Laman

Kamis, 04 November 2010

Pelarian Cinta

Beberapa bulan yang lalu mas Reno putus dengan pacarnya. Aku tahu itu dari status2 yang ia tulis di facebook. Dan aku juga tahu kalau dia tidak bisa menerima keputusan itu. Aku tahu mas Reno masih berharap untuk memperbaiki hubungannya dengan sang mantan.
Aku hanya bermaksud baik untuk menghiburnya, menghilangkan kesepiannya. Dua minggu setelah dia putus dia berkunjung ke rumahku, tentu saja hanya main dan melepas kangen karena sudah beberapa tahun tidak bertemu.
Mas Reno adalah kakak kelasku waktu SMA. Dia dulu pernah dekat denganku, hingga aku pernah jatuh cinta sama dia. Tapi aku merasa percuma, karena aku hanyalah itik buruk rupa, gadis cilik yang manja dan tentu saja bukan gadis idamannya.
Dan tentu saja aku berusaha mengubur benih cintaku dalam hatiku yang mati ini. Namun entah kenapa saat dia mendekati Ais, teman sekelasku, aku sama sekali tidak merasa cemburu atau tidak rela, aku justru merasa senang. Aneh.
Namun hubungan mereka juga sama seperti hubunganku dengan mas Reno, hanya sebatas kakak-adik. Jadi, kenapa aku juga tak berfikir begitu saat dia datang kerumahku? Aku justru memupuk benih cinta yang dulu sempat kukubur dalam hatiku yang kini mulai menyemi.
Dia tidak menunjukkan wajah bersedih atau merana dihadapanku, aku tahu hatinya sakit, tetapi aku tidak tahu alasannya tak mengekspresikan perasaan itu di wajahnya.
Akupun hanya berusaha membuatnya nyaaman disampingku, sehingga kami bukannya saling curhat tapi kebanyakan bercanda. Mulai sejak saat itu kami kembali akrab dan saling contact2an. Namun beberapa hari terakhir ini dia mulai berubah. Mas Reno kembali menjauh, hingga rasa-rasanya aku seperti terjaga dari mimpiku yang indah.
Aku hanya mengira dia mulai sibuk dengan kerjaannya. Entah.
Bebarapa hari yang lalu aku bertemu mas Reno di pameran buku, sedang menggandeng sang mantan. Hem, ternyata mereka balikkan. Sekarang baru terasa sakit hati karena aku terlalu bersemangat menyuburkan benih cinta yang tumbuh dihatiku.
Ternyata aku hanya jadi pelarian asmaranya. Hanya jadi tempat sampahnya. Menjadi rumah singgah untuk melepas penat sambil menunggu kembalinya sang mantan. Hiks… T_T
Buat mas Reno, terima kasih sudah menjadikanku dekat dengan dirimu. Hanya saja aku tidak tahu kalau kau setega itu. Bukannya aku keGRan, tapi kau yang memberi harapan padaku untuk menutup lubang dihatimu yang dulu menganga. Aku berharap lubang dihatimu tak terukir lagi, hingga aku tak perlu berharap menjadi pengisi di hatimu yang kosong.

