Laman

Minggu, 20 Januari 2013

Cinta Itu (Tidak) Harus Egois

Chori chori chupke chupke adalah salah satu film bollywood yang menampilkan sebuah kisah drama romantic. Meski dibalut dengan kisah klise, ada beberapa hal yang menarik dari film tersebut. Bukan sekedar kisah cinta yang penuh dengan canda ataupun duka, tapi hal lain yang lebih menarik untuk dipahami.
Berawal dari kisah datar pernikahan Priya dan Raj, kemudian Priya dikaruniai seorang bayi dalam kandungannya yang terpaksa tak dapat dia lihat kelahirannya karena kandungannya harus diangkat oleh sebab infeksi. Kisah yang sebenarnya pun dimulai. Tuntutan keberadaan seorang bayi tidak terhindarkan. Priya dan Raj memilih menitipkan benih mereka untuk dilahirkan melalui rahim perempuan lain. Maka perdebatan antara tokoh Priya dan Madu adalah konflik terhebat dalam film tersebut. Terlihat dari keegoisan mereka dalam menjalani takdir mereka menjadi seorang wanita.
Keegoisan Priya yang ingin mengambil seorang anak dari ibunya. Begitu juga dengan keegoisan Madu yang ingin mengambil suami dari istrinya. Jika hanya melihat sepihak dan mengikuti alur film tersebut tanpa memaknai seluruh pernyataan dari kedua wanita tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa banyak pihak yang menyalahkan Madu karena dirasa berkhianat dengan kesepakatan. Seperti yang dikatakan oleh Priya, Madu yang seorang pelacur telah kembali pada derajatnya ketika meminta Raj menjadi suaminya.
Tapi dalam hal cinta apakah ada kesepakatan yang mutlak?
Bagiku, mereka dalam posisi yang berimbang. Mertua Priya dalam film itu mengatakan bahwa wanita lahir tiga kali dalam kehidupannya. Pertama kali sewaktu mereka lahir dan menjadi seorang putri dari orangtua mereka, yang kedua ketika mereka menjadi seorang istri, dan yang ketiga ketika mereka melahirkan anak dan menjadi seorang ibu.
Priya dan Madu sama-sama dalam posisi wanita yang baru dua kali lahir dalam kehidupan mereka. Priya yang sudah menjadi seorang istri tapi tidak mendapat kesempatan untuk menjadi seorang ibu, maka baginya wajar bila dia menginginkan seorang anak. Dan Madu yang siap menjadi seorang ibu tanpa menyandang gelar sebagai seorang istri maka wajar baginya menginginkan kasih sayang seorang suami.
Ada lagi yang menarik, yaitu cara Priya dan Raj dalam menyampaikan perasaannya. Yang pertama sewaktu memberitahu bahwa Priya positif hamil, Raj tidak serta merta menyampaikan apa pesan sang dokter, tapi dia menanyakan terlebih dahulu, “Bagaimana kalau seandainya aku harus membagi cintaku?”, Priya yang dengan tegas mengatakan bahwa dirinya akan bunuh diri, menyatakan bahwa dirinya adalah anti poligami. Dan keegoisan cinta muncul lagi disana. Yang kedua, sewaktu Priya meminta Raj untuk menikah lagi, tapi Raj enggan mengabulkan keinginan istrinya, bukan karena dia tidak mau, tapi baginya, menikah itu hanya sekali, dan ia abdikan cintanya hanya untuk satu-satunya istri yang ia nikahi. Lagi, cinta itu memang egois. Yang ketiga, Priya meminta Madu menggantikannya dalam upacara tujuh bulanan. Hal ini bukan demi Madu yang siap menjadi seorang ibu, tapi hanya untuk kebaikan jabang bayi yang dikandung Madu. Keegoisan lagi bukan?
