Laman

Selasa, 16 Oktober 2012

Kalam Malam



















Malam hanyalah saksi bisu
Mampukah ia menghitung berapa jumlah tetesan air
Yang jatuh bak peluh yang membasahi ranting kering
Ranting pengharapan di rindu kemarau

Malam hanyalah saksi bisu
Mampukah ia menghitung berapa jumlah bintang di langit
Yang berkelip manja mengerling pada sudut mimpi
Mimpi di ujung fajar menepi

Malam hanyalah saksi bisu
Yang tak mengenal rasanya panas mentari
Yang tak mengetahui indahnya biru
Yang tak memahami cahaya yang penuh

Malam terus saja membisu
Menekuri setiap detik waktu
Dan mencoba bertahan meski kelabu

Selasa, 02 Oktober 2012

Gumaman Malam


Menggaris birunya langit
Dengan tinta awan putih

Memintal embun
Di ujung daun

Memetik sinar mentari
Tuk terangi petang hari

Mengecup warna senja
Dan mata tak lagi terbuka

Di gelap malam
Ku dengar kau menggumam

“Apa yang terjadi
Dan dunia tak mau membagi
Sementara ini diri
Jawabnya tak ku temui”

Jumat, 28 September 2012

Yang Terdalam


 Dan dalam jemari
Terselip do’a-do’a suci
Yang ku haturkan pada Illahi

Ah,
Nun jauh disana
Adakah kau dengar sapaku
Yang melantunkan kidung rindu
Menyebut namamu

Dan dalam nafas
Bahwa seluruh harap yang lepas
dan setiap asa pias
dan mimpi terhempas



Ah,
Raga terkoyak dalam sunyi
Menyentuh pilu dan nyeri yang sembunyi
Sembuh itu masih jauh
Karena memang enggan untuk luruh

Dan dalam darah
Ada dendam merajah

Airmata tak mau lagi bersaksi
Untuk sebuah nisan kenangan
Yang kian tenggelam

Dan dalam senyum
Ku tepiskan lukamu
Ku sembunyikan lukaku

Jumat, 21 September 2012

Senja
















Disana ada senja
Tengah menanti
Jemari bertautan
Bersama meraih satu mimpi

Disana ada senja
Tengah kau temui
Dan mengembang senyum asa
Menyapa mimpi

Disana ada senja
Yang coba ku gapai
Melangkah bersama
Menyelami satu mimpi

Disana ada senja
Senja yang sempurna
Milikmu
Milikku
Milik kita berdua

Pekatmu















Kunang-kunang menghitam
Terkungkung dalam sumbu malam
Meludahi kabut dan sinar lampu
Karena tak peduli laramu

Sumpah serapahmu tersimpan
Dalam ribuan kaleng botol dan lukisan
Pedas perih tak beri kesempatan
Buatmu terangkan satu kecap alasan

Dan kunang-kunang terus berlari
Dengan irama dan denting melodi
Bawa seluruh mimpi yang tak bertepi
Di sakumu dan di genggam jemari

Luluh lantak rasa dan asa
Biar terserak dan berkeping pecah
Hilang
Remuk  dalam sentuhan
Dan kunang-kunang itu terus padam
Menghilang

Kamis, 20 September 2012

Redup Rindu



Merindukan embun pagi
Yang biasanya bergelayut manja di ujung daun
Menyemarakan pagi dengan kesejukan
Diantara riuh kicau burung bersahutan

Merindukan terik mentari
Yang hangatnya menyelimuti hati
Panasnya tak kan rasa
Karena adamu adalah indahnya dunia


Merindukan hujan dan rinai
Yang memainkan rintik air dari awan tinggi
Menyapu seluruh kering rindu kemarau
Dan diantara debu-debu yang basah beku


Merindukan bintang mengerling
Manja memindai ujung menggunting
Dan hanya tinggal lipatan hati terangkum
Di ujung jemari yang mengembangkan senyum

Merindukan jerit malam memekik
dan kunang-kunang memadamkan cahaya
redup
dan hanya redup
tinggal redup yang sayup

Rabu, 19 September 2012

Satu


Prince
Menyapa langit mimpi
Di ujung pelangi hati
Tersembunyi secarik puisi
Dari bidadari
Adakah kau dengar
Lantunan melodi dan petikan senar
Senyum di balik senja
Tawa di tengah cemara
Kedipkan lentik mata
Kan ku sadari bahwa kau ada
Dalam diriku satu




Princess
Kunang-kunang yang hinggap di matamu
Memancar binar indah namun sendu
Adakah yang ku tak tahu
Dalam dirimu
Diriku hanyalah satu keping batu
Menutup lubang di hatimu
Yang tadinya menganga dan membeku
Sadari cinta kasih aku cemburu
Ketika kau memandangi birunya langit penuh haru
Genggam jemariku
Hangatku kan cairkan rasamu
Dan aku padamu

Utuh














Rintik hujan pertama
Dalam rindu kemarau akhirnya tiba
Denting nada yang tercipta
Di antara percikan rinai, daun dan bunga
Resonasinya membuka ingatan lama
Membokar makam kenangan rasa

Langit pekat
Tenggorokan rasa tersekat
Sudah biasa mengabai rasa hati
Tak acuh pada memar luka memori

Diam hanyalah pelampiasan
Pada jutaan rasa yang mengoyak jiwa
Biar, biar saja
Terus terpendam dan tak menyala

Hingar bingar pekik jeritmu
Diantara pekat malam langit kelabu
Bukan, bukannya aku tak mau tahu
Hanya ingin katakan aku milikmu
Kamu milikmu utuh

Pias cahaya diantara kelip bintang raya
Panas menyusup relung berbatu
Lepas sudah semua lalu masa
Hanya tinggal ukiran pengakuan dan janji bisu

Aku milikmu
Dan kamu
Milikmu utuh...

Sabtu, 11 Agustus 2012

Setulus Kata Maaf

Minal aidin wal faidzin... Mohon Maaf Lahir dan Batin...