Senin, 11 Oktober 2010

Rose In My Heart

My name is Tessa, I am eighteen years old. I study in one of universities in Yogyakarta. The campus is far from my house, so I live in boarding house near campus. It is comfortable to living there, because it is cool, clean and calm. Many flowers grow around there, such as: jasmines, roses, orchid, etc.
I like rose flower so much. It is a beautiful flower. It’s not only has beautiful color and smells good, but also it has thorn. Rose usually stands for love. When I falling in love I feel enjoyed with beautiful color and smell good of rose. But, when I was broken heart, I feel hurt by its thorn.
Color of rose has many means. Red rose means love, yellow rose means just friend, etc. I have memory with rose flower.
One day, I knew a boy. He was my senior in my campus. His name was Rudy. First time when I saw him, I though he was an arrogant boy. But when I knew him, he was nice. Rudy was very kind. He helped everybody who needs a help.
For about one month I became his friend, we always sent message each other. We often met in the campus, library or canteen. We had same hobby it was reading comic. We liked it, because it could make our happy and relaxed. Every morning, I sent message to Rudy, I remained him to do the morning pray. Sometimes, he sent message to me at 03.00 a.m., he remained me to take eat when I would fast on Monday and Thursday.
In that time, I didn’t have boyfriend and he didn’t have girlfriend, so we never mind to take a walk, breakfast, lunch or dinner together. But, in my heart, I was afraid if I nearly with him. I was afraid make him disappointed with my condition. Although I was eighteen years old, I didn’t allow have a love affair with boy. So, I was afraid if I until falling in love with him.
Suddenly, Rudy visited me in my boarding house on Saturday night. I surprised. He looked different, he looked so handsome. Rudy and I sit on chairs in the park beside my boarding house. He looked me for a long time. I feel shy.
“Don’t look at me like that!” I said to him, but I didn’t looked his face, I was very shy.
“What a beautiful you are tonight,” he gave me a compliment,
“It’s not your habit. You never say like that previously,” I said, “what your purpose with say it for me?”
He took two flowers from his back. They were yellow rose and red rose. He brought them in front of my face.
“If you love me, take a red rose and I will be your boyfriend,” he commanded me,
“If I take yellow rose?” I asked him,
“I just become your friend, and you must take one of this”
I though for a few minutes, it was my fear since I near him. My choice is my way. After I considered well, I took yellow rose from his hand. He shocked. But, I still smiled to him, he waited my word.
“I couldn’t become your girlfriend, Rudy,” I said carefully, I won’t make hurt his heart.
“Why? You don’t love me?” he asked,
“No…no…no… Not like that,”
“So, why you don’t accept me to become your boyfriend?”
“Because I don’t allow to making relationship with a boy,” I gave my reason,
“Who forbid you to steady?”
“My parents,”
He kept silent and though something.
“I know, your parents are so nice. May be your parents afraid you’ll never study if you steady,”
I happy he could receive my reason. We chatted until 10.00 p.m. because in that time my boarding house would close and Rudy had to leave for his house. Before he left, I hold his hand, I stopped him,
“Are you still my friend, Rud?” I asked him,
“Yes, I am. I always beside you whether or not you love me,” he smiled, “But, I hope you take red rose from my hand in other day,”
I smiled and let his hand. After he left my boarding house, I entered my room. I put yellow rose into the vase. I looked it with remained face of Rudy. I knew I loved him, but I had selected my choice. So, I must move on. May be, in the other day, my parents let me have a love affair with a boy and this flower would be change with red rose and he would become my boyfriend. Who knows?

