Laman

Senin, 10 Januari 2011

Bertanya Dalam Hati

Aku tak pernah tahu, kapan tepatnya pertama kali aku bertemu dia di tempat ini. Di teras rumahku. Tempat pertama kali aku mengenal dia. Dua setengah tahun yang lalu, aku lupa tanggal maupun bulannya, aku berkenalan dengan dirinya. Waktu itu aku masih menyelesaikan skripsiku, sehingga dia tidak kuingat sepenuhnya. Hanya saja sebulan setelah aku wisuda, dia muncul lagi, di tempat yang sama. Membuatku kembali mengingat kisah yang lalu. Perjodohan dari temanku.

Aku masih sering tersenyum sendiri jika mengingat masa-masa itu. Aku dan dia sama-sama masih lugu, bahkan temanku harus turun tangan untuk menjodohkan kami karena kami sama-sama malu. Hanya saja waktu itu, restu orangtuaku untuk menjalin sebuah hubungan dengan pria masih alot. Jadi setelah wisuda dan setelah dia muncul lagi, aku beranikan untuk meminta restu dari orangtuaku.

Sore ini, aku duduk berdua dengan dirinya di tempat yang sama. Di teras rumahku. Duduk diam, membisu. Menikmati keheningan di tengah-tengah ketegangan yang merambat dalam bilik hati. Desir-desir hangat menyentuh kalbu, membuat jantung berdegub kencang dengan irama berantakan. Tubuh bergetar lambat dan keringat dingin keluar dari celah-celah pori-pori di kulitku. Rasa-rasanya kembali mengulang memori masa lalu. Merasakan detik-detik jatuh cinta yang memabukkan.

Aku menunggu dia bicara, satu detik, satu menit berlalu, sepatah kata belum keluar dari bibirku maupun bibirnya. kami masih berusaha mengusir kecanggungan yang mengapung di udara dengan sama-sama memandang ke halaman yang kupenuhi dengan bermacam-macam tanaman bunga.

Satu jam berlalu, tak terasa. Kami telah menghabiskan satu jam bersama dengan obrolan yang mengalir dalam hati, masih dalam diam kami berbicara. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Terkadang aku tertawa saat beberapa anak kucing berusaha menangkap kupu-kupu yang hinggap di bunga mawar kesayanganku, dan senyum di bibirnya itu semakin lebar setiap kali aku tertawa. Matanya yang bulat dan bening senantiasa bersinar ceria. Walaupun terkadang ada sedikit mendung menghalangi sinar itu. aku tak tahu apa yang dia sembunyikan dariku.

Aku merasa ada satu rahasia yang ingin dia bagi denganku, aku menanti kejujuran dari bibirnya karena aku selalu percaya pada dirinya. Bibirnya yang sedari tadi menampilkan senyum khasnya seketika melekuk kecut. Matanya yang sedari tadi memancarkan sinar indah, seketika redup. wajahnya datar tanpa ekspresi.

“Sudah berapa lama kita bersama?” dia tiba-tiba bertanya padaku, aku berfikir sejenak, menghitung putaran roda waktu yang telah melintasi hidupku yang telah ku habiskan dengannya. Tentu saja kuhitung sejak kami mendapat restu untuk menjalin hubungan dari keduaorangtuaku dan orangtuanya.

“Hampir dua tahun,” jawabku sambil mencoba menebak reaksinya. Kepalaku terasa berat karena begitu banyak pertanyaan yang tiba-tiba menyerbu benakku.

“Selama hampir dua tahun ini, apakah kamu selalu percaya padaku?”

Kepalaku terasa pening, alarm dalam benakku menyala. Kekhawatiran dan ketakutan tiba-tiba melanda fikiranku, menyumbat akal sehatku, emosiku hampir saja meletup karena bayangan-bayangan dirinya bersama perempuan-perempuan lain tiba-tiba muncul. Aku hanya bisa mengangguk.

“Padahal aku berbohong padamu dalam satu hal,” katanya datar sambil menatap lurus kedepan, emosiku tiba-tiba menghilang, entah melebur dimana, yang ku ingat saat ini aku telah menatapnya dengan tatapan bingung.

Dia menatap langit dari balik kacamatanya. Kacamatanya berembun. Tetesan air turun dengan derasnya. Sedang hujan. Senyum kembali muncul dibibirnya. Tapi dimatanya masih ada mendung menggelayut. Rahasia apa yang sebenarnya dia pendam, yang dia sembunyikan dariku.

“Aku tak pernah bilang padamu,” katanya tiba-tiba. Aku menunggu kelanjutan kata-katanya.

“Aku tak pernah bilang bahwa hidupku hanya tinggal menghitung hari,”

“Maksud mas?” tanyaku tiba-tiba, kaget dan melompat dari dudukku dan mendekat kearahnya,

“Minggu depan aku operasi. Kalau operasiku berhasil, aku akan terus menemanimu, menjagamu, selamanya. Aku janji.”