Bulan Ramadhan mulai mendekati penghujung akhir, mulai bersiap menyapa hari kemenangan. Hari yang dinanti seluruh umat muslim di setiap penjuru dunia. Ada saat dimana kata maaf mulai berhamburan keluar dari bibir. mengucap sepatah kata yang diharapkan mampu menghapuskan segala kesalahan yang telah diperbuat.
Kesalahan yang mana? Kesalahan pada siapa?
Kesalahan terhadap sesama manusia. Selalu saja dikatakan kesalhan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Kenapa? Karena terkadang kita melakukan sebuah kesalahan yang sebenarnya kita tidak tahu bahwa itu adalah sebuah kesalahan.
Pemikiran setiap orang berbeda, jadi apa yang kita pandang baik, belum tentulah baik menurut oranglain. Harus ada ketulusan yang benar-benar tulus lahir dari dalam hati untuk melenyapkan segala prasangka salah yang tertuju pada setiap orang yang selama ini kita dakwa sebagai orang yang bersalah pada kita. Kita harus menyadari bahwa memang tidak ada manusia yang luput dari dosa, dari kesalahan, dari kekhilafan.
Dan di hari yang penuh kemuliaan itu, terhapuslah segala rasa bersalah, karena semua kembali berawal dari nol (dah kayak iklan SPBU aja).
Semoga memang benar-benar masih ada rasa tulus untuk memaafkan sesama, seberapapun beratnya kesalahan itu di mata kita, namun dengan lapangnya kita memaafkan, insya allah, Allah akan semakin menyayangi kita sebagai hamba-Nya yang bijak. Aamiin.

Selasa, 07 Agustus 2012

Al-Qur'an: Surat Cinta dari Allah

Bismillahirrohmannirrohim...

Dengan Menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang...

Dalam setiap ayat yang tertertulis dalam surat-Nya, nampaklah kebesaran dan kebenaran yang Dia miliki...



Mendengar kata "surat cinta" saja pasti akan membuat bahagia bagi siapapun yang pernah menerimanya. Dalam surat cinta, pastinya ada hal-hal yang menggembirakan hati si pembaca. Begitu pula dengan Al-Qur'an yang merupakan surat cinta dari Allah SWT.
Tentu saja surat cinta dari Allah begitu indah, begitu mulia dan begitu menggembirakan. Di dalam surat tersebut lengkap dengan kabar gembira, petunjuk, peringatan dan hal-hal yang akan membuat si pembaca semakin di sayangi oleh Allah.
Surat cinta tersebut juga akan selalu di baca oleh si pembaca. Kenapa? karena ada begitu banyak hal yang pelru ditadaburi, ada banyak hal-hal tersirat yang perlu diketahui lebih jelasnya. Semakin sering surat itu di baca, akan semakin rindu si pembaca di buatnya.
Siapa yang tidak merindukan Allah? Tentu saja semua muslim akan merindukan Allah. Ingin berjumpa dengannya. Bahkan setiap hari akan selalu menyebut nama-Nya dalam setiap hembusan nafas. Melalui dzikir terus saja menyimpan rasa rindu untuk bersua.
Di dalam surat cinta tersebut maka di jelaskanlah bagaimana si pembaca dapat berjumpa dengan-Nya. Berbuat hal-hal yang baik dan bijak, hal-hal yang disukai oleh-Nya. Dengan berbaik hati kepada sesama dan kepada-Nya, maka akan terus berlimpah kasih sayang-Nya kepada si pembaca.
Sudah diterangkan pula bagaimana kita dapat mencinta Allah SWT sepenuh hati, sepanjang masa. Pernahkah mendengar rukun Islam? seperti itulah langkah-langkah bagaimana kita cara kita mencintai Allah.

  1. Pertama, untuk mencintai Allah dengan lahir batin tentu saja harus ada pernyataan, ikrar. Dengan mengucap dua kalimat syahadat, maka resmilah cinta kepada Allah dalam diri kita dan di akui oleh-Nya karena kita juga mengakui kebenaran atas keberadaan-Nya..
  2. Kedua, untuk membuktikan cinta kita kepada Allah, dirikan sholat. Allah telah memberikan segala yang kita butuhkan di dunia yang Dia ciptakan dengan begitu sempurna, dan dengan sholat kita bersyukur dan mencinta-Nya.
  3. Ketiga, atas keberadaan cinta pada Allah dalam hati kita, dan atas pemberian rezeki kepada kita yang telah di atur-Nya, sepantasnya kita berbagi kepada sesama, memberikan sebagian dari apa yang kita miliki. Hal itu Dia perintahkan dan sangat Dia sukai.
  4. Keempat, menahan segala hawa nafsu dalam diri, dan memasrahkan diri kepada-Nya adlaah hal lain yang juga Dia perintahkan.
  5. Kelima, berkunjung ke rumah-Nya, baitullah. Niscaya akan kita temukan mukjizat-mukjizat yang nampak dari pendahulu kita. Akan semakin rindu untuk kembali berkunjung sepulang kita dari rumah-Nya.

Allah SWT juga pasti akan menguji si pembaca, mencoba menilai kadar cinta kepada-Nya. Maka di berikannya beberapa masalah yang sekiranya dapat menggoyahkan hatinya, apakah si pembaca dapat bertahan dan terus bersimpuh mencintai sang Illahi, ataukah berpindah ke lain hati?
Setiap janji yang disebutkan Allah dalam setiap surat-Nya pasti akan dia tepati, asalkan kita tetap setia kepada-Nya.
Berbekalah sebelum menemui-Nya, dengan segala amalan yang Dia sukai, dengan segala hal yang dia perintahkan.
Beriaslah sebelum berjumpa dengan-Nya, dengan basuhan air wudhu setiap harimu.
Basahilah bibirmu dengan lafadz Allah, agar bibirmu semakin indah dan semakin Dia suka.
Kilaukanlah binar matamu dengan pandangan-pandangan yang Dia ridhoi, jagalah pandanganmu agar tak keruh cahaya matamu ketika bersua dengan-Nya.
Indahkanlah suaramu dengan lantunan kalam Illahi, maka ia akan suka dengan suaramu.
Surat cinta itu akan terus terjaga hingga akhir waktu dan bumi telah rapuh untuk membawa muatan muatan makhluk-makhluk terkutuk. Dan hingga saat itu tiba, teruslah mencari petunjuk dan sebarkanlah kabar-kabar gembira yang terdapat dalam surat cinta tersebut.

