bertahap dan perlahan. Semakin membara saja cinta ini. Eh, jangan kau kira aku hanya mampu mengindahkan kata, tapi memang begini lah cinta, sesakit apapun yang terasa, tetap saja nampak keindahannya.

Ketika jam sudah menunjukkan pada kami sudah waktunya untuk beranjak pergi, aku menutup netbukku dengan berat hati, menghitung waktu perjalanan yang akan kami tempuh, mungkin itu sepanjang satu lagu. Benar saja, sampai di basecamp kesayangan, lirik terakhir masih sempat kudengar. Beruntung, ucapku dalam hati.

Rela menginap di basecamp, karena sudah tidak mungkin aku kembali ke kostan, pintu gerbang pasti sudah terkunci dan aku memang harus singgah sejenak disini. Sudah biasa.

Tapi tak ada yang kusesali, aku justru menyesal kalau tak lagi mendengar suara merdu mereka bernyanyi, melantunkan nada cinta pada PSS Sleman. Ah, cintaku, sejati tak akan pernah mati. Cinta ini, selamanya.

Tak usah kau tanya kapan aku mulai menggetarkan rasa cinta, memang masih mula, tapi untuk selamanya.

Dan kini masih kunikmati, kidung untuk super eljaku. Teruslah berlari, kembangkan sayapmu hingga puncak tertinggi. Dengarlah kami lantang bernyanyi, mendukungmu, sampai nanti, sampai kami mati.