Laman

Kamis, 26 Desember 2013

Sajak Tentang Hujan


"Sajak ini bercerita tentang hujan

Tentang sebuah pertemuan

yang tak pernah lepas dari rintik rinai

terhempas dari awan di langit tinggi"



Masih ingatkah kamu. Kita bertemu diantara bintang seribu, diantara kelip lampu, di bawah langit yang memayung. Kita bertemu, pandangan tak mampu beradu, hanya menyunggingkan senyum, kemudian  memalingkan wajah malu.

Ah, masih terbayang wajahmu yang memerah, mungkin merasa gerah oleh segelas kopi dan sepiring roti yang tersaji. Hingar bingar roda berputar di sepanjang jalan raya, oh iya, kita sama-sama lupa, ini malam minggu, malam dimana sepasang kekasih asyik menghanguskan rindu. Mungkin hangusnya itu sama dengan hangusnya roti bakar ini. Ah, siapa peduli. Malam dimana sepasang kekasih asyik membagi panasnya gelora asmara. Mungkin sepanas kopi yang tersaji dengan asap yang masih mengepul. Ah, kita pun tak juga peduli.

Kita masih berjibaku, menyelami fikiran kita sendiri. mungkin sebuah ikatan yang halus, tersembunyi dalam bayang. Ah, malam memang mengaburkan pandangan, tak pernah terlintas memang ada seutas tali yang akan mengikat kita. Sejauh ini.

Pertemuan itu berlalu seiringnya waktu, kian malam, kian temaran dan aku ingin pulang. Bukan karena jemu, bukan. Hanya saja memang waktu yang memintaku untuk lekas kembali, sebelum pintu gerbang terkunci. Mungkin di lain hari, ada saatnya kita untuk berjumpa lagi.

Hujan pertama yang kita rasakan berdua, kita nikmati jamahannya dengan degup jantung yang diburu waktu. Indah kan?

Sebelum itu pun, ada keindahan lain yang sebelumnya ingin ku bagi. Aku memang tidak bisa memberimu ribuan bintang di langit. Rasanya terlalu jauh. Yang bisa ku bagi saat ini, hanya sebuah tempat, dimana kita bisa menikmati kelip lampu yang tak mampu ku hitung sendiri. Saat itu pertama kali, tangan kita saling bertautan, membagi kehangatan.

Ternyata bukan hanya kehangatan ini yang harus kita bagi. Dinginnya angin malam yang membaur bersama air hujan yang mengguyur deras, harus kita rasakan berdua. Ingin rasanya saat itu aku memelukmu. Tapi tangan ini kaku, membeku, tak mampu untuk lakukan sesuai kata hatiku. Naif, gerutuku dalam hati.

Ketika aku masih mampu, untuk mengatasi dingin ini sendiri, kamu terbaring, dilingkupi dingin semalam yang kita rasakan. Rasa bersalah bertubi-tubi menerpa hati. Ingin sekali saat ini, ku genggam tanganmu, ku bagi hangatku. Namun, jarak, waktu dan semua alasan yang ku punya tak membuatku ada disampingmu.

Ternyata kau memberikanku kesempatan, untuk menggenggam tangan, disini, dipandangi makhluk Tuhan yang terpenjara. Di tempat yang bukan seharusnya mereka berada. Rasanya tak berpijak di bumi, terayun bersama sambil memandangi awan yang terus saja berlalu di atas kita, indahnya.

Sehari itu, kita bersama, dan waktu berlalu begitu saja. Tak mau berhenti walaupun kita paksa. Dan mau tak mau ketika matahari sudah mulai lelah bekerja, kita harus kembali. Dan beberapa rasa rindu mulai datang menghampiri, mencubit segenap hati yang tersisa. Kepingan yang masih sempat ku selamatkan sebelum semua terbuang.

Sekali lagi. Pantai. Menjadi tempat dimana harus ku ulangi sebuah kisah yang selalu ku inginkan tak pernah usai. Kisah yang sekarang kita mulai berdua. Yang sekali lagi aku pinta, tak pernah ada akhir meski pernah ada kata awal yang kita ikrarkan sebelumnya.

