Kabar yang tidak ingin didengar itu menyapa telinga. Rencana ke Wonosobo gagal karena si empunya rumah sedang punya hajat dan tidak bisa diganggu gugat. Oke, fine. Namanya juga keadaan dan kenyataan, mendadak pun harus diterima dengan lapang dada, meski rasa kecewa yang menyeruak tetap saja sebesar apa sajalah yang besar-besar.
Dalam perjalanan mengantar seorang kawanku belanja, sebuah
ide terlintas di kepala. Masih teringat satu keinginan tertunda yang rencananya
akan direalisasikan usai perjalanan kami menuju Wonosobo. Muncak ke Suroloyo.
Dengan adanya guide terpercaya, akhirnya aku mengusulkan acara itu untuk
mengembalikan mood kami yang sempat hilang.
Ketika semua sepakat dan aku ‘terpaksa’ sebagai koordinator,
walhasil harus sering memastikan berapa personil yang akan berangkat dan
ketepatan waktu untuk bersiap. Hingga hari Jumat (20/6), nama yang tertera
tinggal Mbak Yanti, Ayah, Erna, Yoga, Eko. Sementara itu saja sudah cukup,
karena Levi sedang sakit dan Taofiq sedang ngirit.
Belum sempat merasakan debaran penantian hari esok, kabar
tak sedap kembali menyambangi ruang pikirku. Mbak Yanti harus mengambil rapor
Nur hari Sabtu (21/6). Kemungkinan yang tersedia adalah kami berangkat agak
siang. Namun sebuah sms yang kurang menggairahkan hadir, “ya paling tidak jam
12 berangkat, kalau nggak, ya nggak jadi ikut saja, denahnya sudah aku kasih ke
Ayah.” Sebuah sms yang membuat aku lemas seketika. Diburu waktu dengan kesibukanku
menyapa editan majalah, aku mulai sibuk mencari konfirmasi untuk kesiapan esok
hari. Akhirnya, kata sepakat sudah kami dapat. Sabtu siang pukul 13.00 WIB
tanpa ada kata terlambat kami akan berangkat.
Dengan berbekal handphone untuk berburu arah menuju tempat
pertemuan kami dengan guide kami, mbak Ana, teman KKN mbak Yanti, sempat nyasar
hingga harus putar balik. Tapi lumayan seru nyasarnya, di beberapa tembok yang
dekat dengan jalan nampak beberapa mural menghiasi, mural tentang PSS. Ya mulai
dari PSS Sleman, Slemania, Brigata Curva Sud, hingga BCS Lajellan menyejukkan
mataku sejenak. Rindu laga itu kembali menggebu, memberikan secercah warna di
hati yang selama ini tersaput mendung.
Perjalanan panjang mendaki dan berliku telah kami lalui, dan
sampailah kami ke tempat tujuan. Puncak Suroloyo. Menaiki tangga, dengan nafas
satu-satu, akhirnya kami bisa menyapa negeri atas awan yang menawan. Terselubung
di dalam kabut setelah hujan mengguyur, kemudian disapa seulas pelangi di kaki
bukit, keindahan tak terkira yang kami dapatkan.
Rasanya ingin disana beberapa jenak dan menghentikan waktu
agar tak lekas gelap. Tapi apa mau dikata, hari memang sudah malam, waktunya
pulang, mengembalikan guide kami ke rumahnya untuk berkumpul kembali dengan
keluarganya.
Ah iya, aku lupa belum menceritakan ketika kami sampai di kaki bukit, beristirahat sejenak di pendopo. Kami memesan tujuh mie seduh dan enam teh manis panas. Eko memesan teh tawar. Kami mulai sibuk dengan makanan kami sambil sesekali bersendau gurau. Ternyata teh pesanan kami rasanya pahit, bahkan yang kami pesan manis pun masih terasa pahit. Apalagi yang tawar, rasanya mirip jamu pahitan.Ketika kami membayar, ternyata anak dari pemilik warung adalah salah satu mahasiswa satu kampus dengan kami. Dan dia mengenali kami sebagai anggota ukm jurnalistik di kampus. Dan masih banyak lagi kisah-kisah yang menjadi selingan indah perjalanan kami yang tak bisa ku tuliskan secara keseluruhan disini.
Momen yang begitu sempurna. Terima kasih kawan, bersama
kalian, rasanya hidup tak pernah ada beban.