Laman

Jumat, 27 Juli 2012

Merindukan Cahaya

Yogyakarta, 2000

Namaku Akbar. Aku hanyalah seorang pemuda desa biasa. Ingin mencari jati diri yang seolah menjauh pergi tiap kali hampir ku mencapainya. Dalam tiap denyut nadiku, aku selalu berharap ada cahaya terang yang menemani langkahku. Cinta, itulah cahaya yang kumaksud. Namun bukan sekedar cinta biasa yang semu dan sesaat. Cinta yang indah, dilandasi iman kepada sang Pencipta.
Sudah beberapa hari ini aku diam berdiri di halte bus, menunggu angkot yang membawaku menuju tempatku mencari ilmu. Universitas biasa yang kuharap bisa menjadikanku manusia luar biasa. Bukan maksudnya menjadi pahlawan bertopeng ataupun sejenisnya, yang ku maksudkan aku bisa menimba ilmu disana dan menerapkannya di dunia nyata.
Setiap kali aku diam berdiri di halte ini, ada seseorang yang sama, selalu duduk menyendiri di ujung bangku panjang. Seorang gadis. Tidak begitu cantik. Bahkan jauh untuk dibilang seksi. Tubuh yang dibungkus baju seragam putih abu-abu dan kerudung putih itu diam memandang jauh kedepan dengan tatapan kosong. Enggan rasa di hati untuk menyapanya. Bahkan kaki ini menahanku pergi untuk sekedar menemaninya duduk di bangku.
Angkot yang ku nanti sudah datang. Saatnya aku pergi, dan gadis itu masih duduk sendiri.
***

Yogyakarta, 2001

Ada hal lain yang membuatku lebih semangat untuk datang ke kampus ini. Seorang gadis cantik nan anggun telah menantiku didepan pintu kelas, selalu menyambutku dengan senyuman manis yang mengembang di bibirnya.
Ah, Anisa. Gadis cantik nan anggun yang selalu membuat hatiku berbunga. Menjadi lebih semangat untuk menjalani hidup di kampus yang begitu keras. Dan aku menyebutnya: kekasihku.
Sebenarnya perkenalan dengannya begitu singkat. Akupun tidak terlalu melakukan pendekatan yang rumit. Karena aku dan dia sama-sama memiliki rasa cinta satu sama lain. Indahnya cinta.
Kedekatanku dengannya memberikan rasa cemburu pada kaum adam yang lain. Tentu saja menjadi hal yang wajar, gadis secantik dan seanggun dia disayangi oleh banyak pria. Namun, aku begitu bahagia saat tahu, aku adalah pria terpilih untuk menyebutnya sebagai kekasih.
“Terlambat 15 menit,” gerutunya manja.
“Maaf, terkadang angkot memang tidak tepat waktu datangnya,” sahutku sembari tersenyum dan menggandeng tangannya. Kami masuk kelas bersamaan.
Kisah yang kurangkai bersama Anisa memang begitu manis. Dia cinta pertamaku, kekasih pertamaku, dan aku menginginkannya menjadi kekasihku. Meminang gadis terindah di dunia ini. Bidadari surga pasti cemburu kepadanya.
Hingga hari itupun tiba. Hari dimana aku harus menyadari bahwa dunia ini tak seindah impian kita. Kenyataan bahwa tak selamanya kita mengecap hal-hal yang manis, terkadang kita harus mencicipi pahitnya juga.
Amplop yang kuterima dari Rahma tadi pagi, menyadarkanku bahwa aku hidup di dunia yang begitu keras. Sesampainya dirumah, aku merobek ujung amplop dan menarik keluar secarik kertas penuh huruf yang terangkai. Tulisan yang begitu indah itu justru membawa kepedihan yang menyayat hatiku.

Maaf.
Hanya itu kata yang mampu ku tuliskan untuk mewakili perasaanku padamu. Ada banyak hal yang ingin ku jelaskan. Namun aku rasa waktu tidak mengijinkan kita untuk berjumpa lagi dengan perasaan yang sama seperti dahulu.
Aku meminta maafmu, karena aku tahu aku telah menyakiti hatimu. Menorehkan luka yang begitu dalam. Sebut saja aku tidak berperasaan, karena mungkin sebutan itu pantas untukku. Tapi aku hanya ingin kau tahu. Dunia ini tak selalu menuruti impian kita. Ada hal-hal lain yang berpengaruh atas keberlangsungan cerita indah yang kita inginkan.
Aku sekarang menemukan penggantimu. Seseorang yang bisa menuntunku menuju-Nya. Dia calon suamiku.