Kegamangan itu mulai sirna, meski setiap lembar hatimu belum kamu buka sepenuhnya. Paling tidak aku percaya, Tuhan masih mengijinkan aku menikmati sebuah rasa cinta. Sudah berjuta rasa yang ku kecap dari kata cinta. Pahit manisnya, asam asinnya, aku sudah rasa. Dan kini, aku hanya ingin, seperti apapun rasanya nanti, tak akan ada akhir yang harus ku ulangi.

Bahkan saat aku mulai berusia, kau tawarkan aku untuk berpinta. Ah, haruskah ku ulang kata-kataku sebelumnya. Aku hanya ingin kamu. Hanya ingin kita berdua. Tak ada kata pisah untuk selamanya. Dan hujan kembali menjadi saksi, sebuah perjalanan yang kita arungi.

Sejak saat itu, mulai kuperkenalkan kamu pada duniaku. Pada teman2ku. Hingga kamu mulai terbiasa, dengan segala kegilaan yang mungkin ada. Dan hujan lagi-lagi berbicara, tak mau ketinggalan dalam setiap kisah kita. Ah, memang sudah musim hujan. Tersadarkan. Dan yang terdengar hanya sebuah gumaman.

Dan tahukah kamu, dulu aku percaya, resonasi dari hujan adalah bias kenangan. Mengembalikan sebuah ingatan lalu, dan aku percaya itu. Tapi kini yang ada, kisah lalu itu berpadu menjadi satu dengan masa depanku. Berseliweran dalam fikiranku. Dan harusnya mulai kini kuyakini, seberapa banyak waktu yang telah berlalu itu, tak pernah berguna, hanya menjadi kenangan ketika hujan datang. Sudah saatnya kusibakkan tirai hujan itu, dan menemukan masa depanku. Setidaknya kini aku percayai, bahwa masa depanku itu kamu.


Kamis, 10 Oktober 2013

Yang Terhenti


"ada kita berdua

dalam mimpi pagi ini

tapi aku lekas membuka mata

dan semua mendadak pergi..."



Kisah ini ditutup paksa. Tanpa rencana ataupun aba-aba. Tiba-tiba semua bungkam. Buram dalam pandangan. Dan yang tersisa hanyalah pekik tangis dan ratapan yang menyayat. Bukan lantang terdengar di telinga. Tapi menusuk perih dalam batin yang masih tereka bentuknya.

Hati yang dilumuri janji, dan seluruh harap yang tumbuh berkembang, sontak layu tak berbekas. Meninggalkan kelopak yang berguguran, tak menyisakan tunas ataupun biji untuk melanjutkan kisah. Semua tiba-tiba kering dan memudar

Apakah yang sebenarnya terjadi. Tak ada saksi untuk membuktikan segala ucap dan rangkaian kata manis yang kurengguk selama ini. Tiba-tiba semua memahit dalam lidahku. Rasa ini tiba-tiba menjadi kelu. Ah, pilu.

Batin yang terkoyak bukan alasan untuk duduk nelangsa meratapi kisah kemarin. Kenangan yang terserak, denting jarum jam yang berderak, hanya segelintir keping masa yang ku kumpulkan dalam kotak memori. Entah nanti akan ku simpan di sudut mimpi, ataukah ku buang agar hanyut bersama genangan lalu.

Tak ada pias, tak ada bias, tak ada bekas. Semua berlalu begitu saja. Tertutup dan terganti secara tiba-tiba. Apa yang terganti? Waktu pun tak akan kembali. Yang terganti hanya lembaran yang tadinya kucoba rapikan, kini semakin kusut tak beraturan. Harus ku apakan? Ku buang dan mencari penggantinya?

Lupakan. Masih ada hal lain yang harus ku kerjakan. Bukan tentang mimpi atau memori yang kucoba tutupi. Tapi tentang hidup dan nafasku esok hari.

Rabu, 09 Oktober 2013

Segores Warna yang Hidup



"dari warna aku bicara tentang cinta

dari warna aku bicara tentang rindu

dan dari warna pula

aku bicara tentang kamu..."