“Operasi apa?”

Pertanyaanku menggantung, tak pernah ada jawaban keluar dari bibirnya. dia tak pernah mau memberitahuku. Saudara-saudaranya pun sama saja, tak memberi gambaran yang jelas. Orangtuanya selalu menangis setiap kali aku ingin mengetahui penyakit apa yang sebenarnya diderita dia. Aku hanya dapat menebak-nebak dalam sejuta kemungkinan sambil didera sejuta ketakutan, takut dia pergi meninggalkanku.

Waktu seminggu kuhabiskan untuk mencari informasi tentang penyakit apa yang sedang diderita dia. Tapi aku tak pernah menemukan jawabannya. Teman-temannya tak mau angkat bicara. Betapa bodohnya aku, betapa tololnya aku ini. Penyakit kekasihku saja aku tidak tahu. Habis sudah airmataku untuk menyesali ini semua.

Sekarang ini yang ku ketahui adalah mas Awang ada di rumah sakit. Sedang operasi.

***

Sekuntum bunga kamboja putih jatuh dipangkuanku, harumnya yang khas tercium. membuatku sedikit bergidik. Tapi kehangatan mendekapku, menghentikan rasa itu. Disampingku, mas Awang merangkulku. Erat. Seolah enggan melepaskan lagi. Aku menatap wajah mas Awang yang memancarkan aura kelembutan. Operasinya berhasil, walaupun begitu pertanyaan yang selama ini menggangguku tak pernah menemukan jawabnya. Biarpun ku paksa dengan cara apapun, mas Awang tak pernah mau membicarakan masalah itu. Yang ku tahu saat ini adalah mas Awang sudah ada disampingku, siap menjaga dan melindungiku. Selamanya.

Special for someone

Yogyakarta, 08 October 2010

Akhir Penantian Cintaku

Bayu.

Nama yang kembali muncul dalam kehidupanku secara tiba-tiba. Sudah setahun lamanya aku melupakan nama itu dari benakku. Jarak yang membentang antara kami terlalu panjang, hal tersebut yang membuatku jauh dan melupakan keberadaannya.

Hari ini semua berubah. Dia muncul begitu tiba-tiba dan nyata. Padahal selama ini aku selalu merasa bahwa kedekatan kami hanya sebuah mimpi belaka, tapi kini dia hadir begitu saja, muncul dihadapanku.

Wajahnya masih sama dengan wajah yang bertahun-tahun lalu aku kenal, hanya saja mendung yang menggelayut di wajahnya seakan menjadi topeng yang paling buruk yang pernah kulihat. Senyum tipisnya tidak sanggup mengusir aura teraniaya dari wajahnya yang pernah membuatku terpesona itu.

Aku terhenyak sejenak di depan pintu, menatap dia tanpa mampu berkedip. Berharap ini mimpi dan sebentar lagi ku terbangun. Tapi demi melihat dia yang benar-benar ada dan nyata dihadapanku, aku hanya mampu membalas senyum tipisnya dan mengajaknya duduk di ruang tamu.

Semuanya mulai nampak jelas walaupun mendung diwajah Bayu justru semakin gelap. Bayu baru saja memutuskan hubungannya dengn Ririn, cewek yang sudah dua tahun ini dia pacari. Dan sekarang ini dia sedang down, aku merasakan getaran aneh dalam diriku, antara bahagia dan sedih.

Bayu sudah aku anggap selayaknya kakak kandungku sendiri. Mengganti posisi mas Deni, kakakku satu-satunya yang paling ku sayangi telah pergi meninggalkanku dan tak mungkin kembali lagi. Tumor otak telah merenggut nyawa kakakku.

Bayu adalah teman mas Deni, jadi hubungan kami pun tak lebih dari seorang kakak dan adik. Tapi aku pernah menyimpan rasa cinta pada Bayu semasa SMA dulu, hanya saja aku harus mengerti, bahwa gadis kecil yang manja seperti aku bukanlah tipe cewek idamannya.

Ririn adalah teman sekelasku waktu SMA, dia dulu adalah teman dekatku, aku sering memanggilnya dengan sebutan Peri Biru. Hanya saja saat menginjak kelas 3, dia mulai menjauh dari aku. Sejak makhluk sinting yang merupakan kakak kelasku menjalin hubungan dengan dia. Waktu-waktu Peri Biru yang biasanya dia habiskan denganku kini mulai diambil oleh pacarnya. Peri Biru bukan lagi teman dekatku, dia memang ada didekatku, tapi rasa-rasanya dia tak bisa aku jangkau.