Anisa

Airmata benar-benar harus ku tahan. Aku tak mau menangis. Bukan salahnya, bukan pula salahku. Aku tidak bisa menyudutkan siapa yang bersalah. Aku harus merelakan semuanya berlalu. Meski sakit yang tertahan di hati begitu merajam. Ah, aku tak mau bermelankolis. Cukup aku dan Dia yang tahu rasa apa yang sedang berkecamuk dalam hati.
Pria seperti apa yang bisa membuat hati kekasihku, ah, mantan kekasihku mampu berpaling dariku. Apa kekuranganku? Mungkin banyak, dan aku tak tahu.
Surat itu masih terus ku baca hingga aku sampai di halte.  Rasa perih yang menusuk semakin terasa nyeri. Aku diam memandang lalu lalang kendaraan di depanku.
Sudut mataku menangkap sosok yang tidak asing. Gadis yang sama. Masih duduk diam di ujung bangku. Sebenarnya rasa penasaran selalu menggelitikku. Namun saat ini, perasaan campur aduk itu membuatku semakin enggan untuk mendekatinya.
Gadis itu menatap tenang meski pandangannya tetap kosong.
Tiba-tiba senyum mengembang di bibirnya. Dan entah, tiba-tiba wajah yang biasa saja itu terlihat begitu cantik saat tersenyum. Sejenak aku terpesona menatapnya. Gadis itu beranjak mendekati sebuah motor yang berhenti di halte. Seorang pria mengulurkan helm padanya.
Aku mengenal pria itu. Angga. Sahabatku di kampus.
***

Sejuta tanya tentang gadis itu tiba-tiba ingin menyeruak keluar setiap kali aku sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatku, dan tentu saja ada Angga disana. Tapi seperti ada yang menyumbat bibirku. Lidah ini kelu tiap kali aku sudah merangkai kata untuk bertanya pada Angga.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu Bar?” tanya Angga ketika dia memergokiku tengah gelisah menatapnya.
“Nggak, nggak apa-apa kok,” jawabku buru-buru.
“Bahaya tuh Ngga, jangan-jangan Akbar naksir kamu,” celetuk Aryo yang kemudian disambut tawa sahabat-sahabatku.
“Kacau lo Bar, masa’ baru ditinggal Anisa aja langsung banting stir jadi suka sesama sih?” omel Angga dengan nada geli.
“Sialan kalian,” gerutuku tanpa mampu membela diri.
***

Yogyakarta, 2002

Pertanyaan yang berkeliaran liar dikepalaku terhenti sejenak. Ketika satu cinta yang lain datang menyapa. Aisyah. Dia adalah sahabat dari sepupuku. Perkenalanku dengannya pun begitu singkat. Akan tetapi dari perkenalan singkat itu, ada rasa cinta yang tercipta.
Tak jauh berbeda dengan Anisa, Aisyah adalah putri dari seorang Kiai. Sudah pasti pengetahuan tentang agamanya lebih dalam daripada aku. Dia juga begitu santun. Apalagi mendengar suaranya yang lembut. Membuatku tak bisa lepas memperhatikannya.
“Aisyah sudah punya pacar belum?” tanyaku pada Aida, sepupuku ketika aku iseng-iseng main ke rumahnya sewaktu liburan semester.
“Belum, kenapa? Kamu naksir dia?” tanya Aida. Aku hanya tersenyum geli sambil mengedipkan sebelah mataku padanya.
“Sok imut,” gerutunya.
Aneh memang, hanya dengan hitungan bulan, aku sudah menggantikan posisi Anisa dihatiku dengan nama Aisyah. Mungkin benar kata sahabat-sahabatku, untuk bisa melupakan sakit hati adalah dengan jatuh cinta lagi.
Aku hanya bisa sebulan sekali bertemu dengannya, itu karena rumahnya berbeda kota denganku. Bahkan pernah aku menemuinya dua bulan sekali karena tugas kuliah yang menuntutku untuk terjun langsung ke beberapa daerah untuk observasi penelitian.
Selama ini hubunganku dengannya baik-baik saja, namun kerenggangan mulai terasa ketika ia memutuskan untuk belajar di pondok pesantren yang tempatnya cukup jauh. Butuh waktu sehari semalam untuk sampai kesana.
Aku tentu tidak bisa turut campur dalam pilihannya, karena dia masih tanggung jawab orangtuanya. Aku hanya bisa mengikhlaskannya belajar di tempat yang jauh dariku. Aku tahu, ini untuk kebaikannya. Semoga Aisyah nanti menjadi wanita sholehah yang menjadi perhiasan dunia.
“Tiap kali lebaran aku pasti pulang,” janjinya padaku saat aku turut mengantarkannya ke stasiun. Aku hanya tersenyum penuh harap.
***

