Laman

Sabtu, 22 Februari 2014

I Know That Feel




//Walau hujan deras,
ku kan bersikeras
Panas matahari
ku tidak peduli
Super elang jawa,
selalu dihati
Ku dukung PSS
walau sampai mati//


Pagi ini, ketika aku masih menikmati semangkuk mie rebus dengan bongkahan telur yang diceplok dalam air panas dan sesekali menyeruput teh hangat di warung borjo dekat kampus untuk menetralisir suhu badanku, kisah itu hadir. Kisah yang ditulis dengan indah oleh seseorang, ya, entah seseorang itu siapa, tertulisa jelas dan disebarkan oleh sebuah page di facebook bernama SUPER ELANG JAWA FANS 1976. Kisah itu berjudul “PSS Sleman, Dan Awal Sebuah Perjalanan Besar.”

Kalimat demi kalimat terus ku baca, merinding seluruh bulu kuduk di tubuhku. Bukan karena ada makhluk halus mungkin saja tengah lewat dibelakangku, tapi kisah itu mengingatkanku kembali ke masa itu. Masa-masa perjuangan PSS musim lalu. Aku tahu perasaan itu, semangat mendukung, luka yang tertoreh secara tak sengaja, bahagia yang terluap begitu saja. Ya, aku memang baru dan masih muda untuk dikatakan sebagai pendukung PSS. Tapi setidaknya aku sekarang belajar mencintainya, cinta yang utuh.

Aku tahu bagaimana rasanya melihat klub kesayangan itu terus melaju dengan gagahnya, sesemangat itu pula aku terus mendukung. Memantau dari jauh. Aku tahu bagaimana rasanya luka itu, luka yang terus tergerus bersama dengan musibah itu, meski aku tak ada disana, luka itu juga tergores disini, dihatiku. Bahkan ketika bahagia itu, mereka melonjak kegirangan dengan haru dan bahagia. Aku ada juga disana, menangis bersama langit, berteriak bersama petasan, menggelora bersama flare yang menyala.


PSS Sleman, Dan Awal Sebuah Perjalanan Besar.

Diperkenalkan dengan sebuah klub (yang dulu aku anggap) medioker, PSS Sleman.

Jangan salahkan aku dengan pandanganku tentang tim ini, karena waktu itu aku memang lebih sering membaca dan berkenalan dengan tabloid olahraga yang mendongeng tentang liga eropa. Entah ditahun berapa, kala PSS masih menggunakan Tridadi sebagai homebase mereka, chants berbau rasis dan kadang melenceng dari niat awal yakni mendukung klub dari tribun, yang keluar justru chant "bakule tempe wooo, woo uu wooo uu wooo" dengan mengunakan nada dari salah satu lagu Gigi band. Ada juga cerita lucu sewaktu pertandingan tengah berlangsung karena cuaca panas, suporter Sleman yang waktu itu begitu banyak memiliki laskar namun kebanyakan tetap sewarna, mereka berteriak meminta air sepanjang pertandingan, and then benar saja ada kendaraan pemadam kebakaran yang mengemprotkan air dari luar stadion Tridadi, funniest day ever.

Suasana berubah drastis dipertengahan tahun 2000, dimana kondisi PSS semakin memburuk, sementara Persiba Bantul dan PSIM Yogyakarta makin hari makin digdaya dimasing masing kompetisi, kala itu aku bahkan tak tau apa liga yang diikuti PSS Sleman. Teman-temanku yang biasa berangkat bersama-sama ke Tridadi makin hari makin sedikit, mobil pick up yang biasa kami tumpangi tak lagi mau mengantar kami melihat Francis Wollo berlaga karena tau kami cuma sekumpulan bocah ingusan yang bahkan tak sanggup membelikan bensin, situasi chemistry ku dengan PSS makin buruk setelah Persiba mengukuhkan diri sebagai juara Liga. Tak ada lagi teman sekampung yang mau aku ajak ke Tridadi, sama sekali tak ada, dari mereka kebanyakan menyebrang ke klub tetangga dan balik mencibir aku dan PSS Sleman-ku.