Bayu mengenal Peri Biru dari aku. Saat Peri Biru baru saja putus dengan makhluk sinting itu yang sungguh sangat kusyukuri keadaan itu. Di rumahku yang dengan sangat kebetulan Bayu juga sedang main ke rumahku, Peri Biru yang menangis di bahuku menarik perhatian Bayu, dan entah sejak kapan akhirnya Peri Biru dan Bayu mulai dekat. Dan tanpa sepengetahuanku, mereka pacaran.

“Kenapa kau tak pernah bilang kalau Ririn seperti itu?” tanya Bayu mengusik kenanganku, aku menatap matanya yang sayu, hanya saja aku tidak dapat melihat matanya dengan jelas karena terhalang oleh kacamatanya yang berkabut.

“Seperti apa?” aku pura-pura tidak mengerti maksud Bayu, Bayu menghembuskan nafasnya perlahan. Lalu memandangku dengan tatapan pilu. Aku merasa iba.

“Kau tak pernah menanyakan hal itu padaku, dan kalian juga tak pernah memberitahuku sejak kapan kalian menjalin hubungan. Jadi bagaimana aku harus memberitahumu segalanya tentang dia?” aku menjawab dengan kesal, dengan nada penuh kebencian yang tak bisa kututup-tutupi.

“Maaf,” hanya kata itu yang keluar dari bibir Bayu.

Sejak saat itu, Bayu mulai sering mengunjungi rumah kontrakanku yang sebenarnya jauh letaknya dari rumah kontrakannya. Namun hal itu tidak menghalangi kehadirannya yang tentu saja membuat hatiku berbunga-bunga.

Aku tidak mengerti maksud dan tujuan Bayu dengan mengunjungiku. Aku berusaha menebak-nebak sendiri, antara dia menjadikanku pelariannya atau dia ingin menghilangkan kesepiannya?

Pantai, tempat favorit kami berdua yang beberapa waktu dulu sempat tak pernah kukunjungi, kini menjadi tempat yang tak pernah absen kukunjungi. Lebih tepatnya kami datangi.

Airnya yang berombak dan berbuih, anginnya yang beraroma asin, pasirnya yang putih. Semua itu membuat hidupku dan hidupya kembali menemukan semangat. Menemukan gairah hidup. Keterpurukan kami berdua karena satu hal bernama: Cinta.

Aku masih terus berharap Bayu mulai melupakan Peri Biru dan menatapku. Karena benih-benih cinta yang dulu sempat layu kini berkembang lagi dihatiku. Desiran yang deras mengalir dan getaran aneh yang menjalar dalam tubuhku kini mulai terasa kembali setiap kali berada disampingnya.

***

Bayu merasa dalam dilema saat ini, hatinya merasakan kebimbangan yang sangat. Namun sungguh dalam lubuk hatinya dia mengakui, Sari tidak seperti yang dulu. Sari yang sekarang bukan lagi gadis kecil yang manja, tapi sudah berubah menjadi gadis yang dewasa dan baik hati.

Bayu merasa bersalah dan gundah bercampur menjadi satu. Merasa bersalah karena dia dengan diam-diam menjadikan Sari pelarian cintanya, gundah karena Ririn kini juga mulai berubah.

Ririn adalah gadis tercantik yang pernah ia temui. Sejak pertama kali melihatnya, saat Ririn menangis di bahu Sari, Bayu merasakan love at the first sight.

Namun, dengan penghianatan yang tak bisa ia terima. Mendua dibelakangnya, dengan sahabatnya sendiri. Padahal selama ini dia selalu mencoba untuk setia. Dia merasa dibohongi, oleh Sari juga. Kenapa tidak pernah memberitahu sifat asli Ririn?

Akan tetapi, ia juga merasa keliru. Tidak seharusnya ia menyalahkan Sari, Sari tidak mengetahui hubungannya dengan Ririn. Ririn pun tak pernah mau mengatakan hubungannya dengan Bayu pada Sari. Bayu tak mengerti kenapa Ririn harus melakukan itu.

***

Aku bangun dari tidurku. Bunyi ringtone dari handphoneku membuat mimpiku berantakan. Ada panggilan masuk. Peri Biru.

Aku ragu sejenak sebelum akhirnya menekan tombol terima. Aku menerka-nerka apa yang sebenarnya dia butuhkan hingga mau repot-repot menghubungiku. Dengan menarik nafas pajang dan segera menghembuskan perlahan-lahan lewat mulut, berusaha rileks.

“Ya, Peri Biru?” sapaku dingin.

“Hai Sari, bagaimana kabarmu?” basa-basi yang menurutku tak perlu.

Aku segera menutup panggilan, gemuruh dalam dadaku yang tak sanggup kuhentikan. Ada rasa benci dan penasaran bercampur menjadi rasa yang tak mampu ku definisikan. Peri Biru mengajakku bertemu di kantin kampus siang nanti. Aku kembali merebahkan tubuhku ke kasur yang mulai tercium bau apek karena belum kujemur.