Warna.

Warna itu hidup. Mempunyai nyawa dalam goresannya. Dalam penyebutan warna kita mampu mengartikannya secara luas dan mengglobal. Bahkan dalam dunia seni rupa pun, setiap warna memiliki makna yang berbeda-beda, mempunya representasi yang berlainan, menampilkan emosinya. Misalnya untuk menunjukkan kemarahan kita, kita akan menggunakan warna merah yang dicampur dengan hitam. Sementara untuk menunjukkan kelembutan kita, biasanya kita memilih warna yang lebih kalem seperti pink, peach, oranye, dll.

Tidak hanya permainan emosi semata, tapi juga identitas. Entah itu identitas pribadi secara individual, atau identitas sebuah institusi secara universal. Misalnya dalam masa kampanye, kita memakai baju merah, maka secara tidak langsung orang akan mengira bahwa kita adalah pendukung salah satu partai yang dominan di negeri ini. Atau kita memakai baju oranye di stadion bola, maka publik akan menganggap kita adalah salah satu suporter klub bole dari jakarta.

Mengapa begitu? Mengapa hanya dengan mengunakan satu warna, maka ada banyak hal yang ikut terbawa. Tak jarang ramalan yang beredar mencantumkan penggunaan warna favorit. Itu menunjukkan bahwa warna juga menunjukkan kepribadian kita. Menjadi ciri khas kita.

Warna boleh saja mewakili pribadi ataupun karakter kita. Tapi bukan tidak mungkin itu menjadikan satu konflik yang sebenarnya bukan keinginan kita akan keberadaan konflik tersebut. Penggunaan warna yang tidak selaras dengan mood, bisa saja menjadikan salah tafsir oleh orang lain. Begitu pula dengan pemakaian atribut yang menggunakan warna sebagai identitas. Bisa jadi kita menjadi musuh seseorang yang tidak menyukai salah satu warna yang kita pilih untuk kita pakai.

Tak jarang kita selalu berhati-hati dalam pemilihan warna. Memakai baju yang sesuai dengan tempat yang kita tuju. Misalnya dalam masa kampanye suatu partai yang berwarna kuning, kemudian kita memakai baju berwarna merah, tak jarang ada berpuluh-puluh pasang mata yang melotot pada kita. Masih terasa lumayan apabila hanya mata yang melotot, bukan tidak mungkin ada juga tangan berotot yang mampir di raga kita. Bukan tidak mungkin. Bukan pula selalu.

Partai dan suporter bola adalah sekelompok orang yang sensitif dengan pemilihan warna. Warna bagi mereka adalah simbol sekaligus identitas. Pelanggaran dalam penggunaan warna adalah hal tabu dan sangat dikecam. Ah, buat orang awam yang naif menganggap hal tersebut adalah sebuah kesia-siaan. Padahal bagi mereka, itu adalah hidup dan mati. Entahlah.

Warna juga menunjukkan identitas secara seksual. Penyebutan warna feminim dan warna yang laki-laki banget adalah salah satu contoh pengelompokan warna secara gender. Dimana warna merah jambu adalah warna milik perempuan secara mutlak yang amat sangat terlarang hukumnya jika di pakai oleh kaum laki-laki. Padahal secara tidak langsung, perempuan memiliki hak untuk memakai semua warna, sementara laki-laki harus menghindari beberapa warna yang sering disebut warna feminim. Dalam kasus ini, warna memiliki jenis kelamin.

Sebenarnya masih banyak lagi hal yang bisa diungkap hanya dalam kategori warna. Tapi membicarakan warna sama saja membicarakan hidup. Tidak akan pernah ada habisnya. Sebijak-bijaknya kita memperlakukan warna untuk menunjukkan bahwa kita mempunyai etika dan sebagai makhluk berestetika. 

Jumat, 04 Oktober 2013

Metamorfosa Abadi


...

aku masih lelah untuk katakan
pergilah
dan cukup aku yang peduli
pada diriku sendiri

...