Kawan, perasaan ini sama seperti engkau disliding temanmu sendiri ketika kau tengah mengejar cinta. Alhasil, aku sendirian berangkat ke stadion berbekal kenekatan membawa motor Ibuku meski tau sepulang stadion aku akan dimarahi habis-habisan. Seiring waktu aku berkenalan dengan Divta Janumarta, seorang punggawa Laskar Pangeran Puger, yang kemudian sudi menemaniku awaydays kebeberapa kota. Aku bukannya santo suci yang tak pernah tergoda, beberapa kali aku tergiur melihat PSIM berlaga, taukah kawan ? bukan atmosfer rumah yang aku rasakan. PSS, Tridadi dan Maguwoharjo lah yang menawarkan perasaan seperti dirumah untukku.

Carut marut liga makin menjadi setelah Nurdin Halid turun kasta sebagai Ketum PSSI, terjadi dualisme seperti yang kalian lihat beberapa tahun kebelakang. Saat krisis kepercayaan pada PSS dan liganya, aku bertemu dengan Aditya Kuswanto, Ananto Dwi Nugroho, orang orang hebat yang membawa kembali euforia cinta pada klub, sementara Divta sudah jauh maju kedepan dengan Ultras 1976 nya yang membawa gebrakan gebrakan baru untuk PSS Sleman. LPIS-lah, badan liga yang kemudian diikuti PSS PSS ditempatkan di Divisi Utama LPIS, liga yang entah terkadang disebut liga haram oleh beberapa kalangan toh tak menyurutkan semangat suporter Sleman yang makin hari makin besar, teman-temanku yang dulu berpaling ? beberapa dari mereka kembali ke tribun Maguwoharjo, beberapa lagi sudah enggan menonton sepakbola di stadion.