Sebenarnya aku tidak mau bertemu lagi dengan seorang teman yang menjadi pengkhianat. Dia sudah ku anggap orang asing yang rasanya aku tak pernah ingin mengenalnya seumur hidupku.

Siangnya, tepatnya di kantin kampus. Peri Biru yang dengan segala keanggunannya nampak gelisah menungguku. Aku memperlambat langkahku saat hampir sampai di kantin. Aku masih berusaha mengatur air mukaku agar tetap terlihat tenang dan tak acuh.

Peri Biru berdiri saat aku sudah sampai disampingnya. Aku hanya menampilkan seulas senyum yang tak banyak mengandung arti. Bukan senyum sapa, senyum menghormati ataupun senyum merendahkan. Hanya sebuah senyum yang kuciptakan agar dia mengerti bahwa aku bukan Sari yang senaif dulu.

Aku duduk tanpa menunggunya menyapaku. Dia kelihatan kaget dan bingung denganku. Aku tidak terlalu memedulikan raut wajahnya yang kebingungan. Aku menatap matanya lurus dan dalam, menanti dia mengucapkan kata maaf.

“Aku tahu kamu masih marah padaku,” desah Peri Biru pasrah, aku masih diam.

“Aku sudah putus dengan Bayu,” kata Peri Biru mengiba saat aku masih saja diam membisu.

“Aku sudah tahu,” jawabku singkat dan datar.

“Lalu mengapa kau masih mendiamkan aku seperti ini?” gugat Peri Biru terlihat kesal,

“Kenapa kau meninggikan nada suaramu padaku? Kau kesal padaku?” tanyaku sedikit geram, ingin menamparnya, ingin memukulnya, ingin mencakarnya, tapi masih dapat kutahan.

Dia menganggukan kepala sambil mengerutkan bibirnya menjadi sebuah lekukan kecut yang tidak enak dilihat. Kebiasaannya yang sering dia lakukan saat merajuk.

“Harusnya aku yang marah,” seruku meluapkan sesak dihati yang lama kupendam. Sakit hati yang masih tergores, lama tak kunjung sembuh. Peri Biru hanya mampu tertunduk diam.

“Aku tak mengerti jalan fikiranmu, harusnya kamu bilang padaku kalau kamu sudah pacaran dengan Bayu, aku pasti tidak akan merasa terkhianati,” kataku dengan menahan airmataku agar tidak tumpah, mengalir ke pipiku.

Peri Biru masih dalam diamnya. Entah apa yang sedang difikirkannya. Aku juga diam, menunggu dia menjawab ucapanku, memberikan pembelaan agar aku bisa merasa lebih tenang dan lega. Namun diamnya kami berdua tak kunjung usai, aku merasakan jenuh dan kesal yang sangat. Hingga aku memutuskan untuk pulang dan meninggalkan dia yang masih tertunduk.

Selama sebulan ini Bayu masih terus datang ke rumah kontrakanku. Hanya sekedar berkunjung, mengusir kesepiannya. Aku mulai merasa aneh dengan sikap Bayu akhir-akhir ini. Dia tidak lagi menganggap aku adiknya, dia menganggap aku sebagai pujaannya, seperti yang dulu kuharapkan. Tapi, entah kenapa aku merasa tidak nyaman dengan ini semua. Aku merasa lebih nyaman dengan hubungan kakak beradik seperti dulu.

Mungkin Bayu mengerti dengan perubahan sikapku yang mulai menghindar. Setiap kali dia akan mengunjungiku di kontrakanku, aku mengatakan bahwa aku tidak ada disana karena ada acara kampus atau kuliah sampai sore. Aku terus berusaha menghindari dia.

Akupun tak mengerti kenapa aku melakukan ini semua. Jika dahulu aku berfikir akan bisa semakin dekat dengan Bayu, tapi aku justru terus berusaha menghilang dari hidupnya.

Hingga akhirnya pada hari Sabtu, dia tiba-tiba muncul di rumah kontrakanku seperti dulu pertama kali dia hadir setelah putus dengan Peri Biru. Aku terkejut, tidak dapat melarikan diri. Terpaksa aku menyilakan dia masuk.

“Kenapa kau berubah?” tanya Bayu sambil menata mataku, aku memalingkan wajahku, memandang bunga mawar yang merah merekah di dalam vas.

“Aku tidak berubah, apanya yang berubah?”

“Kau menghindariku,” jelasnya, aku semakin tak mampu menatap matanya, aku takut dia tahu itu benar. Karena mataku selalu jujur.

Bayu masih menungguku bicara dengan tatapan menuduh. Aku terdiam. Handphone Bayu tiba-tiba berbunyi. Sekilas Nampak Bayu terkejut, air mukanya berubah ceria dalam satu detik, detik berikutnya dia mengatur air mukanya agar terlihat cuek.