Yogyakarta, 2003

Masih dengan kegiatan yang sama, tiap pagi pasti aku sudah ada di halte ini, menunggu angkot. Dan gadis yang dulu itu tak lagi berseragam putih abu-abu. Baju yang dikenakannya sama seperti anak-anak kuliahan. Dia masih duduk diam memandang lurus ke depan.
Sudut mataku menangkap sebuah amplop merah jambu di tangannya. Tangannya bergetar lembut. Sepertinya dia sedang gelisah. Beberapa kali aku melihat ia menggigit bibir bawahnya. Mungkin dia benar-benar gelisah atas sesuatu.
Tapi fikiranku pada Aisyah mengalahkan rasa penasaranku padanya. Sekali lagi gadis itu kalah atas satu cinta dihatiku.
Lebaran tahun ini semakin terasa indah daripada sebelumnya. Setahun tak bertemu membuat rasa kangen serasa akan membunuhku. Aneh memang rasa kangen itu, antara sakit dan bahagia. Dan malam ini, aku lepaskan rasa kangen itu bersamanya.
Di bawah langit malam yang tak hanya bertabur gemerlap bintang, tapi juga ditambah warna-warni kembang api. Indahnya. Aku dan Aisyah duduk berdua di teras rumahnya, sementara ayah dan ibunya duduk di ruang tengah, sedang menonton televisi.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku ketika dia duduk di sampingku,
“Alhamdulillah, baik,” jawabnya singkat,
Rasanya tak percaya bisa bersanding lagi dengannya. Tapi memang ini bukanlah sekedar mimpi, ini nyata. Kerinduanku sirna sudah, terobati dengan hadirnya dia di sisiku.
Meski kadang aku merasa ada yang aneh dengannya sikapnya yang kaku dan sedikit canggung, tapi coba ku redam kegelisahanku dengan terus mencoba ngobrol dengannya. Aku hanya punya kesempatan untuk duduk berdua dengannya malam ini, esok dia harus kembali ke pondok pesantren.
Malam ini aku mimpi indah.
Pagi hari, aku sudah datang ke rumah Aisyah, membantunya packing. Hanya aku seorang yang mengantarnya ke stasiun, karena ayah dan ibunya harus tinggal di rumah karena ada saudaranya yang akan berkunjung.
Turun dari bus, ku bawakan tas dan kopernya. Dia diam mengekor dari belakang. Aku hanya tersenyum melihatnya masuk ke gerbong kereta.
“Aku akan menunggu kedatanganmu lagi,” ucapku sebelum kereta benar-benar berangkat.
Aisyah hanya tersenyum tipis dan menunduk.
***

Yogyakarta, 2004

Assalamu’alaikum wr. wb.
Bersama dengan surat ini aku minta maaf. Mungkin ini akan menyakitimu, tapi ini pilihanku. Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak bisa lagi meneruskan hubungan kita. Aku sudah memilih putra Kiai di pondok pesantrenku sebagai penggantimu, namanya Gus Alif. Jika kau berkenan, suatu saat nanti akan ku kenalkan padamu. Afwan.
Wasalamu’alaikum wr. wb.