Ada lagi yang menarik, dari semua keegoisan yang nampak dalam film itu, ada satu adegan yang menjadi penetralisir. Yaitu ketika Priya meminta sang dokter untuk menyelamatkan Madu sewaktu operasi. Yang saya fikirkan saat itu adalah, mungkin dengan menyelamatkan Madu, masih ada kesempatan untuk mendapatkan anak dari Madu. Egois memang pemikiran saya saat itu. Tapi saya coba cerna sekali lagi, mungkin (lagi) karena sangat egois jika meminta sang dokter menyelamatkan anak Madu daripada Madu. Salah jika mempertahankan nyawa seseorang yang kehadirannya hanya untuk persembahaan pada kakek mertuanya. Salah jika mengatakan bahwa nyawa orang yang memberikan pertolongan dan harapan tidak berharga. Adakalanya keegoisan perlu disingkirkan. Ada saatnya mengatakan bahwa kebahagiaan itu bukan hanya milik kita seorang, tapi semua orang berhak untuk mendapatkan kebahagiaan yang mereka impikan.
Dengan berlaku begitu, terkadang orang akan mengetahui ketulusan dari hati seseorang. Terbukti dari adegan sesudah klimaks yang menampilkan bahwa Madu yang tadinya menggebu menginginkan untuk menjadi istri Raj akhirnya mengatakan memilih pergi.
Cinta itu egois, dan mereka sudah menemukan kebenaran dari cinta mereka. Memahami bahwa terkadang dalam cinta, egois itu perlu ada. Egois itu menjaga cinta itu sendiri untuk tetap menjadi satu dan tak terbagi.
“Aku sudah mendapatkan impianku, mendapatkan kakak sepertimu, mendapatkan kasih sayang dan kehangatan dari keluargamu, menjadi pengantin, menjadi seorang ibu, itu semua sudah menjadi bahagiaku. Kalau hanya menjadi adik kakak sudah sebegitu bahagia ini, kenapa harus melebihi tanpa tahu kepastiannya,”
Dan inilah sebenarnya yang saya katakan sebagai klimaks dalam film ini. Terkadang kita harus melepaskan mimpi kita demi kebahagiaan orang lain. Bodoh memang kedengarannya, tapi terkadang kita bisa mendapatkan kebahagian dengan menciptakan mimpi yang baru. Egois jika kita hanya menggenggam satu mimpi dan tidak menyadari bahwa mimpi itu kian usang.
So, why we don’t change our dream when we know that our dream before never come true?
Cinta itu egois. Tapi mengapa kita tidak mengubah keegoisan tersebut untuk peduli pada perasaan orang lain. Bukankah keegoisan tersebut nantinya akan menjadi pelindung, bukan sekedar penjaga.
Belum selesai sampai disini saja, karena keegoisan itu muncul bukan hanya dari tokoh utama dari film tersebut. Tapi juga muncul dari keluarga tokoh utama. Yaitu dari keluarga Mahotra. Mereka begitu mendambakan seorang cucu hadir dalam lingkungan keluarga mereka, sementara mereka tidak tahu bahwa Priya sudah divonis tidak akan bisa hamil lagi.
Mereka terus menekankan harapan mereka pada Priya yang semakin merasa bersalah pada keluarga suaminya. Keegoisan keluarga Raj muncul bukan karena sebuah kesengajaan untuk menyakiti ataupun menekan sang menantu. Keegoisan itu hadir karena sebuah kerinduan. Kerinduan dari tangisan bayi yang mereka gadang-gadang sebagai cucu.
Sementara Priya dan Raj terus saja egois dengan keresahan mereka sendiri. Terus saja menutupi kenyataan demi menjaga perasaan. Perasaan siapa? Mereka terus saja mengorbankan perasaan mereka sendiri untuk memuliakan perasaan orang lain. Dan kemudian mereka harus menumbalkan perasaan orang lain lagi hanya untuk menutupi perasaan mereka yang telah terluka.
Sebenarnya keegoisan siapa yang lebih dominan dalam film tersebut. Bisa dikatakan keegoisan si penulis naskah yang mendambakan rasa iba dan tetes air mata dari penonton (termasuk saya). Begitu juga dengan sutradara yang terus saja mengalirkan alur cerita yang menegangkan tapi mampu mengolah dengan nuansa India yang khas dengan tarian dan lagu-lagu mereka.
Sangat menarik kemasan dalam film tersebut. Jika kita mampu memahami isi dari film tersebut, kita tidak akan terkecoh dengan cerita yang kelihatannya sangat klise, karena didalamnya terdapat pelajaran menarik untuk semua wanita yang cerdas. Wanita yang mampu memahami penderitaan wanita lain.