Letter to Rohmad


"Cinta sejati hadir bukanlah saat kita bersanding, akan tetapi ketika kita merasa bahwa kita selalu bersama meski kita di ruang dan waktu yang berbeda..."


Ketika mata terpejam, aku melihat banyak bintang. Aku tak mengerti, darimana datangnya kelip itu. Yang aku tahu, semuanya begitu indah. Mungkin harusnya ku katakan padamu lebih awal, bahwa bintang itu begitu bercahaya, seperti tatapan matamu.
Kau tahu, ketika aku mengetahui bahwa kau juga mencintai raga ini, mencintai hatiku, mencintai seluruh yang ada dalam diriku, sungguh, aku sangat bahagia. Aku seakan melihat pelangi di sudut langit senja. Begitu indah.
Kau tahu, ketika aku mengetahui bahwa kau sedia menerimaku apa adanya, mau membawaku ke dalam kehidupan yang lebih baik, menjadikan diri ini sempurna dalam kesempurnaan cintamu, aku sangat tersanjung. Aku seakan menjadi satu-satunya bidadari di dunia ini, yang terindah, yang kau miliku.
Akan tetapi mengapa, mengapa ketika jemari kita telah terpaut satu, ada yang berusaha pisahkan. Ah, andai saja setiap nada cinta yang tercipta hanya dari kita berdua, tak ada yang mengusik, alangkah bahagianya hidup yang kita lalui bersama.
Sakit rasa di hati ketika ku ketahui bahwa yang mencoba memisahkan kita adalah keduaorangtua kita. Orang yang selalu kita cintai, kita hormati, yang selalu berkata bahwa mereka mengharapkan kebahagiaan untuk kita, tapi kenapa harus seegois ini.
Kau tahu, selama ini yang ku tahu adalah jodoh di tangan Allah SWT. Sudah di atur oleh sang Pencipta. Tapi yang ku lihat sekarang, jodoh itu di tangan orangtua. Sudah diatur begitu rupa oleh mereka.
Jika kita membangkang, sudah pasti kata “durhaka” tersemat dalam diri kita. Seandainya kita menurut, ah, itu sama saja membunuh kita secara perlahan. Karena kau adalah canduku, aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu. Apakah kita nanti jika jadi orangtua akan seperti mereka? Ah, aku juga tak tahu pasti.
Kata mereka aku tak akan bahagia denganmu. Tapi siapa yang menentukan kita akan bahagia atau tidak. Kita yang menggenggam masa depan, bukan mereka. Tanggung jawab mereka hanyalah memberi restu.
Seandainya alasan mereka untuk menolak keberadaanmu sebagai pendampingku begitu masuk akal dan dapat ku terima, aku pasti akan mundur dan menuruti keinginan mereka. Tapi terkadang alasan mereka begitu absurd dan tak boleh ku ketahui kejelasannya. Adakah yang tersembunyi? Ataukah aku memang sudah dijodohkan dengan yang lain. Aku pun tak mengerti.
Jika surat ini sampai di tanganmu, yakinlah aku selalu menjaga cinta kita. Bahagia ini milik kita berdua. Suatu saat nanti akan kita buktikan pada mereka, bahwa kita ini memang ditakdirkan untuk bersama, meskipun itu harus dengan mati bersamamu.
Dengan seluruh cinta kasih yang kumiliki. Aku berjanji setia menjaga cinta ini. Tak usah dengar apa kata orang yang ada disekelilingmu. Yakin sajalah bahwa diriku selalu ada untukmu, disampingmu, menemani setiap langkahmu.
Bahkan hingga nanti mataku tak lagi terpejam, dan bintang-bintang itu menghilang, aku ingin kau disisiku, dan bintang-bintang itu tergantikan dengan binar matamu.
Terimakasih untuk seluruh kisah cinta yang telah kita mulai bersama. Saatnya kita lanjutkan kisah ini dan berharap agar jemari kita tetap saling bertautan.


Zulaikha

*) ala Romeo and Juliet

Jumat, 27 Juli 2012

Merindukan Cahaya

Yogyakarta, 2000

Namaku Akbar. Aku hanyalah seorang pemuda desa biasa. Ingin mencari jati diri yang seolah menjauh pergi tiap kali hampir ku mencapainya. Dalam tiap denyut nadiku, aku selalu berharap ada cahaya terang yang menemani langkahku. Cinta, itulah cahaya yang kumaksud. Namun bukan sekedar cinta biasa yang semu dan sesaat. Cinta yang indah, dilandasi iman kepada sang Pencipta.
Sudah beberapa hari ini aku diam berdiri di halte bus, menunggu angkot yang membawaku menuju tempatku mencari ilmu. Universitas biasa yang kuharap bisa menjadikanku manusia luar biasa. Bukan maksudnya menjadi pahlawan bertopeng ataupun sejenisnya, yang ku maksudkan aku bisa menimba ilmu disana dan menerapkannya di dunia nyata.
Setiap kali aku diam berdiri di halte ini, ada seseorang yang sama, selalu duduk menyendiri di ujung bangku panjang. Seorang gadis. Tidak begitu cantik. Bahkan jauh untuk dibilang seksi. Tubuh yang dibungkus baju seragam putih abu-abu dan kerudung putih itu diam memandang jauh kedepan dengan tatapan kosong. Enggan rasa di hati untuk menyapanya. Bahkan kaki ini menahanku pergi untuk sekedar menemaninya duduk di bangku.
Angkot yang ku nanti sudah datang. Saatnya aku pergi, dan gadis itu masih duduk sendiri.
***