Kalian sebut ini pelarian pun aku tak peduli. Aku terlalu nyaman dengan sarang hangat yang ku rajut sendiri. Yang kurangkai dari kehangatan yang kumiliki. Dari hangat cinta yang tersisa, dingin rindu yang terasa, perih luka yang menganga dan sejuta kenangan dan cerita. Ah, haruskah ku katakan, bahwa ini bukan sekedar pelarian. Ini adalah awal dari penderitaan, dimana aku harus bergumul dulu dengan segala lukaku, agar tak ada lagi karma yang tersisa di ujung waktu?

Kau kira tinggal di sarang ini terasa nyaman. Memang nyaman sih. Tapi bukan hanya nyaman saja yang terasa, karena kadang, ada duri tajam yang tiba-tiba menusuk, mengganggu ruangku, kembali mencoba menyakiti, mencari celah atas bertumpuk-tumpuknya goresan yang masih membekas.

Disini gelap. Aku bahkan lupa waktu. Apakah ini siang, malam, pagi atau pun sore. Aku tak pernah menyadari. Yang aku tahu, disini hanya hitam pekat yang melingkupi inderaku. Kau kira tempat ini indah. Tak kan kau temui warna-warna dalam pekat ini. Kau hanya menemukan hitam, hitam dan hitam. Bahkan aku yang sedang melukis takdirku pun ragu, warna apa yang ku torehkan di garisku.

Kau peduli? Kau anggap kau peduli dengan mengoyak sarang ini dan mencoba mngangkatku jauh dari sarang yang ku renda? Kau kira aku suka? Harusnya kau tahu, dengan membawaku lari, sama saja kau membunuhku dengan sejuta mimpi yang kau janji. Warna yang coba ku keringkan dengan api dendam yang membara, harus luruh oleh embun pagi yang terlalu dini. Dan aku masih tak suka dengan sinar mentari yang menusuk perih hingga rasanya menghancurkan sendi tulangku. Bahkan angin malam, membekukanku, hatiku, fikiranku, dan aku.

Aku perlu waktu, untuk terus diam dalam jelaga pekat ini. Aku perlu waktu, untuk sekedar menata sayap yang baru saja ku lukis sempurna. Aku perlu waktu untuk mengokohkan sayapku dengan lengan dan kaki yang kuat. Aku ingin ketika aku keluar dari sarangku, aku bisa terbang bebas, bisa mengatakan pada dunia bahwa aku baik-baik saja.

Ya, inilah aku. Dengan sejuta caci yang dulu kau beri. Dengan ribuan dusta yang terpaksa ku terima. Dengan ratusan luka yang coba ku matikan rasa. Apakah aku harus berubah menjadi sesempurna dan seindah ini untuk memaksamu memandangku? Apakah aku yang dulu begitu menjijikan untuk kau sentuh, bahkan untuk kau pandang sekalipun? Apakah dengan ini kau katakan kau peduli? Kau peduli?

Ah, aku akan terbang sendiri. Disana akan ku bangun sarang yang baru lagi. Dimana aku nanti bisa tertidur lelap. Dan mungkin tak akan bangun lagi.

Sabtu, 27 Juli 2013

Uang Baru dan Pencitraan




Menjelang hari raya Idul Fitri di sepanjang jalan raya yang padat dilalui kendaraan dapat kita lihat beberapa orang tengah berdiri, menjajakan sejumlah uang. Istilah yang dipakai adalah jasa penukaran uang.