Aku pun menjadi saksi laga-laga krusial bagi PSS, menjamu Persis Solo di Maguwoharjo, melawat ke Nganjuk untuk penentuan puncak klasemen, pun tak luput ketika harus bertaruh keselamatan ketika menyusup ke Manahan Solo ketika situasi kedua kubu sedang panas-panasnya. Satu perasaan yang hampir membuat aku menangis ketika pemain kebanggaanku dilempari air seni, batu, dan nyanyian berbau rasial, rasanya sama seperti saat aku putus dengan mantanku sebelumnya, perih tak terperi. Meski laga itu kemudian dianulir, luka terlanjur mengangga, dan aku anggap Mahanan adalah mimpi buruk dalam konotasi sebenarnya.
Liga terus bergulir dan PSS menyentuh semifinal dengan status juara grup dan berhak menghadapi Persitara Jakarta Utara. Suasana stadion begitu riuh ketika PSS menjamu Persitara, bahkan kami harus datang ke stadion pukul 16.00 ketika pertandingan sendiri baru dimulai jam 19.00 hanya untuk mendapat tempat duduk dengan view sempurna. Perbedaan terlihat jelas pada pertandingan kali ini, meski ditinggal Juan Revi yang dipanggil Timnas, namun kolektifitas dan kejelian sayap PSS Sleman cukup membuat Persitara kerepotan, skor 3-0 yang dicetak Agung Suprayogi, Anang Hadi dan Monieaga. PSS meluncur mulus ke final, pun perasaanku yang masih tak percaya, ini semifinal, dan esok final. Dan 3-0 seperti terlalu mudah untuk kami.
Minggu, 10 November 2013. Adalah hari bersejarah bagi PSS, tim yang berdomisili dibawah lereng Merapi dengan gagahnya berdiri di panggung final liga, PSBL Bandar Lampung yang akan menjadi lawan mereka difinal adalah tim yang tak bias dipandang enteng, hanya sekali kalah diputaran grup dengan kolektifitas tim yang solid. Biarkan saya mengomentari sedikit tentang jalannya pertandingan. Dibabak pertama jelas terlihat kalahnya possesion ball PSS Sleman daripada Lampung FC, lini tengah Sleman terlihat timpang tanpa kehadiran rock midfielder macam Juan Revi. Babak pertama berakhir dengan skor imbang meski saya akui saya ketar-ketir melihat pertahanan Ade Christian dan Adelmund sempat diobok obok pemain Lampung FC.
Gol yang kami tunggu hadir dibabak kedua, Satrio Aji yang mendapat bola lalu menusuk kesisi kiri kotak pinalti PSBL kemudian melakukan shoot yang menerpa tiang gawang, bola memantul liar dan mengarah ke Agung Suprayogi yang berhasil menyontek bola masuk ke gawang Lampung, PSS scored and anyone happy, kami semua saling bersorak, berpelukan meski tak kenal satu sama lain di tribun.
Sayang mimpi juara didepan mata nyaris buyar, Lampung FC menyamakan kedudukan dimenit 70, memanfaatkan bola silang seorang pemain Lampung FC melakukan heading sembari menjatuhkan diri (setidaknya itu yang saya lihat ditribun), dan harus diakui itu adalah gol yang bagus dan pemanfaatan timing luar biasa. Pertandingan harus dilanjutkan dengan extra tine, kedua kubu terlihat sudah mulai kelelahan dengan kondisi lapangan yang cukup licin setelah diguyur hujan. Minimnya key passes dari second line menyulitkan Monieaga mendapat peluang, terlebih defender Lampung FC sangat lugas mengawal pemain dengan determinasi luar biasa tersebut.
Setelah 10 menit extra time tak kunjung mendapat kejutan, Mudah Yulianto yang memang sedang dalam topform menusuk lewat sisi kiri pertahanan Lampung FC kemudian mengirim umpan yang justru mengenai tangan pemain Lampung FC didalam kotak pinalti. PSS mendapat pinalti dimenit krusial ! Wahyu Gunawan yang turun sebagai eksekutor sukses mengangkangi kiper Lampung FC, skor 2-1 untuk PSS bertahan hingga peluit akhir.
PSS merengkuh gelarnya, Sang Elang terbang jauh, Euforia Sleman seperti Bosnia Herzegovina yang memastikan lolos Piala Dunia. Gemuruh dalam stadion laiknya SS Lazio kala menjuarai Coppa Italia musim lalu. Disudut stadion seorang pemuda berumur 20-an tahun menahan tangis haru, tangis bahagia, dulu ia diperkenalkan dengan PSS Sleman oleh bapaknya, kini ia menjadi saksi kehebatan tim kotanya bersama adiknya, tim yang tanpa sadar menempati satu ruang besar dihatinya, rasanya aneh, seperti ini kah rasanya juara ? ujarnya dalam hati.
Aku
Jika menangis adalah kesalahan, biarkan aku salah dan menjadi pendosa malam ini.
Ini tangis bahagia.
Ini tangis bangga.
Ini tangis seorang bocah yang selalu percaya, bahwa tim yang ia saksikan semasa kecil akan bermetamorfosa menjadi tim yang lebih kuat setiap harinya.
PSS Sleman tak butuh fans yang ngakunya dimana-mana yang bilang ini itu, cukup FANS yang setia datang mendukung PSS SLEMAN bukan gonta ganti klub dan yang penting mau beli tiket, tak butuh juga pemain berlabel bintang dengan harga selangit jika dia tak bisa loyal, 
Dari Sleman, Pada Sleman, Untuk Sleman. (Danta YK)
Mungkin nanti, jika aku lupa akan perasaan ini, akan ku buka kembali kisah itu, kisah yang mengingatkanku, pahit manis menjadi getir dalam sebuah perasaan untuk klub kesayangan.

Jumat, 07 Februari 2014

Cinta Tak Terbatas Waktu





//
aku cinta PSS-ku, tak terbatas waktu
tak kan ada selain dirimu
cinta yang telah kita bina, pahit manis bersama
demi PSS, Super Elang Jawa... //


Yang selalu kunantikan saat ini adalah masa-masa ngechant di stadion maguwoharjo bersama Brigata Curva Sud (BCS). Doktrin-doktrin itu membuatku tak mau lekas beranjak meninggalkan tribun selatan stadion. Selalu merasa masih ada yang kurang. Lantang sudah kuteriakkan chant slemania bersama suporter yang lain, tak ada sedikitpun rasa lelah ataupun jengah mengumandangkan yel-yel itu. Ah, sejak kapan aku sefanatik ini?