Yogyakarta, 2001

Ada hal lain yang membuatku lebih semangat untuk datang ke kampus ini. Seorang gadis cantik nan anggun telah menantiku didepan pintu kelas, selalu menyambutku dengan senyuman manis yang mengembang di bibirnya.
Ah, Anisa. Gadis cantik nan anggun yang selalu membuat hatiku berbunga. Menjadi lebih semangat untuk menjalani hidup di kampus yang begitu keras. Dan aku menyebutnya: kekasihku.
Sebenarnya perkenalan dengannya begitu singkat. Akupun tidak terlalu melakukan pendekatan yang rumit. Karena aku dan dia sama-sama memiliki rasa cinta satu sama lain. Indahnya cinta.
Kedekatanku dengannya memberikan rasa cemburu pada kaum adam yang lain. Tentu saja menjadi hal yang wajar, gadis secantik dan seanggun dia disayangi oleh banyak pria. Namun, aku begitu bahagia saat tahu, aku adalah pria terpilih untuk menyebutnya sebagai kekasih.
“Terlambat 15 menit,” gerutunya manja.
“Maaf, terkadang angkot memang tidak tepat waktu datangnya,” sahutku sembari tersenyum dan menggandeng tangannya. Kami masuk kelas bersamaan.
Kisah yang kurangkai bersama Anisa memang begitu manis. Dia cinta pertamaku, kekasih pertamaku, dan aku menginginkannya menjadi kekasihku. Meminang gadis terindah di dunia ini. Bidadari surga pasti cemburu kepadanya.
Hingga hari itupun tiba. Hari dimana aku harus menyadari bahwa dunia ini tak seindah impian kita. Kenyataan bahwa tak selamanya kita mengecap hal-hal yang manis, terkadang kita harus mencicipi pahitnya juga.
Amplop yang kuterima dari Rahma tadi pagi, menyadarkanku bahwa aku hidup di dunia yang begitu keras. Sesampainya dirumah, aku merobek ujung amplop dan menarik keluar secarik kertas penuh huruf yang terangkai. Tulisan yang begitu indah itu justru membawa kepedihan yang menyayat hatiku.

Maaf.
Hanya itu kata yang mampu ku tuliskan untuk mewakili perasaanku padamu. Ada banyak hal yang ingin ku jelaskan. Namun aku rasa waktu tidak mengijinkan kita untuk berjumpa lagi dengan perasaan yang sama seperti dahulu.
Aku meminta maafmu, karena aku tahu aku telah menyakiti hatimu. Menorehkan luka yang begitu dalam. Sebut saja aku tidak berperasaan, karena mungkin sebutan itu pantas untukku. Tapi aku hanya ingin kau tahu. Dunia ini tak selalu menuruti impian kita. Ada hal-hal lain yang berpengaruh atas keberlangsungan cerita indah yang kita inginkan.
Aku sekarang menemukan penggantimu. Seseorang yang bisa menuntunku menuju-Nya. Dia calon suamiku.

Anisa

Airmata benar-benar harus ku tahan. Aku tak mau menangis. Bukan salahnya, bukan pula salahku. Aku tidak bisa menyudutkan siapa yang bersalah. Aku harus merelakan semuanya berlalu. Meski sakit yang tertahan di hati begitu merajam. Ah, aku tak mau bermelankolis. Cukup aku dan Dia yang tahu rasa apa yang sedang berkecamuk dalam hati.
Pria seperti apa yang bisa membuat hati kekasihku, ah, mantan kekasihku mampu berpaling dariku. Apa kekuranganku? Mungkin banyak, dan aku tak tahu.
Surat itu masih terus ku baca hingga aku sampai di halte.  Rasa perih yang menusuk semakin terasa nyeri. Aku diam memandang lalu lalang kendaraan di depanku.
Sudut mataku menangkap sosok yang tidak asing. Gadis yang sama. Masih duduk diam di ujung bangku. Sebenarnya rasa penasaran selalu menggelitikku. Namun saat ini, perasaan campur aduk itu membuatku semakin enggan untuk mendekatinya.
Gadis itu menatap tenang meski pandangannya tetap kosong.
Tiba-tiba senyum mengembang di bibirnya. Dan entah, tiba-tiba wajah yang biasa saja itu terlihat begitu cantik saat tersenyum. Sejenak aku terpesona menatapnya. Gadis itu beranjak mendekati sebuah motor yang berhenti di halte. Seorang pria mengulurkan helm padanya.
Aku mengenal pria itu. Angga. Sahabatku di kampus.
***

Sejuta tanya tentang gadis itu tiba-tiba ingin menyeruak keluar setiap kali aku sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatku, dan tentu saja ada Angga disana. Tapi seperti ada yang menyumbat bibirku. Lidah ini kelu tiap kali aku sudah merangkai kata untuk bertanya pada Angga.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu Bar?” tanya Angga ketika dia memergokiku tengah gelisah menatapnya.
“Nggak, nggak apa-apa kok,” jawabku buru-buru.
“Bahaya tuh Ngga, jangan-jangan Akbar naksir kamu,” celetuk Aryo yang kemudian disambut tawa sahabat-sahabatku.
“Kacau lo Bar, masa’ baru ditinggal Anisa aja langsung banting stir jadi suka sesama sih?” omel Angga dengan nada geli.
“Sialan kalian,” gerutuku tanpa mampu membela diri.
***