“Ya Rin,” sapanya sambil menjauh dari pandaganku, keluar melalui pintu. Lenyap dari pandanganku.

Peri Biru. Itu telepon dari Peri Biru.

Bayu kembali masuk dengan wajah cerah, berseri-seri, bahagia. Tepat saat aku menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya, wajahnya berubah kalem.

“Ririn mengajakku memperbaiki hubungan kami yang kemarin carut marut,”

Aku tersenyum.

“Kau tidak marah kan?” tanyanya sedikit cemas, aku tidak mengerti apa yang sebenarnya dicemaskannya.

Aku menggelengkan senyumku.

Satu ujung bibirku tertarik keatas, sehingga senyumku yang manis berubah menjadi senyum menghina.

Aku sekarang mengerti aku ini dianggap apa dimata Bayu. Aku hanya rumah singgah baginya, tempat dia melepas penat sambil menunggu cintanya kembali. Kejam sekali laki-laki itu. Ingin rasanya aku menendangnya ke jurang atau menenggelamkannya ke laut.

Aku hanya pelarian asmaranya.

Sayup-sayup kudengar lagu Armada mengalun, yang liriknya seperti ini

Kau fikir aku ini apa?
Seenaknya saja kau anggap aku boneka…
Cukuplah sudah

Aku bukan boneka dan aku adalah aku. Ternyata Bayu tak sebaik yang terlihat. Fikirannya ternyata picik dan dangkal. Sia-sia rasanya jika aku terus mengharapkannya, menaruh hati pada orang yang salah, pada orang yang dengan tega mencampakkanku setelah kekasihnya kembali kepelukannya.

Sudah hampir dua bulan ini tidak ada kabar dari Bayu, entah karena dia sibuk dengan pekerjaannya atau sedang sibuk memperbaiki hubungannya dengan Peri Biru. Aku benar-benar merasa sedih saat mengetahui bahwa aku ini pelarian cintanya, aku tidak mengerti kenapa Bayu bisa setega itu padaku.

Malam mingguku benar-benar sepi. Sendirian dalam heningnya rumah kontrakanku. Biasanya sepupu-sepupuku yang jomblo sering datang, tapi sekarang hanya aku sendiri yang jomblo.

Dering handphoneku memecah kesunyian yang menyelimutiku.

Bayu.

Keningku berkerut, bibirku mencibir. Aku berfikir sejenak, apa yang sedang terjadi, apakah Bayu salah minum obat sehingga dengan tiba-tiba ingat padaku.

Aku mendiamkan dering itu sampai berhenti sendiri. Kulemparkan handphoneku ke ujung tempat tidur saat dering itu kembali terdengar.

Aku menon-aktifkan handphoneku saat deringnya tak kunjung berhenti. Aku tidur.

Pagi hari. Udara basah karena embun masih menggelembung di dedaunan. Aku bermaksud pergi ke pasar untuk membeli sayuran. Namun langkahku terhenti di depan pintu pagar saat menyadari ada seseorang berdiri di luar pagar. Tanganku menggantung di udara saat hendak membuka pintu. Aku terkejut.

Bukan tukang sayur yang wajahnya mirip artis yang muncul disana, akan tetapi Bayu dengan wajah memelasnya. Yang dulu sempat membuatku kembali menumbuhkan rasa simpatiku. Namun sekarang aku hanya terdiam, terpaku dan membisu.

Dalam hitungan menit aku belum membuka pintu pagar, Aku masih mematung. Sementara Bayu juga masih diam. Kami hanya saling menatap.

“Kenapa tidak angkat telfon dariku tadi malam?” tanya Bayu memecah keheningan.

Aku enggan menjawab, karena aku juga tidak punya jawaban. Aku membuka pintu pagar dan tanpa mengajaknya masuk, aku segera melangkah ke ruang tamu, duduk di sofa, dia mengekor saja.

“Kenapa tidak menjawab panggilanku?” desak Bayu. Aku bingung mau menjawab apa.

“Ku kira salah pencet nomor,” jawabku sekenanya, Bayu mengeryit.

“Salah pencet nomor bagaimana? Aku berusaha menelfon kamu berkali-kali, bahkan bepuluh-puluh kali, namun kamu malah mematikan HP,” gerutunya kesal, aku nyengir.

“Ku kira kamu salah minum obat, kok…” kataku asal,

“Salah minum obat bagaimana?” potongnya bingung,

“Iya, dua bulan kamu menghilang tak ada kabar, tiba-tiba telfon, siapa yang tidak bingung?” jawabku mulai kesal, Bayu manyun.

“Kalau kamu kangen sama aku, bilang, minta kita ketemuan,” katanya datar sambil menyandarkan punggungnya.