Semua berawal dari ajakan seorang teman untuk melihat pertandingan langsung di stadion maguwoharjo. Saat itu timnas U23 yang main, pertengahan Agustus tahun kemarin. Hanya saja kebetulan waktu itu kakakku tersayang sedang mengadakan acara aqiqah untuk anak perempuan pertamanya, belum lagi ajakan untuk menjenguk bapaknya temanku yang sedang opname di Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari. Dengan terpaksa aku membatalkan semua acara demi menghadiri acara aqiqahan keponakanku tercinta.

Rasa penasaran terus membayang setiap kali teman-temanku mengirimkan pesan, mengabarkan tentang keadaan di stadion. Ingin sekali rasanya terbang kesana barang sekejap. Tapi, ya sudahlah, belum waktunya untuk kesana.

Dan pagi harinya semua menjadi keruh. Dengan hadirnya sebuah masalah yang mulai disadari kedua orangtuaku, kemudian riuh ungkapan antusias teman-teman mengenai pertandingan semalam. Iri sekali rasanya tidak bisa ikut. Semua yang mereka bicarakan  tak ku mengerti, yang ku tahu saat itu, aku bete tingkat nasional.

Sebulan kemudian, ada pertandingan PSS dengan Persijap. Lekas saja aku menerima ajakan teman-teman untuk melihat langsung ke stadion. Pengalaman pertama melihat pertandingan di stadion secara live. Jadi rencananya kita pergi sore, kemudian nanti seusai menonton akan menginap di rumah Ayah, salah satu temanku yang kebetulan rumahnya tak jauh dari stadion.

Kami semua hanya mengekor Ayah, mulai dari membeli tiket dan masuk ke tribun. Ayah memilihkan tribun merah untuk kami tempati. Saat itu aku tidak tahu bahwa tribun merah adalah tribun khusus penonton, jadi tidak bisa leluasa untuk teriak-teriak. Ketika pertandingan dimulai, perhatianku tak tertuju ke tengah lapangan, tapi menatap ke tribun kuning, dimana suporter disana riuh menyorakkan chant slemania. Aku tertegun. Terpesona.

Hampir selama pertandingan, aku tidak fokus melihat pertandingan berlangsung, aku justru lebih sering mencuri pandang ke tribun kuning. Rasanya seru sekali disana. Di bangku tribun merah ini, berisik sedikit saja, bakalan ada berpuluh-puluh pasang mata memandang lekat menyampaikan protes atas terganggunya konsentrasi mereka menonton pertandingan bola. Maka sudah pasti, badan ini rasanya gatal untuk tidak berjingkrak-jingkrak dan bersorak, mengimbangi yel-yel dari tribun sebelah.

Usai pertandingan, aku lekas saja bilang pada Ayah, “Yah, besok lagi kita nontonnya di tribun kuning ya?” begitu pintaku, yang kemudian diamini oleh yang lain.

Ayah terkejut mendengar keinginan kami, dia pun bilang, “Sebenarnya aku biasanya nonton di tribun kuning, tapi kalian kan baru pertama kali nonton, jadi aku ajak ke tribun merah biar nyaman, eh, malah minta ke tribun kuning,”

Mendengar hal itu, rasanya hatiku penuh seketika. Lain waktu bakal nonton di tribun kuning, bersorak sorai bersama BCS. Memberikan support ke PSS sekaligus memberikan ujian mental pada tim lawan.

Laga menjelang semi final, kami nonton lagi di stadion, di tribun kuning pojok timur. Aku tidak tahu kalau disana sering terjadi kerusuhan. Ah, waktu itu aku tak mau tahu apapun, yang aku ingin hanya menonton pertandingan sambil mengumandangkan chant slemania. Meski sesekali harus terhenti sejenak untuk menghafalkan lirik chant, suaraku tak pernah habis untuk bersorak.