Tapi yang terjadi bukanlah penukaran secara cuma-cuma, tapi melewati sebuah transaksi, dimana uang tersebut menjadi sebuah komoditi dagang yang bernilai jual. Hari gini mana ada yang gratis?
Yang sebenarnya kita lihat secara kasat mata adalah penukaran uang dengan penambahan komisi pada para penjaja. Tapi sebenarnya yang terjadi adalah, pembelian rupa uang. Menukarkan uang lama yang kusut, lusuh dan kumal dengan uang baru yang masih rapi, cerah dan menarik. Tak ubahnya seperti membeli kue, dimana rasa bukanlah nilai utama, tapi topping atau hiasannya lah yang menjadi penentu harga. Meski rasanya sama, tapi dengan penampilan menarik, maka akan berbeda harga yang diberlakukan.
Dan inilah yang terjadi di Indonesia, dan mungkin hanya terjadi di Indonesia adanya jual-beli uang. Untuk apa sebenarnya uang baru tersebut? Tak lain tak bukan untuk dibagikan pada sanak famili. Alasannya adalah anak-anak kecil akan sangat senang menerima uang yang masih baru dibandingkan dengan uang yang lama meski nilai uang tersebut sama atau bahkan lebih besar. Dimulai dari situlah anak-anak sebenarnya diajari pentingnya pencitraan. Dimana nilai diri tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana menampilkan diri agar terlihat mempunyai nilai di hadapan khalayak ramai. Dengan istilah lain, kita mengajari mereka menjadi seorang penjilat. Entah itu terjadi atau tidak, tapi yang kita lihat sekarang ini adalah seperti itu adanya. Pencitraan adalah harga mutlak bagi setiap orang yang ingin terkenal tanpa mengindahkan kepribadian yang baik.
Seharusnya mulai sekarang masyarakat paham bahwa seperti apapun rupa yang ada, yang terpenting adalah nilai internal. Nilai yang ada didalam. Nilai yang murni. Bukan nilai palsu yang disodorkan dengan penampilan yang harus di-permak terlebih dahulu. Tidak baik memaksakan diri terlihat baik jika sebenarnya belum baik. Lebih baik memperbaiki diri agar menjadi lebih baik, dengan begitu semua orang akan menerima dengan baik keberadaan kita.
Mulai berfikir bahwa kualitas itu lebih penting daripada kuantitas.

Jumat, 26 Juli 2013

Puisi dan Kehidupan






"ketika ada jarak membentang di antara kita berdua, mengundang kemelut pihak ketiga... dan kita mulai berseteru... antara aku, kamu, dan rindu yang menggebu..."‪#‎JarakSatuJam‬


Puisi...
Mendengar kata puisi, mindset setiap orang langsung menuju pada kegombalan dari kata-kata yang terangkai. Meski begitu, tak semua puisi yang tercipta selalu merajuk pada satu tema: cinta. Masih banyak tema-tema lain yang dapat dikumandangkan gaungnya lewat rangkain kata bernama puisi.
Puisi tak mungkin musnah selama kita masih mengenal bahasa. Setiap kata yang terangkai dan kita ucapkan adalah sedikit dari sekian puisi yang tercipta.
Puisi itu adalah kehidupan. Kehidupan yang harus kita pilih. Apakah kita akan terkotak-kotakkan oleh aturan yang menyeragamkan tiap baris dan rima yang kita ambil, ataukah kita menciptakan aturan baru yang sebenarnya tak teratur. Tidak termaktub dalam pakem manapun. Tapi mana ada?
Setiap langkah kita mungkin kita fikir adalah sebebas-bebas kita, tapi kita kadang tak menyadari, ada aturan yang sebenarnya membelenggu kemanapun kita pergi. Kita tunduk patuh tapi kita juga bisa saja membangkang. Itu yang kita sebut norma masyarakat.
Sementara puisi, dalam tiap baris dan bait yang terangkai, terkadang kita mengungkapkan seluruh yang ada dalam fikiran dengan liar. Sebebas pemikiran kita berimajinasi. Tapi tetap saja kita terbelenggu, dengan yang namanya makna. Terkadang makna yang ingin kita sampaikan pada pembaca diartikan berbeda. Itu karena bahasa kiasan yang kita pakai memiliki beribu-ribu makna yang tersirat.
Seperti pula kehidupan. Ketika kita ingin melakukan sesuatu hal yang mungkin saja kita anggap baik, tapi masyarakat berpandangan lain. Itulah kehidupan.
Bagaimana kita menikmati puisi, seperti itulah kita harus menikmati kehidupan...
Selamat Hari Puisi Nasional...