Senin, 15 Februari 2010

OSPEK menyimpan cerita

Cinta itu datangnya tidak dapat ditebak. Mungkin kita yang tadinya sebal menatapnya, tapi begitu ada sesuatu yang menarik dari dirinya, entah itu sebuah kelebihan, kekurangan atau bahkan suatu kesalahan, kemudian kita tiba-tiba menjadi terpesona dan terpikat.Itu pulalah yang terjadi padaku beberapa minggu yang lalu, mungkin hanya sebuah kisah cinta lokasi tersingkat yang kumiliki. Tapi, selalu terkenang hingga saat ini.Pertama kali melihatnya, dengan penampilannya yang agak sedikit “preman”, rambut semi gondrongnya, tampangnya yang biasa-biasa saja, ditambah fakta kecil bahwa agamanya berbeda dengan agamaku (bisa ditebak lewat namanya), membuatku tak begitu mengacuhkannya.
Tapi, suatu kali kudengar dia salah berucap, membuatku tersenyum geli dan bahkan ada juga beberapa dari temanku yang tertawa. Entah kenapa mulai saat itu sedikit demi sedikit aku mulai memperhatikannya.
Ku tatap wajahnya, semakin ku teliti setiap inchi dari wajahnya, semakin terpancar aura yang tadinya terpendam. Wajahnya yang tadinya terlihat biasa-biasa saja dan sedikit menjemukan, sekarang menjadi terlihat manis dan menarik. Gayanya yang gokil dan bebas, menumbuhkan bunga-bunga kartun di hatiku yang semakin berhamburan.
Aku hanya punya waktu empat hari untuk leluasa memandangi wajahnya. Hari kedua dan hari ketiga, selalu kucari sosoknya, entah hanya sekedar memandang untuk membangkitkan desiran hangat yang terasa nikmat mengalir di pembuluh darahku. Atau hanya dapat merekam cintaku padanya dalam sebuah buklet yang setiap waktu harus ku bawa. Aku memilih berdenyut dalam diam, memilih menggambar wajahnya, memilih menjadi zombie hidup yang dibakar impuls cinta terpendam ini.
Dan hari keempat, hari terakhir untukku bisa leluasa memandangi wajahnya, di malam konser band. Aku merapatkan posisiku mendekat ke arahnya. Tapi, sesuatu yang aku khawatirkan muncul, sesuatu yang seharusnya dari awal sudah bisa kuduga. Sesosok gadis yang entah seperti apa wajahnya, tak dapat ku pandang karena membelakangiku. Gadis itu berhadapa-hadapan dengannya sambil bertukar senyum manis.
Teman-temannya yang ada disampingnya menyunggingkan cengiran lebar sambil mencibir,
“Pacar kamu nih?” yang kemudian disambut tawanya.
Aku yang berdiri hanya ± 2 meter dari posisinya, sedikit demi sedikit mulai menarik diri menjauh, menyeret tubuh yang terinjak kalah ini sambil membawa sedikit rasa perih di hati, menelan pahitnya segelintir kekecewaan.
Bunyi drum yang menghentak di malam konser band itu, membuatku berusaha mencari pelepasan sesak di hati yang ditimbuni beban yang kian penuh dan membuatku penat.
Aku juga mencari pembenaran, mungkin dia bukan untukku, mungkin aku tak punya kesempatan untuk lebih dekat dengannya dan kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Aku kembali tersentak, bunyi drum yang kian menggelegar, menggedor detak jantung sehingga membuatku berani berjoget di tengah kerumunan teman-temanku yang mulai melompat dan bersorak. Mengimbangi suara sang vokalis yang berteriak serak, membuat batinku sedikit lega.
Dan sosok itu kembali hadir, ikut berjoget mendekat ke arahku. Membuatku kembali menatap dan mengaguminya. Pesonannya yang begitu kuat membuatku harus bersusah payah untuk tidak mengharapkannya.
Rambut semi gondrongnya yang kini sudah acak-acakan, peluh yang sudah banjir membasahi kening, leher dan badannya yang telanjang dada. Membuatku tak berkutik.
Aku tak mau mendekat, tapi aku juga tak mampu menjauh. Aku tak bergeming sedikitpun, hanya dapat sesekali melirik ke arahnya hanya untuk memastikan keberadaaannya. Tapi, tak urung sesekali bahuku dan bahunya bersenggolan saat berjoget, membuat desiran hangat itu kembali mengisi kekalutan hatiku.
Tak sanggup dengan suasana seperti ini, aku beringsut untuk pulang. Tanpa memandangnya lagi, aku memaksakan kakiku untuk melangkah pergi dari sana, berusaha menarik langkah dan hatiku untuk pergi menghindarinya dan berusaha mengecupkan selamat tinggal untuk ketidakjelasan perasaan ini.
Aku tahu, aku sadar diri. Sudah ada gadis lain yang dia puja, sehingga aku sekarang terus berusaha belajar melupakan auranya. Setidaknya, kubuat garis pemisah yang begitu jauh, karena aku tak mau menyakiti hatiku dengan harapan-harapan yang mustahil. Mungkin aku harus tak memandangnya lagi, mungkin aku harus tak bertemu dengannya lagi.
Siangnya, saat aku kebetulan mampir ke kampusnya untuk menemani temanku mengambil barang. Aku melihat dia, duduk berkumpul dengan teman-temannya. Shit! gumamku kesal sambil menarik lengan temanku, mengajak temanku mencari jalan lain agar tak bertemu dengannya. Dan kisah cinta ini berakhir sampai sekarang. Entah untuk besok? Entah pula untuk lusa?