Usai dari pertandingan itu, rasa dihatiku semakin penuh. Lega tak terkendali yang kurasakan. Bangga menjadi salah satu bagian dari suporter terbaik. Bahagia ikut memberikan dukungan pada tim yang kini mulai menjadi kesayanganku.

Candaan sesekali menggelitik ditelingaku. Aku ini anak pelosok Gunungkidul, kok ikut dukung PSS dan ikut ngechant bersama BCS yang notabene ada di Sleman? Tapi bagiku itu bukan sebuah problem, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada PSS, terlanjur sayang pada BCS.

Dan sewaktu pertandingan final, bukan cuma getar hati yang semakin hebat terasa di dada, tapi juga merinding. Entah kenapa, chant itu rasanya sudah menjadi bagian dari voice of the day milikku. Gemuruh itu tak terbendung selama 90 menit, apalagi ketika PSS berhasil menjadi juara, rasanya ingin meloncat tinggi hingga ke awan, bersama berpuluh-puluh flare yang dinyalakan.

Rasa-rasanya aku tak ingin menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk hadir serta di tribun kuning itu. Menjadi bagian disana. Bahkan kemarin sewaktu pertandingan PSS dengan Timnas U19 pun, tak henti-hentinya aku turut menggemakan chant slemania, apalagi ketika meneriakkan chant La Grande Storia dan Forza Sleman, hentakan-hentakan di hati itu meluap menjadi hentakan kaki dan teriakan lantang yang kusumbangkan dengan rela hati untuk Sleman.

Meski belum lama mengenalnya, aku terlanjur jatuh cinta pada PSS, aku terlanjur sayang pada BCS. Tak ada yang kusesali, aku justru bahagia sekaligus bangga. Indah sekali perasaan ini. Ingin rasanya aku bagi pada yang lain. Seperti ini lah rasanya jatuh cinta pada PSS, Ale! Dan sayang pada BCS, ora muntir!

Rabu, 05 Februari 2014

Jomblo Lokal dan Mie Ramen




menikmati sebuah cita rasa
yang asing dan terasa semakin terasing
meski terkadang hangatnya menyeruak
namun dinginnya lekas menghempas begitu saja 



Ramennya nggak perlu dijelasin lagi ya, pasti sudah banyak yang tahu kalau ramen itu adalah mie instan khas jepang yang sangat populer. Kalau nonton naruto, pasti akan melihat adegan makan ramen, silahkan hitung sendiri berapa kali ramen muncul disana, disela-selang perang dengan ninja yang gak jelas bentuknya itu.

Jomblo lokal itu hanyalah sebutan untuk kaum korban Long Distance Relationship (LDR). Mengapa? Ya, karena nasibnya nggak jauh-jauh amat sama yang jomblo. Kemana-mana, runtang-runtung sama sahabat atau sendirian aja. Selalu stand by pegang handphone,  dan baterry low adalah musuh utama bagi kaum jomblo lokal ini, apalagi kalau nggak ada sinyal, beuh, rasanya pengen beli sinyal di counter terdekat.

Sengenes-ngenesnya jomblo, masih ngenes jomblo lokal. Kenapa? Karena nggak bisa tebar pesona sembarangan, apa-apa harus laporan. Belum lagi kalau ngambek, nggak bisa ngambek sama siapa-siapa, paling mentok ya ngobrol sama tembok.

Sebenarnya kenapa aku nulis tentang jomblo lokal sama ramen, karena malam minggu kemarin aku baru saja posting foto di facebook, dimana posenya saat itu aku sedang makan ramen, dan lagi, aku menuliskan caption yang menunjukkan statusku yang jomblo lokal itu. Maka habislah aku menjadi bulan-bulanan becandaan kawan-kawanku.

Mungkin mereka menertawakan kebanggaanku menyebutkan bahwa aku ini jomblo lokal, tapi aku sudah terbiasa sih dengan keadaan seperti itu. Semacam bus AKAP aja deh yang antarkota antarprovinsi, seperti itulah hubungan LDR. Yang nggak AKAP aja berasa LDR, apalagi yang AKAP.

