Laman

Kamis, 10 Oktober 2013

Yang Terhenti


"ada kita berdua

dalam mimpi pagi ini

tapi aku lekas membuka mata

dan semua mendadak pergi..."



Kisah ini ditutup paksa. Tanpa rencana ataupun aba-aba. Tiba-tiba semua bungkam. Buram dalam pandangan. Dan yang tersisa hanyalah pekik tangis dan ratapan yang menyayat. Bukan lantang terdengar di telinga. Tapi menusuk perih dalam batin yang masih tereka bentuknya.

Hati yang dilumuri janji, dan seluruh harap yang tumbuh berkembang, sontak layu tak berbekas. Meninggalkan kelopak yang berguguran, tak menyisakan tunas ataupun biji untuk melanjutkan kisah. Semua tiba-tiba kering dan memudar

Apakah yang sebenarnya terjadi. Tak ada saksi untuk membuktikan segala ucap dan rangkaian kata manis yang kurengguk selama ini. Tiba-tiba semua memahit dalam lidahku. Rasa ini tiba-tiba menjadi kelu. Ah, pilu.

Batin yang terkoyak bukan alasan untuk duduk nelangsa meratapi kisah kemarin. Kenangan yang terserak, denting jarum jam yang berderak, hanya segelintir keping masa yang ku kumpulkan dalam kotak memori. Entah nanti akan ku simpan di sudut mimpi, ataukah ku buang agar hanyut bersama genangan lalu.

Tak ada pias, tak ada bias, tak ada bekas. Semua berlalu begitu saja. Tertutup dan terganti secara tiba-tiba. Apa yang terganti? Waktu pun tak akan kembali. Yang terganti hanya lembaran yang tadinya kucoba rapikan, kini semakin kusut tak beraturan. Harus ku apakan? Ku buang dan mencari penggantinya?

Lupakan. Masih ada hal lain yang harus ku kerjakan. Bukan tentang mimpi atau memori yang kucoba tutupi. Tapi tentang hidup dan nafasku esok hari.

Rabu, 09 Oktober 2013

Segores Warna yang Hidup



"dari warna aku bicara tentang cinta

dari warna aku bicara tentang rindu

dan dari warna pula

aku bicara tentang kamu..."



Warna.

Warna itu hidup. Mempunyai nyawa dalam goresannya. Dalam penyebutan warna kita mampu mengartikannya secara luas dan mengglobal. Bahkan dalam dunia seni rupa pun, setiap warna memiliki makna yang berbeda-beda, mempunya representasi yang berlainan, menampilkan emosinya. Misalnya untuk menunjukkan kemarahan kita, kita akan menggunakan warna merah yang dicampur dengan hitam. Sementara untuk menunjukkan kelembutan kita, biasanya kita memilih warna yang lebih kalem seperti pink, peach, oranye, dll.

Tidak hanya permainan emosi semata, tapi juga identitas. Entah itu identitas pribadi secara individual, atau identitas sebuah institusi secara universal. Misalnya dalam masa kampanye, kita memakai baju merah, maka secara tidak langsung orang akan mengira bahwa kita adalah pendukung salah satu partai yang dominan di negeri ini. Atau kita memakai baju oranye di stadion bola, maka publik akan menganggap kita adalah salah satu suporter klub bole dari jakarta.

Mengapa begitu? Mengapa hanya dengan mengunakan satu warna, maka ada banyak hal yang ikut terbawa. Tak jarang ramalan yang beredar mencantumkan penggunaan warna favorit. Itu menunjukkan bahwa warna juga menunjukkan kepribadian kita. Menjadi ciri khas kita.

Warna boleh saja mewakili pribadi ataupun karakter kita. Tapi bukan tidak mungkin itu menjadikan satu konflik yang sebenarnya bukan keinginan kita akan keberadaan konflik tersebut. Penggunaan warna yang tidak selaras dengan mood, bisa saja menjadikan salah tafsir oleh orang lain. Begitu pula dengan pemakaian atribut yang menggunakan warna sebagai identitas. Bisa jadi kita menjadi musuh seseorang yang tidak menyukai salah satu warna yang kita pilih untuk kita pakai.

Tak jarang kita selalu berhati-hati dalam pemilihan warna. Memakai baju yang sesuai dengan tempat yang kita tuju. Misalnya dalam masa kampanye suatu partai yang berwarna kuning, kemudian kita memakai baju berwarna merah, tak jarang ada berpuluh-puluh pasang mata yang melotot pada kita. Masih terasa lumayan apabila hanya mata yang melotot, bukan tidak mungkin ada juga tangan berotot yang mampir di raga kita. Bukan tidak mungkin. Bukan pula selalu.