Siapa juga yang kangen? gerutuku dalam hati. Aku tahu kalau Bayu sedang menikmati indahnya masa CLBK. Peri Birupun sama saja, tidak pernah memberi kabar padaku. Sekedar mengirim pesan basa-basi pun mungkin enggan.

Bayu pikir dia hebat, dia pria yang paling tampan atau yang paling sempurna. Seenaknya saja mendekatiku, kemudian meninggalkanku yang masih terus menumbuhkan harap. Tapi, aku harus bersikap dewasa, aku tidak mau mendendam. Aku tidak mau memutuskan tali silaturahmi kami, aku juga masih menganggap dia kakakku, menggantikan mas Deni yang sudah pergi untuk selama-lamanya.

“Malah bengong,” kata Bayu membuat lamunanku buyar.

“Ada apa?” tanyaku akhirnya, berusaha peduli.

“Tidak ada apa-apa,” jawabnya singkat sambil memandangi lukisan di dinding, berusaha menghindar untuk menatap mataku.

“Hubunganmu dengan Ririn baik-baik saja?”

Dia menunduk, memainkan jari-jemarinya. Detik berikutnya mengusap rambutnya, tidak hanya mengusap, tapi juga mengacak-acak rambutnya yang sudah tersisir rapi.

Sepertinya ada sedikit masalah dengan kisah cintanya bersama Peri Biru. apa dia akan tersakiti untuk yang kedua kalinya? Oleh orang yang sama? Oleh masalah yang sama? Dalam hatiku tiba-tiba muncul banyak pertanyaan.

“Ada masalah?” tanyaku hati-hati, takut menyinggung perasaannya,

“Aku bingung, ku kira dia sudah berubah, tapi ternyata…” dia masih menunduk.

“Apa?” tanyaku penasaran, jangan-jangan Peri Biru melakukan kesalahan yang sama, kesalahan fatal yang seharusnya sudah menjadikan Bayu jera untuk menjalin sebuah hubungan cinta dengannya.

“Dia selingkuh,” jawabnya datar, kemudian menyandarkan punggungnya dengan sedikit berat. Bayu memejamkan matanya. Aku menatapnya perlahan. Mencari pegangan agar tidak terjatuh lagi dalam sebuah lumpur yang bernama pelarian cinta.

“Lalu apa yang kau perbuat?” tanyaku menyelidik, berharap dia memutuskan untuk tidak kembali lagi dalam sebuah lubang mematikan bernama patah hati.

“Maksudmu?” tanyanya sambil membuka mata.

“Apa kamu putus dengannya? Atau kamu hanya rehat sejenak? Atau kamu masih mau mentolerir kesalahannya yang sudah dia ulang untuk kesekian kalinya?” tanyaku sedikit emosi.

“Aku masih berharap dia berubah,” katanya sambil menatap langit-langit rumahku. Seakan disana terlukis wajah cantik Peri Biru.

Namun bagiku, langit-langit itu retak, runtuh, dan menimpanya. Puing-puingnya sama dengan puing-puing hatiku. Hatiku yang hancur berantakan.

“Lalu kenapa kau muncul disini jika kamu masih berharap Ririn berubah?” semburku sambil melotot padanya. Dia menatapku. Kaget.

“Kamu kenapa Sar?”’

“Pergi saja ke rumah Ririn, menangis saja dihadapannya sambil berlutut, mengharap dia berubah dan kembali ke pelukanmu. Itu kan yang kamu harapkan? Jadi untuk apa kamu masih duduk diam disini. Mengeluh padaku. Menangis dihadapanku yang tidak mengerti apa-apa dan tidak mau mengerti apapun yang kau katakan,” kataku berapi-api karena emosiku yang meletup seketika.

Bayu beranjak. Berdiri dari duduknya. Menatapku marah.

“Baiklah, aku akan pergi dan tidak akan pernah kembali ke rumah kamu lagi,” bentaknya keras sambil melangkah keluar. Aku duduk meredamkan emosiku.

Hampir tiga bulan lamanya setelah aku mengusir Bayu dari rumahku, aku tidak pernah bertemu dengan Bayu. Aku dan dia sama-sama tidak mau menghubungi. Desir angin malam masuk lewat jendela kaca kamarku yang belum sempat ku tutup. Dingin merasuk kedalam tubuhku. Aku menggigil.

Ternyata di luar sedang hujan deras. Aku melangkah menuju jendela, bermaksud untuk menutupnya. Berharap dingin segera menghilang.

Tanganku menggantung di udara, berhenti di tengah jalan untuk menutuk jendela. Aku terkesiap melihat sosok seseorang yang berdiri di luar pagar. Gelap. Hanya sebuah bayang-bayang samar di bawah lampu jalan yang redup. Orang itu tak bergeming. Kehujanan. Tanpa payung ataupun jas hujan.