Kalau diulas dari awal pacaran, memang aku selalu menyandang predikat jomblo lokal. Yang pertama orang Ngawi Jawa Timur, yang kedua orang Jepara Jawa Tengah (tapi kebetulan masih satu kampus, tetep aja jarang ketemu juga), yang ketiga orang Semanu Gunungkidul (ini juga intensitas ketemunya jarang), yang keempat orang Semin Gunungkidul (yang ini baru seminggu jadian sudah ditinggal ke kalimantan), yang terakhir orang Demak Jawa Tengah (dan dia sedang pulang kampung).

Sebenarnya, aku tidak pernah masalah dengan sistem pacaran yang LDR itu, hanya saja terkadang ada beberapa hal yang tidak menunjukkan sebuah kejelasan, seakan digantung tanpa alasan. Jadi, setiap kali ada yang tanya, “masih pacaran sama dia Des?”, aku nggak tahu harus jawab apa, apalagi pas masa-masa galau nggak jelas, karena kalau aku jawab nggak, ternyata masih, kalau aku jawab iya, ternyata udah nggak. Keadaan tersebut hampir sama sewaktu PDKT, pertanyaan “punya pacar Des?” akan berakhir dengan kediamanku untuk berfikir, kalau aku jawab udah, ternyata belum, kalau aku jawab enggak, ternyata udah. Serba salah.

Sebenarnya apa sih tujuannya nulis ini? Pasti ada yang tanya begitu sambil siap-siap lembar sendal. Nggak ada tujuannya sih, hanya saja lucu dengan pem-bully-an dari kawan-kawan dengan tema jomblo lokal dan ramen itu. Aku cuma tertawa saja, menertawakan diriku sendiri bersama kawan-kawan yang lain.
Ah, ternyata galau itu memang belum berakhir. Masih terus berlanjut sebelum ada kejelasan yang pasti. Dan cukuplah mie ramen ini yang menenangkanku. Hangat dan aromanya cukup membuatku merasa nyaman.

Lain kali, aku akan datang lagi, menyambangi kedai ramen dan menggauli semangkuk ramen untuk menuntaskan hasratku bercumbu dengan mie ramen.


Sabtu, 01 Februari 2014

Cappucino, Love, and Toast



"cappucino, yang begitu lembut
Toast, yang begitu hangat
bersanding menjadi satu sajian nikmat
menjadi sebuah kisah cinta yang rumit"


Cappucino love toast.

Toast love cappucino.

Itu kalimat pilihanmu, dan setiap kali aku menemukan cappucino ataupun roti bakar, entah mengapa aku selalu ingat kamu. Mungkin bagimu itu hal sepele, tapi bagiku terasa begitu melekat.

Beberapa hari terakhir aku baru tahu, mungkin seperti itu pula hubungan kita. Harus tersaji hangat secara singkat. Kau tahu cappucino kan? Begitu lembut terasa di lidah, dan panasnya menggugah. Ah, semakin terbayang aroma cappucino yang kini sering kulewatkan. Bukan karena aku tak ingin mengingatmu, tapi karena aku cukup sibuk dengan daftar makanan dan minuman yang mulai saat ini harus ku hindari.

Roti bakar pun akan terasa sangat nikmat jika tersaji hangat baru diangkat dari pemanggangan. Terbayang selainya yang terasa lembut menyapu lidah. Humh, jadi ingin segera mencicipi roti bakar di tempat temanku bekerja sambilan. Roti bakar selai coklat dan kacang yang dicampur itu, menggoda lidah. Sungguh.

Ah, tapi apa gunanya kenikmatan itu jika hanya sesaat kita rasa. Obrolan ringan, santai dan hangat pun tak akan mampu memanaskan kedua sajian itu jika terlanjur dingin.

Kalau ingin terasa nikmat, berarti kita harus mengganti sajiannya dengan yang baru. Aku panaskan airnya, dan kamu yang siapkan cappucino-nya. Eh, kamu pakai cappucino instan ya? Kenapa sih suka banget yang instan? Kan jadi nggak berasa dalam berproses. Tapi, hari gini, siapa sih yang mau capek-capek berproses jika yang instan aja ada dan bikin hemat waktu? Mungkin lain kali saja kita bikin cappucino nggak pakai instan.