Selasa, 26 Februari 2013

Pancasila, Garda Depan Bangsa Indonesia

Monumen Pancasila Sakti, simbol kesaktian
Pancasila yang sesungguhnya untuk Indonesia
| foto: streetdirectory.com
Era globalisasi adalah masa dimana tembok-tembok pembatas antarnegara, bahkan antarbenua mulai lenyap. Hal ini disebabkan oleh penyambungan segala area itu dapat dilakukan dalam hitungan detik. Satelit, salah satu alasan mengapa segala hal yang ada di bumi ini dapat tersambung secara cepat tanpa ada batas ruang dan waktu.

Hal-hal lain yang merupakan faktor percepatan globalisasi adalah komunikasi dan transportasi. Kemajuan alat-alat penunjang kedua hal tersebut berbanding lurus dengan kemajuan globalisasi. Sehingga, tak hanya tembok pembatas antarnegara, bahkan tirai-tirai yang merupakan filter terkadang ikut kebobolan.

Begitu pula dengan kondisi yang ada di Indonesia saat ini. Indonesia yang merupakan negara paling strategis dengan limpahan kekayaan yang meliputi sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia dengan etos kerja tinggi, dan juga kekayaan seni dan budaya yang tumpah ruah hingga terkadang harus dikumpulkan kembali agar tidak “ditampung” oleh negara lain.

Menjadikan negara lain sebagai kiblat atas segala kemajuan teknologi yang tercipta, kemudian menawarkan segala pernak-pernik yang mengundang mata adalah hal yang sewajarnya harus kita kaji ulang. Filter yang sudah diciptakan berpuluh-puluh tahun yang lalu seakan lumpuh diterjang deras arus globalisasi. Filter yang dimaksud adalah pancasila.

Kelima sila yang terangkum seharusnya menjadi filter paling ampuh untuk memilah dan memilih karya cipta bangsa lain yang kini mulai sering menyusup ke wilayah Indonesia. Mulai dari alat transportasi, bahan makanan, pakaian, hingga style pun harus mengimpor dari luar negeri agar terlihat keren.

Apalah arti keren tanpa nasionalisme? Bangga dengan produk luar negeri padahal produk dalam negeri tumpah ruah tak laku hanya karena menjaga gengsi. Hal tersebut sama saja menyanjung-nyanjung batu meteor yang jatuh merusakkan rumah yang kita bangun dari emas.

Penanaman nilai-nilai pancasila pada raga generasi muda kini hanya dilakukan setengah hati. Bahkan ketika mengikuti upacara pun, dimana itu adalah ruang untuk penggodhokan jiwa nasionalisme mereka pun terkalahkan oleh terik matahari dan rentang waktu yang terasa begitu lama. Mata pelajaran Pancasila pun mulai tersingkirkan dengan mata pelajaran lain yang menurut pemerintah dianggap lebih penting.

Dengan minimnya nilai-nilai pancasila yang tertanam, maka akan semakin rapuh filter yang dibangun bangsa Indonesia saat ini. Sehingga dengan mudahnya bangsa lain menyusup ke Indonesia dengan berbagai cara dan melalui berbagai gerbang yang tak sengaja terbuka atau terkadang sengaja dibuka dengan alasan yang direka-reka demi keuntungan segelintir pihak yang serakah.

Budaya-budaya bangsa sendiri pun tersingkir dengan budaya dari negara lain yang terkemas apik sehingga membuat generasi bangsa terlena. Meniru segala laku dan gaya yang dibawa oleh “duta” bangsa lain dengan bangga membusungkan dada. Yang menjadi pertanyaan adalah, dada yang dia busungkan apakah tersemat nilai pancasila ataukah hanya hampa dan ruang jiwa kosong

Kadang keprihatinan hanya sebatas ucapan dan kata yang dipadu padan sebatas pencitraan. Tapi tak ada tindak tegas atau aksi nyata. Filter hanya sebatas diakui keberadaannya tanpa dimanfaatkan fungsi dan daya gunanya.