Aku menunda untuk menutup jendela, bergegas mengambil payung dan bergegas keluar. Orang tersebut masih berdiri di luar pagar. Aku mendekatinya. Betapa terkejutnya aku menyadari siapa yang ada di luar pagar.

“Mas Deni…” suaraku tertahan didalam tenggorokan, sakit.

Aku tak percaya dan tak mau mempercayai kalau orang yang ada di luar pagar itu adalah mas Deni. Mas Deni sudah meninggal, aku sendiri yang menemaninya dalam detik-detik terakhir hidupnya. Akupun melihat jasadnya yang sudah tak bernyawa ditimbuni tanah.

Wajah mas Deni pucat, bias-bias hujan membuat pandanganku sedikit kabur. Kacamataku berembun. Aku masih berdiri, diam. Tiba-tiba, semua jadi gelap gulita.

***

Hujan deras mengguyur badan Bayu yang tak mengenakan jas hujan atau payung. Tapi dia enggan beranjak dari tempatnya berdiri. Berharap Sari muncul membukakan pintu pagar untuknya.

Dia masih ingat kejadian tiga bulan yang lalu, saat Sari mengusirnya. Sari benar, memang seharusnya dia meninggalkan Ririn. Seberapapun banyaknya dia memberi kesempatan pada Ririn untuk berubah, namun Ririn tetaplah Ririn. Gadis cantik yang kerap mempermainkan perasaannya.

Namun, dia masih bertanya-tanya dalam hati, kenapa Sari marah padanya saat dia memutuskan untuk menunggu Ririn berubah. Apakah benar yang dikatakan Deni -kakak Sari- sewaktu masih hidup dulu, bahwa Sari suka padanya?

Dan dia terkejut saat Sari benar-benar muncul dihadapannya. Dibawah guyuran hujan lebat, Sari terlihat anggun dan cantik. Hanya saja, melihat mata Sari yang membulat dibalik lensa kacamata dan menatapnya terkejut, Bayu bingung.

Bayu semakin bingung saat Sari tiba-tiba ambruk, jatuh pingsan. Dengan tanpa berpikir panjang, dia memanjat pintu pagar yang tingginya sekitar dua setengah meter itu. Tak peduli jika ada orang melihat dan meneriakinya maling.

Dia dan Sari sama-sama basah kuyup. Bayu membopong tubuh Sari dan membaringkannya di kursi panjang, teras rumah. Bayu memandangi wajah Sari yang sayu, pucat pasi. Beberapa helai rambut basah menutupi wajah Sari. Dengan hati-hati, Bayu menyibakkannya.

Tersentak, Bayu menarik tangannya cepat, seakan tersengat listrik. Bayu merasakan getaran-getaran lembut yang merasuk dalam tubuhnya saat ia menyentuh pipi Sari. Ada sebuah gejolak dalam hatinya yang sulit ia terjemahkan.

Bayu baru sadar bahwa dia pun menyayangi Sari.

Sari tiba-tiba menggumamkan sesuatu, tidak jelas, seakan terganggu oleh sesuatu. Di guncangnya perlahan tubuh Sari sambil memanggil namanya. Berharap Sari segera siuman.

***

“Sari… bangun Sar,” seseorang memanggilku.

Suara yang tak asing di telingaku. Aku membuka kelopak mataku yang terasa berat. Kepalaku pening. Dan aku merasa tubuhku menggigil.

“Kamu tadi pingsan di belakang pintu pagar,” seseorang itu membantuku bangun. Mataku sudah terbuka lebar, hanya saja aku tidak mengenakan kacamata. Semuanya terlihat kabur.

Orang tersebut mengulurkan kacamataku, aku segera mengenakannya.

“Bayu?” aku terkejut. Melonjak berdiri.

“Aku tadi bermaksud ke rumahmu, hanya saja aku takut kamu akan marah dan mengusirku lagi, aku hanya berdiam diri di luar pagar. Aku terkejut saat kamu tiba-tiba muncul dihadapanku, saat kamu menatapku, kamu menggumamkan sesuatu dan tiba-tiba jatuh pingsan,” katanya menjelaskan.

Hujan di luar masih belum berhenti, di teras rumah hanya diterangi lampu yang redup. Wajah Bayu tidak terlihat begitu jelas, samar-samar. Namun, justru dalam keremangan itu dia terlihat semakin mempesona. Aku menggelengkan kepalaku, mengusir bayang-bayang kisah lalu yang kembali menyerbu.

“Kenapa Sar?” tanya Bayu khawatir.

“Aku tadi melihat mas Deni dalam wajahmu,” kataku sedih. Bayu merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Memelukku. Membelai rambutku. Membuatku merasa nyaman.