Yogyakarta, 2002

Pertanyaan yang berkeliaran liar dikepalaku terhenti sejenak. Ketika satu cinta yang lain datang menyapa. Aisyah. Dia adalah sahabat dari sepupuku. Perkenalanku dengannya pun begitu singkat. Akan tetapi dari perkenalan singkat itu, ada rasa cinta yang tercipta.
Tak jauh berbeda dengan Anisa, Aisyah adalah putri dari seorang Kiai. Sudah pasti pengetahuan tentang agamanya lebih dalam daripada aku. Dia juga begitu santun. Apalagi mendengar suaranya yang lembut. Membuatku tak bisa lepas memperhatikannya.
“Aisyah sudah punya pacar belum?” tanyaku pada Aida, sepupuku ketika aku iseng-iseng main ke rumahnya sewaktu liburan semester.
“Belum, kenapa? Kamu naksir dia?” tanya Aida. Aku hanya tersenyum geli sambil mengedipkan sebelah mataku padanya.
“Sok imut,” gerutunya.
Aneh memang, hanya dengan hitungan bulan, aku sudah menggantikan posisi Anisa dihatiku dengan nama Aisyah. Mungkin benar kata sahabat-sahabatku, untuk bisa melupakan sakit hati adalah dengan jatuh cinta lagi.
Aku hanya bisa sebulan sekali bertemu dengannya, itu karena rumahnya berbeda kota denganku. Bahkan pernah aku menemuinya dua bulan sekali karena tugas kuliah yang menuntutku untuk terjun langsung ke beberapa daerah untuk observasi penelitian.
Selama ini hubunganku dengannya baik-baik saja, namun kerenggangan mulai terasa ketika ia memutuskan untuk belajar di pondok pesantren yang tempatnya cukup jauh. Butuh waktu sehari semalam untuk sampai kesana.
Aku tentu tidak bisa turut campur dalam pilihannya, karena dia masih tanggung jawab orangtuanya. Aku hanya bisa mengikhlaskannya belajar di tempat yang jauh dariku. Aku tahu, ini untuk kebaikannya. Semoga Aisyah nanti menjadi wanita sholehah yang menjadi perhiasan dunia.
“Tiap kali lebaran aku pasti pulang,” janjinya padaku saat aku turut mengantarkannya ke stasiun. Aku hanya tersenyum penuh harap.
***

Yogyakarta, 2003

Masih dengan kegiatan yang sama, tiap pagi pasti aku sudah ada di halte ini, menunggu angkot. Dan gadis yang dulu itu tak lagi berseragam putih abu-abu. Baju yang dikenakannya sama seperti anak-anak kuliahan. Dia masih duduk diam memandang lurus ke depan.
Sudut mataku menangkap sebuah amplop merah jambu di tangannya. Tangannya bergetar lembut. Sepertinya dia sedang gelisah. Beberapa kali aku melihat ia menggigit bibir bawahnya. Mungkin dia benar-benar gelisah atas sesuatu.
Tapi fikiranku pada Aisyah mengalahkan rasa penasaranku padanya. Sekali lagi gadis itu kalah atas satu cinta dihatiku.
Lebaran tahun ini semakin terasa indah daripada sebelumnya. Setahun tak bertemu membuat rasa kangen serasa akan membunuhku. Aneh memang rasa kangen itu, antara sakit dan bahagia. Dan malam ini, aku lepaskan rasa kangen itu bersamanya.
Di bawah langit malam yang tak hanya bertabur gemerlap bintang, tapi juga ditambah warna-warni kembang api. Indahnya. Aku dan Aisyah duduk berdua di teras rumahnya, sementara ayah dan ibunya duduk di ruang tengah, sedang menonton televisi.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku ketika dia duduk di sampingku,
“Alhamdulillah, baik,” jawabnya singkat,
Rasanya tak percaya bisa bersanding lagi dengannya. Tapi memang ini bukanlah sekedar mimpi, ini nyata. Kerinduanku sirna sudah, terobati dengan hadirnya dia di sisiku.
Meski kadang aku merasa ada yang aneh dengannya sikapnya yang kaku dan sedikit canggung, tapi coba ku redam kegelisahanku dengan terus mencoba ngobrol dengannya. Aku hanya punya kesempatan untuk duduk berdua dengannya malam ini, esok dia harus kembali ke pondok pesantren.
Malam ini aku mimpi indah.
Pagi hari, aku sudah datang ke rumah Aisyah, membantunya packing. Hanya aku seorang yang mengantarnya ke stasiun, karena ayah dan ibunya harus tinggal di rumah karena ada saudaranya yang akan berkunjung.
Turun dari bus, ku bawakan tas dan kopernya. Dia diam mengekor dari belakang. Aku hanya tersenyum melihatnya masuk ke gerbong kereta.
“Aku akan menunggu kedatanganmu lagi,” ucapku sebelum kereta benar-benar berangkat.
Aisyah hanya tersenyum tipis dan menunduk.
***

Yogyakarta, 2004

Assalamu’alaikum wr. wb.
Bersama dengan surat ini aku minta maaf. Mungkin ini akan menyakitimu, tapi ini pilihanku. Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak bisa lagi meneruskan hubungan kita. Aku sudah memilih putra Kiai di pondok pesantrenku sebagai penggantimu, namanya Gus Alif. Jika kau berkenan, suatu saat nanti akan ku kenalkan padamu. Afwan.
Wasalamu’alaikum wr. wb.