Aisyah

Surat yang sampai ditanganku kemarin siang masih saja kubaca. Surat permintamaafan lagi. Meminta maaf itu mudah, tapi untuk memaafkan, itu masih terlalu sulit bagiku. Ku buka laci meja belajarku, disana bersemayam surat dari Anisa beberapa tahun yang lalu, dan kini surat itu tak lagi sendiri. Surat dari Aisyah ini akan menemaninya.
Pagi itu aku benar-benar kacau, sekacau rasa dihatiku.  Padahal siang nanti ada ujian pendadaran. Sial.
Sesampainya di halte, aku duduk sambil menunggu angkot yang akan membawaku ke kampus datang. Sudut mataku menangkap sosok yang membuat banyak pertanyaan di benakku. Amplop berwarna merah jambu itu masih setia di genggamannya. Sudah tidak karuan bentuknya. Mungkin karena terlalu sering dia genggam, maka membuat surat itu kian lusuh termakan waktu.
Aku sedikit penasaran, surat itu dia tujukan untuk siapa? Sudah setahun lebih sejak aku pertama kali melihat surat itu, hingga sekarang masih setia dia genggam. Itu surat untuk siapa ataukah surat dari siapa?
Pertanyaanku kembali terhenti sejenak di benakku karena angkot yang kunanti sudah datang. Ku langkahkan kakiku menuju angkot tersebut. Akan tetapi sebuah tarikan kecil di lengan bajuku membuatku terhenti. Aku menengok, siapa yang menghentikan langkahku.
Nampak gadis yang tadinya duduk di ujung bangku sudah ada di belakangku, dia mengulurkan surat beramplop merah jambu padaku. Surat yang telah lusuh itu.
“Buat aku?” tanyaku tak percaya.
Gadis itu mengangguk. Ku ambil surat tersebut dari tangannya, belum sempat aku menanyakan hal yang lain, dia sudah kembali duduk di ujung bangku sembari menunduk. Masih dengan penasaran, aku masuk ke dalam angkot sambil terus memandangi surat tersebut.
Tentu saja penasaran, kenapa? Karena aku tidak mengenal siapa gadis itu. Dengan acuh tak acuh, ku masukkan surat tersebut ke dalam tas. Pikiranku sedang kacau karena Aisyah, karena ujian pendadaran, kini ditambah rasa penasaran atas surat ini.
***

Yogyakarta, 2005
Akhirnya aku wisuda. Dan sudah sejak sebulan yang lalu aku bekerja, tapi aku masih merasa ada yang belum bisa ku capai. Cahaya yang dulu ku impikan itu belum juga datang. Cahaya yang bernama cinta berlandaskan taqwa kepada sang Pencipta.
Mungkin Anisa dan Aisyah terlalu sempurna untuk ku miliki. Mereka sudah bahagia dengan pilihan mereka masing-masing. Dan tinggal aku yang harus tersenyum melihat senyum mereka yang terkembang karena orang lain. Mungkin aku harus menyerah dengan keinginanku melalui jalan hidupku dengan cahaya itu.
Ku buka laci meja belajarku. Ada dua surat disana, berdampingan. Surat dari Anisa dan Aisyah. Surat yang beberapa tahun yang lalu sempat mengoyak hatiku, menghancurkan perasaanku. Dan surat itu hanya tinggal prasasti perjalanan hidupku. Semoga tidak ada surat sejenis di kemudian hari.
Surat?
Aku teringat dengan surat merah jambu yang belum sempat ku baca. Surat yang telah lusuh dimakan waktu. Surat yang terselip dalam tasku.
Surat itu masih ada di dalam tasku, semakin tak karuan bentuknya. Ku buka perlahan kertas merah jambu itu, hanya ada sepenggal kalimat yang tertera disana. Bergetar hatiku membacanya.

Aku ingin kamu menjadi imamku

***

Yogyakarta, 2006

Sejak pagi tadi aku tidak melihat gadis yang memberikanku surat merah jambu di halte ini. Rela ku bolos kerja hari ini, ku katakan kepada pak Alan bahwa aku sakit sehingga tak bisa pergi  ke kantor. Diam berdiri di halte membuatku bosan.
Aku segera menuju kantor Angga. Kebetulan sekali Angga tidak sedang dinas keluar kota.
“Tumben kemari, ada apa Bar?”
“Aku mau tanya sesuatu, sebenarnya aku sudah lama pengen tanya tentang ini, tapi aku bingung,”
“Tanya apa? Jangan belibet kayak cewek,”
“Cewek yang selalu kamu jemput di halte itu siapa sih?”
Angga bengong sejenak sebelum menjawab pertanyaan dariku.
“Sori, kalau itu cewekmu, aku nggak akan tanya-tanya lagi deh,” buru-buru ku tambahkan, takut Angga salah paham.
Di luar dugaan, Angga tertawa tergelak-gelak.
“Oh, Amanda? Dia adikku, kenapa?”
“Adikmu?” tanyaku tak percaya,
“Iya, kenapa, nggak percaya?”
“Lalu kenapa dia harus menunggu di halte, bukannya rumahmu deket dengan halte,”
Angga tersenyum. Dengan sedikit geli dia ceritakan tentang Amanda.