“Aku tak tahu kenapa bayang mas Deni tiba-tiba muncul,” ucapku takut sambil menyandarkan kepalaku di dada Bayu. Bayu masih membelai rambutku yang basah.

“Deni sudah tenang di alam sana,” kata Bayu lembut.

Aku menangis dalam pelukan Bayu. Bukan menangisi kakakku yang sudah meninggal, akan tetapi menangis akan hatiku.

Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Aku mencintai Bayu. Betapapun dia tidak tahu perasaanku dan aku selalu tersakiti oleh perasaan ini. Aku tetap mencintainya. Tulus.

Aku menangis, karena Bayu begitu sulit kuraih, begitu sulit ku genggam. Momen ini akan berlalu begitu saja tanpa membekas di hati Bayu.

Malam semakin larut dan tangisku masih berlanjut.

Pagi hari tiba. Sinar matahari yang begitu cerah membuatku kembali bersemangat menjalani hari. Hari ini aku kuliah pagi, hanya satu mata kuliah. Siangnya aku ingin pergi sebentar mengunjungi pantai. Sudah lama aku tidak ke pantai. Terakhir kali, saat Bayu masih patah hati.

Pantai siang ini ramai. Banyak sekali orang yang datang. Aku berjalan menyusuri pantai, menyepak-nyepak pasir dengan kakiku yang sesekali terkena ombak. Aku masih ingat beberapa bulan yang lalu, aku dan Bayu berkejar-kejaran di tepi pantai ini. Sama-sama menceburkan diri ke laut. Namun semua itu tinggal kenangan.

Bayu sudah jauh dari diriku. Airmataku meleleh. Bergulir jatuh ke pipiku. Pantai ini hanya tinggal kenangan untukku. Kenangan terindah yang akan selalu ku ingat.

Tak terasa sore menjelang. Pantai sudah sepi. Aku duduk sendiri di bukit pasir tepian pantai. Di bawah pohon cemara udang. Memandang matahari yang hendak terbenam.

Seseorang muncul dan memelukku dari belakang. Aku terkejut dan memberontak. Namun pelukan itu begitu erat. Orang itu mengecup rambutku. Aku berteriak.

“Tidak ada yang dengar,” ucap orang tersebut geli. Aku mengenali suaranya.

“Bayu?”

Bayu melepaskan pelukannya dan duduk disampingku. Aku menatapnya tak percaya dia tadi memelukku. Dan dia benar-benar ada disampingku. Tersenyum padaku.

“Kenapa? Naksir aku?” godanya sambil mengerling nakal.

Bayu sudah kembali menjadi Bayu yang dulu. Bayu yang ku kenal bertahun-tahun yang lalu.

“Ada apa?” tanyaku. Bayu menatapku bingung.

Dia menatapku dengan mata indahnya. Tersenyum padaku dengan senyum lembutnya. Bayu yang begitu mempesona hadir kembali. Bayu yang ku cintai.

“Ternyata aku salah, harusnya sejak dulu aku tidak mencintai Ririn,” mataku membulat, tak percaya Bayu berubah drastis.

“Harusnya sejak dulu aku menyadari bahwa aku mencintai gadis yang lebih baik daripada Ririn,” katanya masih menatapku, menunggu reaksiku.

Aku tertunduk lesu. Ternyata Bayu mencintai gadis lain. Gadis yang lebih baik dari Peri Biru. Seperti apa gadis itu, aku hanya beharap, gadis itu nantinya tidak akan menyakiti hati Bayu. Dan membuat Bayu bahagia.

Bayu tiba-tiba kembali memelukku, menyandarkan kepalaku ke dadanya. Membelai rambutku. Dan mencium puncak kepalaku. Aku terkejut.

“Harusnya aku tahu aku menyayangimu, mencintaimu,” katanya. Aku terkejut. Melepaskan diri dari pelukannya. Menatapnya lama. Bayu balas menatapku.

“Cubit aku,” pintaku padanya sambil mengulurkan lenganku, dia mengerjap bingung, dan menuruti perintahku. Aku menjerit kesakitan. Bayu tertawa keras.

“Ini bukan mimpi?” tanyaku tak percaya, aku tidak bisa menutupi kegembiraanku.

“Bukan, memangnya kenapa?” tanya Bayu bingung.

Aku memeluknya erat. Aku senang sekali mengetahui bahwa ini kenyataan, bukan sebuah mimpi yang biasanya hadir menyapaku dan bergegas meninggalkanku saat ku terjaga.

Bayu memelukku sama eratnya. Aku berharap ini bukan cinta sesaat ataupun pelarian cintanya lagi. Aku tersenyum dalam pelukannya. Penantianku berakhir di pantai ini, saat matahari terbenam. Akhir penantian yang begitu manis.

Special for someone

Yogyakarta, 16 November 2010