Partai dan suporter bola adalah sekelompok orang yang sensitif dengan pemilihan warna. Warna bagi mereka adalah simbol sekaligus identitas. Pelanggaran dalam penggunaan warna adalah hal tabu dan sangat dikecam. Ah, buat orang awam yang naif menganggap hal tersebut adalah sebuah kesia-siaan. Padahal bagi mereka, itu adalah hidup dan mati. Entahlah.

Warna juga menunjukkan identitas secara seksual. Penyebutan warna feminim dan warna yang laki-laki banget adalah salah satu contoh pengelompokan warna secara gender. Dimana warna merah jambu adalah warna milik perempuan secara mutlak yang amat sangat terlarang hukumnya jika di pakai oleh kaum laki-laki. Padahal secara tidak langsung, perempuan memiliki hak untuk memakai semua warna, sementara laki-laki harus menghindari beberapa warna yang sering disebut warna feminim. Dalam kasus ini, warna memiliki jenis kelamin.

Sebenarnya masih banyak lagi hal yang bisa diungkap hanya dalam kategori warna. Tapi membicarakan warna sama saja membicarakan hidup. Tidak akan pernah ada habisnya. Sebijak-bijaknya kita memperlakukan warna untuk menunjukkan bahwa kita mempunyai etika dan sebagai makhluk berestetika. 

Jumat, 04 Oktober 2013

Metamorfosa Abadi


...

aku masih lelah untuk katakan
pergilah
dan cukup aku yang peduli
pada diriku sendiri

...


Kalian sebut ini pelarian pun aku tak peduli. Aku terlalu nyaman dengan sarang hangat yang ku rajut sendiri. Yang kurangkai dari kehangatan yang kumiliki. Dari hangat cinta yang tersisa, dingin rindu yang terasa, perih luka yang menganga dan sejuta kenangan dan cerita. Ah, haruskah ku katakan, bahwa ini bukan sekedar pelarian. Ini adalah awal dari penderitaan, dimana aku harus bergumul dulu dengan segala lukaku, agar tak ada lagi karma yang tersisa di ujung waktu?

Kau kira tinggal di sarang ini terasa nyaman. Memang nyaman sih. Tapi bukan hanya nyaman saja yang terasa, karena kadang, ada duri tajam yang tiba-tiba menusuk, mengganggu ruangku, kembali mencoba menyakiti, mencari celah atas bertumpuk-tumpuknya goresan yang masih membekas.

Disini gelap. Aku bahkan lupa waktu. Apakah ini siang, malam, pagi atau pun sore. Aku tak pernah menyadari. Yang aku tahu, disini hanya hitam pekat yang melingkupi inderaku. Kau kira tempat ini indah. Tak kan kau temui warna-warna dalam pekat ini. Kau hanya menemukan hitam, hitam dan hitam. Bahkan aku yang sedang melukis takdirku pun ragu, warna apa yang ku torehkan di garisku.

Kau peduli? Kau anggap kau peduli dengan mengoyak sarang ini dan mencoba mngangkatku jauh dari sarang yang ku renda? Kau kira aku suka? Harusnya kau tahu, dengan membawaku lari, sama saja kau membunuhku dengan sejuta mimpi yang kau janji. Warna yang coba ku keringkan dengan api dendam yang membara, harus luruh oleh embun pagi yang terlalu dini. Dan aku masih tak suka dengan sinar mentari yang menusuk perih hingga rasanya menghancurkan sendi tulangku. Bahkan angin malam, membekukanku, hatiku, fikiranku, dan aku.

Aku perlu waktu, untuk terus diam dalam jelaga pekat ini. Aku perlu waktu, untuk sekedar menata sayap yang baru saja ku lukis sempurna. Aku perlu waktu untuk mengokohkan sayapku dengan lengan dan kaki yang kuat. Aku ingin ketika aku keluar dari sarangku, aku bisa terbang bebas, bisa mengatakan pada dunia bahwa aku baik-baik saja.

Ya, inilah aku. Dengan sejuta caci yang dulu kau beri. Dengan ribuan dusta yang terpaksa ku terima. Dengan ratusan luka yang coba ku matikan rasa. Apakah aku harus berubah menjadi sesempurna dan seindah ini untuk memaksamu memandangku? Apakah aku yang dulu begitu menjijikan untuk kau sentuh, bahkan untuk kau pandang sekalipun? Apakah dengan ini kau katakan kau peduli? Kau peduli?

Ah, aku akan terbang sendiri. Disana akan ku bangun sarang yang baru lagi. Dimana aku nanti bisa tertidur lelap. Dan mungkin tak akan bangun lagi.