Eh, kamu jangan pergi dulu, kalau kamu pergi, yang tersaji nanti bukan cappucino yang hangat nikmat, tapi hanya air putih panas yang harus ku dinginkan dulu jika ingin ku minum. Kemarilah sebentar, aku tuangkan air panas ini ke cangkir. Oh iya, aku juga lupa untuk mengatakan padamu, sudah kau siapkan cangkir yang tahan panas itu? Yang tak mudah pecah walau disiram air mendidih ini? Sudah? Lalu, sudah kau masukkan cappucino instan itu ke dalam cangkir? Terima kasih.

Sudah sampai disini, kau mau pergi lagi? Lalu siapa yang akan mengaduknya? Aku? Lalu bagaimana dengan roti yang harus kita bakar itu? Kemarilah dulu, jangan bergegas pergi. Kita nikmati sebentar proses indah ini. Kau aduklah dulu, sementara aku mengoleskan selai cokelat dan menaburkan kacang yang sudah ditumbuk halus itu ke dalam lapisan roti ini.

Jika sudah kau aduk, kemarilah temani aku di depan panggangan. Aku tak ingin merasakan panas ini sendirian. Bukan aku ingin mengajakmu menderita, tapi bukankah lebih indah jika kita rasa bersama?

Jangan lupa kau balik roti itu, sebentar kau lupa membalik, bisa hangus, seperti harapanku. Sudah matangkah? Angkatlah, kemudian potong-potong, agar memudahkan kita untuk membagi. Membagi apa yang memang harus kita bagi. Bukan sekedar menyembunyikan privasi.

Mari kita taruh roti itu di piring, biar bersama secangkir cappucino itu mereka bersanding. Serasi sekali bukan?

Kenapa kau beranjak berdiri? Tak sudikah menemaniku menikmati sajian ini? Sajian yang kita buat berdua? Peluh ini bukan hanya milikku, tapi juga milikmu. Apakah aku harus menikmati ini sendiri?

Kemarilah sebentar, ceritakan padaku tentang hari yang sudah kau lalui diluar sana. Kau tahu, aku terus mengurung diri dalam rumah ini, menyiapkan segala yang kau butuhkan. Bahkan sudah ku siapkan pelukan jika kau butuhkan untuk kehangatan, ketenangan, kasih sayang.

Kenapa? Apa diluar sana sudah kau dapatkan apa yang kau mau? Kemarilah, rumah ini milikmu, bukan hanya milikku. Harusnya kita tinggali bersama.

Kemarilah, dekat denganku, aku tak akan bersikap kasar padamu. Aku akan selembut cappucino yang kau kecap di bibirmu.

Kemarilah, dekat denganku, aku tak akan bersikap kaku. Aku akan sehangat sajian roti bakar ini, dan menghangatkan harimu.

Kemarilah, dekat denganku. Jika kau ingin tumpahkan cappucino yang tersaji mengepul ini, jika ingin kau campakkan roti bakar yang baru kita angkat dari panggangan, lakukanlah. Aku nanti hanya meratapi, mengapa itu semua harus berakhir untuk hancur jika awalnya begitu indah? Aku nanti hanya memandangi, ceceran cappucino dan remah-remah roti yang terserak dilantai, bersama dengan pecahan cangkir dan piring. Oh, malangnya mereka, harus berakhir hancur meski awalnya begitu indah.

Aku tak akan hancurkan itu, itu milik kita. Tapi jika kamu yang hancurkan, tak apa. Mungkin sudah kau dapati kopi hitam dan snack lain yang lebih nikmat daripada sajian ini.

Tapi, kemarilah dulu, cappucino love toast ini kisah kita, kita berdua yang tentukan, akan terus tersaji hangat, atau justru berakhir dengan kepingan. Aku tak bisa mengakhirinya sendiri.

Aku masih disini, menunggumu. Ditemani secangkir cappucino yang mengepul dan roti bakar yang masih hangat.

Kau masih ingat jalan pulang kan?