Sudah saatnya pemerintah mulai bertindak untuk menggunakan filter sebagai tameng utama dalam menyikapi arus globalisasi. Budaya Indonesia bukan budaya kolot ataupun kuno. Warisan budaya akan abadi sepanjang masa dan semakin berharga seiring berjalannya waktu. Penanaman pola pikir dengan jiwa nasionalisme yang tegas harus dimulai sejak dini. Generasi bangsa harus paham bahwa dengan menggunakan budaya bangsa sendiri adalah kebanggaan yang murni, tak perlu menjaga gengsi. Untuk apa menjaga gengsi sementara bangsa Indonesia semakin tergerogoti?

Alasan suka dengan produk luar negeri, entah itu karya seni atau teknologi, bukanlah hal yang salah. Selama tidak memuja dan menjadi bangga hanya dengan predikat pengguna semata, maka hal tersebut wajar adanya. Maka mulai sekarang, mencintai produk Indonesia adalah bukan hal yang rendah atau tak punya gaya. Jika merasa rendah dengan produk Indonesia saat ini, bukankah lebih baik menciptakan sendiri tanpa mengurangi nilai Indonesia didalamnya, dengan begitu kita telah meninggikan nama bangsa.

Banyaknya komunitas pecinta produk luar negeri pun menjamur di Indonesia. Style dan musik yang meniru gaya dari luar negeri pun semakin menggila. Bahkan kata fanatik pun muncul seusai kata penggemar yang mereka sandang. Namun selama kegiatan tersebut tidak mengganggu jiwa nasionalisme yang tertanam, maka bukanlah hal yang harus kita perangi. Negara kita dikenal negara yang sopan dan ramah dengan tamu, negara yang agung akan penghormatannya kepada tamu. Entah tamu yang berbentuk ideologi, style, budaya atau apapun itu bentuknya, Indonesia dengan luwesnya menerima. Namun penerimaan tersebut haruslah diselubungi penyaring yang kuat. Hal-hal yang dirasa tak perlu atau bahkan membahayakan harus benar-benar ter-eliminasi.

Indonesia sudah diakui kekayaan sumber daya alam dan budayanya, tapi tanpa adanya sumber daya manusia yang cerdas dan setia pada bumi pertiwi, maka semua itu lambat laun akan lenyap seiring semakin mengglobalnya globalisasi

Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia. Apabila ideologi itu kian melemah, maka semakin lemah pula bangsa Indonesia. Di mata seluruh rakyat atau di mata bangsa lain. Ini bukan semacam penyakralan Pancasila, tapi penguatan. Pancasila digali dari keluhuran budaya bangsa yang sudah berakar dan digunakan sejak lama oleh pendiri bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya menjaga nilai-nilai pancasila sebagai ideologi terbuka yang mengalir sesuai arus jaman yang sedang berlangsung. Seperti saat ini, saat era globalisasi meluas, pancasila tetaplah menjadi penyambut pertama dalam gerbang masuk Indonesia.

Hal ini dikarenakan Indonesia adalah satu, tak terpecah karena perbedaan suku atau terpisahnya pulau. Indonesia harus tetap menjadi satu, satu tekad untuk melindungi negeri ini dari tangan penjarah kekayaan alam dan budaya. Indonesia harus satu, satu semangat untuk memajukan bangsa dan mencerdaskan anak bangsa. Dengan begitu, sampailah sumpah para pahlawan yang menitipkan kemerdekaan bangsa ini pada kita. Merdeka adalah bebas, tapi bukan berarti membebaskan orang lain ikut cawe-cawe (ikut campur) dengan urusan negara kita. Satukan suara dan bulatkan tekad serta semangat, teriakan MERDEKA dan negara ini tetap terjaga.

Sabtu, 23 Februari 2013

Undangan Online Menjadi Alternatif

Foto pre-wedding Bowo Priyanto & Wiji Susieni, (28/10/2012)
(my beloved brother and my wonderful sister)
Menikah. Sebuah tujuan akhir dari setiap hubungan yang terbina. Tanpa adanya tujuan akhir untuk menikah, ibarat sebuah hubungan yang mengarungi samudra luas tak berujung. Segala persiapan dan tetek-bengek yang harus hadir dalam upacara sakral tersebut perlu dipikirkan masak-masak. Upacara sakral bernama pernikahan tersebut tidaklah serta merta terselenggara begitu saja. Ada beberapa tahapan yang perlu dilalui.