Aisyah

Surat yang sampai ditanganku kemarin siang masih saja kubaca. Surat permintamaafan lagi. Meminta maaf itu mudah, tapi untuk memaafkan, itu masih terlalu sulit bagiku. Ku buka laci meja belajarku, disana bersemayam surat dari Anisa beberapa tahun yang lalu, dan kini surat itu tak lagi sendiri. Surat dari Aisyah ini akan menemaninya.
Pagi itu aku benar-benar kacau, sekacau rasa dihatiku.  Padahal siang nanti ada ujian pendadaran. Sial.
Sesampainya di halte, aku duduk sambil menunggu angkot yang akan membawaku ke kampus datang. Sudut mataku menangkap sosok yang membuat banyak pertanyaan di benakku. Amplop berwarna merah jambu itu masih setia di genggamannya. Sudah tidak karuan bentuknya. Mungkin karena terlalu sering dia genggam, maka membuat surat itu kian lusuh termakan waktu.
Aku sedikit penasaran, surat itu dia tujukan untuk siapa? Sudah setahun lebih sejak aku pertama kali melihat surat itu, hingga sekarang masih setia dia genggam. Itu surat untuk siapa ataukah surat dari siapa?
Pertanyaanku kembali terhenti sejenak di benakku karena angkot yang kunanti sudah datang. Ku langkahkan kakiku menuju angkot tersebut. Akan tetapi sebuah tarikan kecil di lengan bajuku membuatku terhenti. Aku menengok, siapa yang menghentikan langkahku.
Nampak gadis yang tadinya duduk di ujung bangku sudah ada di belakangku, dia mengulurkan surat beramplop merah jambu padaku. Surat yang telah lusuh itu.
“Buat aku?” tanyaku tak percaya.
Gadis itu mengangguk. Ku ambil surat tersebut dari tangannya, belum sempat aku menanyakan hal yang lain, dia sudah kembali duduk di ujung bangku sembari menunduk. Masih dengan penasaran, aku masuk ke dalam angkot sambil terus memandangi surat tersebut.
Tentu saja penasaran, kenapa? Karena aku tidak mengenal siapa gadis itu. Dengan acuh tak acuh, ku masukkan surat tersebut ke dalam tas. Pikiranku sedang kacau karena Aisyah, karena ujian pendadaran, kini ditambah rasa penasaran atas surat ini.
***

Yogyakarta, 2005
Akhirnya aku wisuda. Dan sudah sejak sebulan yang lalu aku bekerja, tapi aku masih merasa ada yang belum bisa ku capai. Cahaya yang dulu ku impikan itu belum juga datang. Cahaya yang bernama cinta berlandaskan taqwa kepada sang Pencipta.
Mungkin Anisa dan Aisyah terlalu sempurna untuk ku miliki. Mereka sudah bahagia dengan pilihan mereka masing-masing. Dan tinggal aku yang harus tersenyum melihat senyum mereka yang terkembang karena orang lain. Mungkin aku harus menyerah dengan keinginanku melalui jalan hidupku dengan cahaya itu.
Ku buka laci meja belajarku. Ada dua surat disana, berdampingan. Surat dari Anisa dan Aisyah. Surat yang beberapa tahun yang lalu sempat mengoyak hatiku, menghancurkan perasaanku. Dan surat itu hanya tinggal prasasti perjalanan hidupku. Semoga tidak ada surat sejenis di kemudian hari.
Surat?
Aku teringat dengan surat merah jambu yang belum sempat ku baca. Surat yang telah lusuh dimakan waktu. Surat yang terselip dalam tasku.
Surat itu masih ada di dalam tasku, semakin tak karuan bentuknya. Ku buka perlahan kertas merah jambu itu, hanya ada sepenggal kalimat yang tertera disana. Bergetar hatiku membacanya.

Aku ingin kamu menjadi imamku

***

Yogyakarta, 2006

Sejak pagi tadi aku tidak melihat gadis yang memberikanku surat merah jambu di halte ini. Rela ku bolos kerja hari ini, ku katakan kepada pak Alan bahwa aku sakit sehingga tak bisa pergi  ke kantor. Diam berdiri di halte membuatku bosan.
Aku segera menuju kantor Angga. Kebetulan sekali Angga tidak sedang dinas keluar kota.
“Tumben kemari, ada apa Bar?”
“Aku mau tanya sesuatu, sebenarnya aku sudah lama pengen tanya tentang ini, tapi aku bingung,”
“Tanya apa? Jangan belibet kayak cewek,”
“Cewek yang selalu kamu jemput di halte itu siapa sih?”
Angga bengong sejenak sebelum menjawab pertanyaan dariku.
“Sori, kalau itu cewekmu, aku nggak akan tanya-tanya lagi deh,” buru-buru ku tambahkan, takut Angga salah paham.
Di luar dugaan, Angga tertawa tergelak-gelak.
“Oh, Amanda? Dia adikku, kenapa?”
“Adikmu?” tanyaku tak percaya,
“Iya, kenapa, nggak percaya?”
“Lalu kenapa dia harus menunggu di halte, bukannya rumahmu deket dengan halte,”
Angga tersenyum. Dengan sedikit geli dia ceritakan tentang Amanda.

Amanda lebih suka duduk di halte sembari menunggu Angga mengantarkannya ke sekolah. Angga sendiri juga heran mengapa adiknya bertingkah seperti itu. Namun rasa penasaran Angga terhenti ketika melihat buku harian adiknya. Disana selalu ia tuliskan bahwa ia melihat malaikat di halte.
 “Siapa malaikat yang kau lihat di halte, Dik?” tanya Angga suatu hari pada adiknya.
Wajah Amanda merona merah.
“Darimana kakak tahu aku melihat malaikat di halte?”
“Maaf, kakak lancang membaca buku harianmu, kakak penasaran kenapa kamu selalu menunggu kakak di halte,”
Amanda tersenyum sambil menunduk.
“Dia malaikat kak, pertama kali melihatnya, dia terlihat begitu indah, aku menyukainya,”
“Siapa namanya?”
“Aku tidak tahu kak, aku malu untuk berkenalan dengannya,”
“Lewat surat saja, berikan padanya, siapa tahu dia mau mengenalmu lebih dekat,”
 Sayangnya hingga Amanda kuliah, dia belum bisa mengenal malaikat yang selalu dia lihat di halte. Angga melihat sendiri, setiap kali dia mengantar Amanda, surat merah jambu itu  selalu ada di genggamannya.

