"dari warna aku bicara tentang cinta
dari warna aku bicara tentang rindu
dan dari warna pula
aku bicara tentang kamu..."
Warna.
Warna itu hidup. Mempunyai nyawa dalam goresannya. Dalam
penyebutan warna kita mampu mengartikannya secara luas dan mengglobal. Bahkan dalam
dunia seni rupa pun, setiap warna memiliki makna yang berbeda-beda, mempunya
representasi yang berlainan, menampilkan emosinya. Misalnya untuk menunjukkan
kemarahan kita, kita akan menggunakan warna merah yang dicampur dengan hitam. Sementara
untuk menunjukkan kelembutan kita, biasanya kita memilih warna yang lebih kalem
seperti pink, peach, oranye, dll.
Tidak hanya permainan emosi semata, tapi juga identitas. Entah
itu identitas pribadi secara individual, atau identitas sebuah institusi secara
universal. Misalnya dalam masa kampanye, kita memakai baju merah, maka secara
tidak langsung orang akan mengira bahwa kita adalah pendukung salah satu partai
yang dominan di negeri ini. Atau kita memakai baju oranye di stadion bola, maka
publik akan menganggap kita adalah salah satu suporter klub bole dari jakarta.
Mengapa begitu? Mengapa hanya dengan mengunakan satu warna,
maka ada banyak hal yang ikut terbawa. Tak jarang ramalan yang beredar
mencantumkan penggunaan warna favorit. Itu menunjukkan bahwa warna juga
menunjukkan kepribadian kita. Menjadi ciri khas kita.
Warna boleh saja mewakili pribadi ataupun karakter kita. Tapi
bukan tidak mungkin itu menjadikan satu konflik yang sebenarnya bukan keinginan
kita akan keberadaan konflik tersebut. Penggunaan warna yang tidak selaras
dengan mood, bisa saja menjadikan salah tafsir oleh orang lain. Begitu pula
dengan pemakaian atribut yang menggunakan warna sebagai identitas. Bisa jadi
kita menjadi musuh seseorang yang tidak menyukai salah satu warna yang kita
pilih untuk kita pakai.
Tak jarang kita selalu berhati-hati dalam pemilihan warna. Memakai
baju yang sesuai dengan tempat yang kita tuju. Misalnya dalam masa kampanye
suatu partai yang berwarna kuning, kemudian kita memakai baju berwarna merah,
tak jarang ada berpuluh-puluh pasang mata yang melotot pada kita. Masih terasa
lumayan apabila hanya mata yang melotot, bukan tidak mungkin ada juga tangan
berotot yang mampir di raga kita. Bukan tidak mungkin. Bukan pula selalu.
Partai dan suporter bola adalah sekelompok orang yang
sensitif dengan pemilihan warna. Warna bagi mereka adalah simbol sekaligus
identitas. Pelanggaran dalam penggunaan warna adalah hal tabu dan sangat
dikecam. Ah, buat orang awam yang naif menganggap hal tersebut adalah sebuah
kesia-siaan. Padahal bagi mereka, itu adalah hidup dan mati. Entahlah.
Warna juga menunjukkan identitas secara seksual. Penyebutan warna
feminim dan warna yang laki-laki banget
adalah salah satu contoh pengelompokan warna secara gender. Dimana warna merah
jambu adalah warna milik perempuan secara mutlak yang amat sangat terlarang
hukumnya jika di pakai oleh kaum laki-laki. Padahal secara tidak langsung,
perempuan memiliki hak untuk memakai semua warna, sementara laki-laki harus
menghindari beberapa warna yang sering disebut warna feminim. Dalam kasus ini,
warna memiliki jenis kelamin.
Sebenarnya masih
banyak lagi hal yang bisa diungkap hanya dalam kategori warna. Tapi membicarakan
warna sama saja membicarakan hidup. Tidak akan pernah ada habisnya. Sebijak-bijaknya
kita memperlakukan warna untuk menunjukkan bahwa kita mempunyai etika dan
sebagai makhluk berestetika.