Amanda lebih suka duduk di halte sembari menunggu Angga mengantarkannya ke sekolah. Angga sendiri juga heran mengapa adiknya bertingkah seperti itu. Namun rasa penasaran Angga terhenti ketika melihat buku harian adiknya. Disana selalu ia tuliskan bahwa ia melihat malaikat di halte.
 “Siapa malaikat yang kau lihat di halte, Dik?” tanya Angga suatu hari pada adiknya.
Wajah Amanda merona merah.
“Darimana kakak tahu aku melihat malaikat di halte?”
“Maaf, kakak lancang membaca buku harianmu, kakak penasaran kenapa kamu selalu menunggu kakak di halte,”
Amanda tersenyum sambil menunduk.
“Dia malaikat kak, pertama kali melihatnya, dia terlihat begitu indah, aku menyukainya,”
“Siapa namanya?”
“Aku tidak tahu kak, aku malu untuk berkenalan dengannya,”
“Lewat surat saja, berikan padanya, siapa tahu dia mau mengenalmu lebih dekat,”
 Sayangnya hingga Amanda kuliah, dia belum bisa mengenal malaikat yang selalu dia lihat di halte. Angga melihat sendiri, setiap kali dia mengantar Amanda, surat merah jambu itu  selalu ada di genggamannya.

“Dimana adikmu sekarang?” tanyaku cepat, memotong ceritanya.
“Kenapa?” tanya Angga penasaran,
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Angga, pintu ruang kerja Angga terbuka, muncul sosok yang sangat ku kenal. Dia masuk sembari membawa sekotak kue brownies. Senyumnya terlihat begitu ceria, membuat wajahnya terlihat begitu cantik.
Aku beranjak dari dudukku. Amanda terlihat begitu terkejut melihatku ada di ruang kerja kakaknya. Senyumnya menjadi kaku, lalu perlahan dia mendekati kakaknya.
“Cobain kak, ini bikinanku lho,” ucapnya manja. Suaranya menggelitik indraku.
Angga mengambil kotak kue dari tangan Amanda, kemudian membukanya. Angga menatapku,
“Mau coba, Bar? Mumpung gratis,” ucap Angga, aku tersenyum dan mengambil sepotong brownies dari kotak kue yang di pegang Angga.
Sebelum potongan kue itu masuk ke mulutku, ku lirik Amanda, dia terlihat begitu tegang dan salah tingkah.
“Manis, kayak yang bikin,” ucapku setelah menelan potongan kue tersebut.
Amanda memandangku dengan wajah berbinar.
“Yang bener?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menganggukkan senyum padanya.
“Tapi ada sedikit pahit sih,” ucapku.
Ku tatap wajahnya, ada sedikit rasa kecewa di raut mukanya. Sangat terlihat dia kecewa.
“Mungkin itu rasa pahit dari sebuah penantian yang tak pasti,” lanjutku,
Wajahnya berubah merah. Aku tahu dia malu. Sementara Angga masih belum paham dengan tingkah laku kami yang aneh.
“Kalian ngomongin apa sih?”
Aku menarik sepucuk surat merah jambu dari saku celanaku. Entah seperti apa bentuknya, aku tidak peduli.
“Ijinkan aku menjadi imammu,”
***

Yogyakarta, 2007

Dan kini aku pahami, bukan aku yang seharusnya mencari cahaya itu. Tapi aku yang harus menghadirkan cahaya tersebut. Mungkin aku tidak berjodoh dengan Anisa dan Aisayah karena mereka adalah cahaya bagi orang lain, dan mungkin aku harus menjadikan Amanda cahayaku. Menjadikannya cahaya penerang jalan hidupku. Dan cinta itu hadir, kami rangkai bersama. Menjadi imamnya sama saja membawa sebuah nyala obor di kegelapan jalan kami.
Insya Allah, cahaya itu selalu ku genggam menuju surga-Nya.

*) Kalau dikembangin jadi novel, seru nggak yaw??? Coz, ni masih ngambang, belum keliatan asyik klo jadi cerpen.... Hehehhe.. ^^