“Dimana adikmu sekarang?” tanyaku cepat, memotong ceritanya.
“Kenapa?” tanya Angga penasaran,
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Angga, pintu ruang kerja Angga terbuka, muncul sosok yang sangat ku kenal. Dia masuk sembari membawa sekotak kue brownies. Senyumnya terlihat begitu ceria, membuat wajahnya terlihat begitu cantik.
Aku beranjak dari dudukku. Amanda terlihat begitu terkejut melihatku ada di ruang kerja kakaknya. Senyumnya menjadi kaku, lalu perlahan dia mendekati kakaknya.
“Cobain kak, ini bikinanku lho,” ucapnya manja. Suaranya menggelitik indraku.
Angga mengambil kotak kue dari tangan Amanda, kemudian membukanya. Angga menatapku,
“Mau coba, Bar? Mumpung gratis,” ucap Angga, aku tersenyum dan mengambil sepotong brownies dari kotak kue yang di pegang Angga.
Sebelum potongan kue itu masuk ke mulutku, ku lirik Amanda, dia terlihat begitu tegang dan salah tingkah.
“Manis, kayak yang bikin,” ucapku setelah menelan potongan kue tersebut.
Amanda memandangku dengan wajah berbinar.
“Yang bener?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menganggukkan senyum padanya.
“Tapi ada sedikit pahit sih,” ucapku.
Ku tatap wajahnya, ada sedikit rasa kecewa di raut mukanya. Sangat terlihat dia kecewa.
“Mungkin itu rasa pahit dari sebuah penantian yang tak pasti,” lanjutku,
Wajahnya berubah merah. Aku tahu dia malu. Sementara Angga masih belum paham dengan tingkah laku kami yang aneh.
“Kalian ngomongin apa sih?”
Aku menarik sepucuk surat merah jambu dari saku celanaku. Entah seperti apa bentuknya, aku tidak peduli.
“Ijinkan aku menjadi imammu,”
***

Yogyakarta, 2007

Dan kini aku pahami, bukan aku yang seharusnya mencari cahaya itu. Tapi aku yang harus menghadirkan cahaya tersebut. Mungkin aku tidak berjodoh dengan Anisa dan Aisayah karena mereka adalah cahaya bagi orang lain, dan mungkin aku harus menjadikan Amanda cahayaku. Menjadikannya cahaya penerang jalan hidupku. Dan cinta itu hadir, kami rangkai bersama. Menjadi imamnya sama saja membawa sebuah nyala obor di kegelapan jalan kami.
Insya Allah, cahaya itu selalu ku genggam menuju surga-Nya.

*) Kalau dikembangin jadi novel, seru nggak yaw??? Coz, ni masih ngambang, belum keliatan asyik klo jadi cerpen.... Hehehhe.. ^^

Minggu, 17 Juni 2012

First Anniversary


"An anniversary is a day that commemorates or celebrates a past event that occurred on the same day of the year as the initial event."


Mungkin berbeda sedikit dengan birthday. Kalo anniversary adalah event, sementara birthday adalah kelahiran. Tapi kalo di bahasa Indonesia, tetap saja selamat ulang tahun. Meski sebenarnya bukan tahunnya yang di ulang, tetap saja penyebutannya ulangtahun.
Hari-hari perayaan seperti ini akan selalu dibanjiri dengan hadiah-hadiah. Mungkin sudah identik dan sudah membudaya. Tapi kenapa harus di perayaan seperti itu, sangat spesialkah hari itu???
Bagiku, memberi hadiah bisa kapan saja, hanya memang, pada hari perayaan tersebut akan lebih terasa istimewa. He...
Dan sekarang adalah anniversary untuk yang pertama kali untuk menyapa satu tahun aku pacaran. Ho.... It's so great. Bukan apa-apa. Hanya saja memang lucu. Setahun yang lalu aku resmi pacaran dengan orang yang ku suka sejak kelas 1 di STM dulu. Sebenarnya sudah lost contact sejak lama, tapi sewaktu erupsi merapi, aku mulai dekat lagi dengannya.
Banyak hal-hal yang terlewatkan, bahkan aku nggak tahu kalau dia sudah ada yang punya. Ho... Bikin down banget. Tapi sebagai secret admirer sejati, it doesn't matter. Sebelum janur kuning melengkung, maka masih ada kemungkinan dia jodoh saya. (Ngarep bangeeetttt....)
Tepat setahun yang lalu 18 Juni, aku dan dia main ke Paris. Sebenarnya hari itu aku ada acara di basecamp, tapi aku tunda dulu, karena kebetulan acaranya ada menginapnya segala, jadi aku anggap nggak apa-apa kalu datang terlambat. He....
Waktu itu, aku masih belum nyadar kalau saat itu dia menyatakan bahwa kita resmi pacaran. Yang ku ingat hanyalah, dia bertanya, "Kamu sayang nggak sama mas?"
Ya ku jawab saja, "Ya,"
Karena memang seperti itu perasaanku, tergelitik rasa penasaran karena dia belum lama putus dengan pacarnya, aku pun gantian bertanya,
"Kalau mas, sayang nggak sama aku?"
dan dia menjawab "Ya,"
Saat itu aku belum ngeh, kalau dengan percakapan singkat itu saja kami sudah resmi pacaran. Aku disadarkan oleh temanku yang mendengarkan curhatanku. Ngerasa bego' sedunia sewaktu tahu bahwa aku telat nyadarnya.
Ah, aku memang nggak pernah peka dengan situasi seperti itu. Di deketin cowok saja tak pernah nyadar, eh, mpe di tembak pun nggak paham juga.
Senangnya... Ternyata sudah setahun. Nggak kerasa ya...
Aku sih pengennya sampe hubungan yang serius. Aamiin....

Selasa, 12 Juni 2012

SNMPTN Menyisakan Kenangan

Jadi inget 3 tahun yang lalu, ikut SNMPTN di UNY.
Pertama kali datang buat ngambil formulir aja, nyasar kemana-mana. Tanya sana tanya sini, akhirnya mblusuk kemana-mana.Ho... Penuh perjuangan sekali hanya untuk datang ke GOR'ny. Hari pertama ujian, dateng di anterin mas'q tercinta.
Sampai disana, nungguin jam sambil mengeluarkan jurus kepompong (tengok kanan tengok kiri, sapa tahu ketemu sama tetangga).
Eh, lagi asyik-asyiknya ber-"kepompong ria", ada seorang cowok sibuk ngobrol sama hape-nya. Ngomongnya nyerocos, mungkin lebih dari sekedar cerewet. seperti kereta api yang remnya blong. Aku senyum-senyum sendiri. Eh, tiba-tiba di samperin sama cowok itu.

