Laman

Kamis, 26 Desember 2013

Sajak Tentang Hujan


"Sajak ini bercerita tentang hujan

Tentang sebuah pertemuan

yang tak pernah lepas dari rintik rinai

terhempas dari awan di langit tinggi"



Masih ingatkah kamu. Kita bertemu diantara bintang seribu, diantara kelip lampu, di bawah langit yang memayung. Kita bertemu, pandangan tak mampu beradu, hanya menyunggingkan senyum, kemudian  memalingkan wajah malu.

Ah, masih terbayang wajahmu yang memerah, mungkin merasa gerah oleh segelas kopi dan sepiring roti yang tersaji. Hingar bingar roda berputar di sepanjang jalan raya, oh iya, kita sama-sama lupa, ini malam minggu, malam dimana sepasang kekasih asyik menghanguskan rindu. Mungkin hangusnya itu sama dengan hangusnya roti bakar ini. Ah, siapa peduli. Malam dimana sepasang kekasih asyik membagi panasnya gelora asmara. Mungkin sepanas kopi yang tersaji dengan asap yang masih mengepul. Ah, kita pun tak juga peduli.

Kita masih berjibaku, menyelami fikiran kita sendiri. mungkin sebuah ikatan yang halus, tersembunyi dalam bayang. Ah, malam memang mengaburkan pandangan, tak pernah terlintas memang ada seutas tali yang akan mengikat kita. Sejauh ini.

Pertemuan itu berlalu seiringnya waktu, kian malam, kian temaran dan aku ingin pulang. Bukan karena jemu, bukan. Hanya saja memang waktu yang memintaku untuk lekas kembali, sebelum pintu gerbang terkunci. Mungkin di lain hari, ada saatnya kita untuk berjumpa lagi.

Hujan pertama yang kita rasakan berdua, kita nikmati jamahannya dengan degup jantung yang diburu waktu. Indah kan?

Sebelum itu pun, ada keindahan lain yang sebelumnya ingin ku bagi. Aku memang tidak bisa memberimu ribuan bintang di langit. Rasanya terlalu jauh. Yang bisa ku bagi saat ini, hanya sebuah tempat, dimana kita bisa menikmati kelip lampu yang tak mampu ku hitung sendiri. Saat itu pertama kali, tangan kita saling bertautan, membagi kehangatan.

Ternyata bukan hanya kehangatan ini yang harus kita bagi. Dinginnya angin malam yang membaur bersama air hujan yang mengguyur deras, harus kita rasakan berdua. Ingin rasanya saat itu aku memelukmu. Tapi tangan ini kaku, membeku, tak mampu untuk lakukan sesuai kata hatiku. Naif, gerutuku dalam hati.

Ketika aku masih mampu, untuk mengatasi dingin ini sendiri, kamu terbaring, dilingkupi dingin semalam yang kita rasakan. Rasa bersalah bertubi-tubi menerpa hati. Ingin sekali saat ini, ku genggam tanganmu, ku bagi hangatku. Namun, jarak, waktu dan semua alasan yang ku punya tak membuatku ada disampingmu.

Ternyata kau memberikanku kesempatan, untuk menggenggam tangan, disini, dipandangi makhluk Tuhan yang terpenjara. Di tempat yang bukan seharusnya mereka berada. Rasanya tak berpijak di bumi, terayun bersama sambil memandangi awan yang terus saja berlalu di atas kita, indahnya.

Sehari itu, kita bersama, dan waktu berlalu begitu saja. Tak mau berhenti walaupun kita paksa. Dan mau tak mau ketika matahari sudah mulai lelah bekerja, kita harus kembali. Dan beberapa rasa rindu mulai datang menghampiri, mencubit segenap hati yang tersisa. Kepingan yang masih sempat ku selamatkan sebelum semua terbuang.

Sekali lagi. Pantai. Menjadi tempat dimana harus ku ulangi sebuah kisah yang selalu ku inginkan tak pernah usai. Kisah yang sekarang kita mulai berdua. Yang sekali lagi aku pinta, tak pernah ada akhir meski pernah ada kata awal yang kita ikrarkan sebelumnya.

Kegamangan itu mulai sirna, meski setiap lembar hatimu belum kamu buka sepenuhnya. Paling tidak aku percaya, Tuhan masih mengijinkan aku menikmati sebuah rasa cinta. Sudah berjuta rasa yang ku kecap dari kata cinta. Pahit manisnya, asam asinnya, aku sudah rasa. Dan kini, aku hanya ingin, seperti apapun rasanya nanti, tak akan ada akhir yang harus ku ulangi.

Bahkan saat aku mulai berusia, kau tawarkan aku untuk berpinta. Ah, haruskah ku ulang kata-kataku sebelumnya. Aku hanya ingin kamu. Hanya ingin kita berdua. Tak ada kata pisah untuk selamanya. Dan hujan kembali menjadi saksi, sebuah perjalanan yang kita arungi.

Sejak saat itu, mulai kuperkenalkan kamu pada duniaku. Pada teman2ku. Hingga kamu mulai terbiasa, dengan segala kegilaan yang mungkin ada. Dan hujan lagi-lagi berbicara, tak mau ketinggalan dalam setiap kisah kita. Ah, memang sudah musim hujan. Tersadarkan. Dan yang terdengar hanya sebuah gumaman.

Dan tahukah kamu, dulu aku percaya, resonasi dari hujan adalah bias kenangan. Mengembalikan sebuah ingatan lalu, dan aku percaya itu. Tapi kini yang ada, kisah lalu itu berpadu menjadi satu dengan masa depanku. Berseliweran dalam fikiranku. Dan harusnya mulai kini kuyakini, seberapa banyak waktu yang telah berlalu itu, tak pernah berguna, hanya menjadi kenangan ketika hujan datang. Sudah saatnya kusibakkan tirai hujan itu, dan menemukan masa depanku. Setidaknya kini aku percayai, bahwa masa depanku itu kamu.