Cwok: "Hai,"
Aku: (dengan tampang bego, yang bego'ny melebihi apapun itu) "Hai"
Cwok: "Tahu bahasa bangka belitung ya?"
Aku: (nyengir dulu, paham darimana gw bahasa babel, bahasa jawa aja masih gagu) "Nggak"
Cwok: "Lhah tadi kenapa senyum2 pas denger saya telpon ibu saya?"
Aku: (senyum dgn wajah polos tanpa dosa) "Lucu aja, ngomongnya cepet banget kayak kereta api nggak ada remnya,"

Dan percakapan itu berlanjut hingga masuk jam ujian. Dan hingga saat ini aku tidak tahu siapa namanya, berapa nomer telfonnya. Kenapa? Nggak punya inisiatif buat tanya, keasyikan ngobrol.
Yang lebih errornya lagi sewaktu ujian adalah, fakta bahwa aku dari STM, dan saat ujian mengambil IPS, sedheeengggg.....!!!!
IPS yang ku tahu hanya sebatas sejarah, itu yang paling aku paham. Kenapa? Karena isinya cuma dongeng aja, asik kalau dibaca. Tapi ternyata, ada Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi.
Huwaaahhh... Saatnya berburu buku-buku pelajaran. Dan alhasil aku pinjem tetangga. Bayangkan aku pinjamnya sore hari, dan aku belajarnya malah hari, dan sebelum subuh aku sudah harus menunggu bus, berangkat ke Jogja.
Dari sekian banyaknya buku yang aku pinjem, yang paing aku pahami hanya Sejarah dan Sosiologi. Yang lainnya: Zooonnnkkkk.....!!!!
Yang pasti setelah ngerjain soal IPS itu, aku merasa sudah tak memiliki harapan.
Aku hanya mengikuti anjuran dari orang-orang yang pernah ngobrol denganku, "Nggak perlu dikerjain semua, jawab aja yang kamu benar-benar tahu, kalau nggak yakin benar, tinggal aja,"
Dan walhasil, lembar kerjaku banyak bolongnya. Dan akhirnya hanya bisa pasrah.
Sewaktu pengumuman, aku meminta mas'q yang satunya lagi untuk melihat hasil SNMPTN. Tengah malam, lagi enak-enaknya tidur di telfon mas'q. Dia bilang aku lolos.
"Ini kodenya: bla3x...."
Aku lihat buku panduan, ternyata aku masuk PGSD. Dan diminta sama kedua orangtuaku dan mas'q yang satunya untuk ambil univ swasta aja. Ya sudah..,
And you know what? Temen2'ku jebolan SNMPTN yang gak masuk PGSD. Sedheng gak tuh????
Bener2 konyol dah....

Senin, 11 Juni 2012

Uneg-uneg Sewaktu SD

Pernahkah kita berfikir untuk menjadi oranglain? Orang yang lebih daripada kita? Entah lebih tampan/cantik, lebih kaya, lebih pintar, dll. Kebanyakan dari kita akan menjawab: Pernah. Ya, seperti kata pepatah, rumput tetangga lebih hijau/segar. Kenapa? Karena kita hanya memandangi pelangi dilangit, pelangi itu hanya bias cahaya. Indah memang, tapi kita tak pernah menyadari bahwa cahaya dari diri kita jauh lebih indah daripada pelangi yang muncul seusai hujan itu.
Apakah dengan menjadi oranglain, kita akan menjadi lebih bahagia? Jawabannya adalah: belum tentu. Yang kita pandang setiap hari adalah raga, seonggok daging yang sama dengan daging yang kita miliki. Yang menjadikannya berbeda adalah isi dari raga tersebut. Jika kita masuk ke dalam raga orang lain, sementara kita tidak memiliki niatan untuk menajdi yang lebih baik, sama saja bohong. Bisa jadi setelah kita berubah menjadi orang lain, kita akan menanyakan hal yang serupa, "Mengapa aku tidak menjadi dia saja?"
Ah, andai saja dulu kita bisa request pada Tuhan, pasti kita akan meminta yang sempurna. Ya, itulah manusia, tidak pernah merasa cukup. It's OK bila itu tentang amal ibadah kita merasa tidak cukup, akan tetapi jika menyangkut hal-hal duniawi/ubud dunya, wow!
Yang harus kita lakukan sekarang bukannya mengeluh kepada Tuhan dengan keluhan-keluhan yang membosankan, tapi yang harus kita lakukan adalah introspeksi diri, mengevaluasi, apakah yang kurang dari diri kita sehingga kita memandang lebih pada oranglain. Jika kita sudah menemukannya, perbaikilah, jadikan diri kita lebih daripada oranglain. Bukan berarti kita harus memandang bahwa diri kita lebih baik dari oranglain. Bukan! Itu namanya sombong, riya', angkuh.
Kita jadikan oranglain sebagai pembanding. Sesekali bolehlah kita melihat keatas untuk melihat bahwa kita belum cukup tinggi dalam peraihan cita-cita. Tapi jangan selalu melihat ke atas, jadinya nanti akan pusing dan stress sendiri. Sesekali kita harus melihat ke bawah, untuk mensyukuri apa yang telah kita capai. Tapi jangan terlalu sering melihat ke bawah, jadinya nanti jatuh tersungkur dan sakit sendiri.
Intinya adalah kita harus mendyukuri apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Mungkin lahir ke dunia ini adalah sebungkus hadiah. Tergantung kita memaknai hadiah itu seperti apa. Akan kita sia-siakan dan kita buang tanpa melihat isinya? Ataukah kita miliki dan kita nikmati hadiah yang ada didalamnya?
Itu terserah pada pembaca yang menilainya. ^_^