Mulai dari rencana pertunangan, mencari cincin yang sesuai, rencana pernikahan, pembuatan undangan, pemesanan souvenir, pengambilan foto pre-wedding, penyebaran undangan, pemesanan baju pengantin, entah itu ditangani oleh pihak sendiri dan keluarga atau menggunakan jasa wedding organizer.

Kesempurnaan acara berbanding lurus dengan kematangan rencana dan persiapannya. Dengan segala kerumitannya untuk memilih tanggal dan hari baik agar tidak ada kendala yang berarti sewaktu acara dan ketenangan hidup pengantin selanjutnya, persiapan memang menguras tenaga.

Sementara itu, dalam memilih cincin pun harus ada kesesuaian selera dari sepasang pengantin. Bahkan terkadang harus mencari referensi terlebih dahulu lengkap dengan makna dari setiap model cincin yang ada. Semua yang dilakukan itu bukan tanpa alasan kosong, ini semua demi kesempurnaan acara sakral.

Jika menggunakan jasa wedding organizer, maka pembuatan undangan, pengadaan souvenir, pemesanan baju pengantin dan penyelenggaran acara bukanlah hal yang rumit lagi untuk difikirkan. Apalagi mengingat jaman yang sudah modern. Segala persiapan tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Undangan yang dulunya berupa lembaran kertas yang harus disebarkan keseluruh alamat penerima undangan, kini mulai dapat dikurangi.

Internet dapat dimanfaatkan dalam pemublikasian acara. Mulai dari foto-foto pre-wedding hingga undangan pernikahan. Bisa melalui jejaring sosial yang kini menjamur ataupun menggunakan blog tersendiri.
Sudah banyak pasangan yang akan menikah menggunakan jejaring sosial dan blog untuk memublikasikan undangan pernikahan mereka. Ada banyak pilihan untuk menampilkan undangan di internet.

Untuk jejaring sosial seperti facebook, kita dapat mengunggah undangan atau membuatnya dengan layanan pembuatan event. Dari pembuatan event tersebut kita dapat mengundang orang-orang yang kita kenal dengan metode invite. Ini cukup efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan dalam event kita sudah dapat mencantumkan tanggal terselenggaranya acara dan denah tempat. Selain itu, kita juga dapat mengetahui siapa saja yang datang dan saling berkomunikasi.

Untuk blog pun kita dapat membuat sesuai selera kita. Melalui blog banyak kreasi yang dapat dimunculkan. Sehingga dari undangan berbentuk kertas dapat kita ubah menjadi undangan online. Dengan begitu, kita turut menyumbang pengurangan penggunaan kertas. Dimana kertas yang notabene berasal dari pepohonan, kita ikut berpartisipasi penerapan go green dan penyelamatan jutaan pohon di muka bumi.

Meski harus mengingat bahwa tak semua orang dapat mengakses internet, namun harus selalu optimis bahwa budaya gethok tular di masyarakat masih ada. Sehingga masih ada yang dapat mengundang dari mulut ke mulut usai melihat undangan online. Bukankah dengan begini dapat menambah keakraban antar sesama.

Penerapan undangan online dapat menjadi alternatif lain untuk undangan jarak jauh. Sekalipun orang yang kita undang tengah bepergian ke belahan bumi yang lain, dia merasa dihargai dengan diundangannya dia ke pesta pernikahan kita. Sehingga paling tidak dia bisa menjadwal ulang acaranya ataupun memberikan ucapan selamat secara online juga. Oleh sebab itu,undangan online ini cukup efektif untuk diterapkan. Selamat mencoba. 

Jumat, 22 Februari 2013

Mengabadikan "Kita"


Menulis adalah pembebasan diri dari pakem yang tertata rapi dalam jagad yang bernama bumi. Imajinasi yang digunakan pun bisa melebihi segala bentuk dimensi yang tercipta. Maka dari itu, untuk para pemimpi sekaligus para pembohong lebih baik menuangkan segala pikiran dan perasaannya dalam sebuah tulisan. Itu lebih berguna daripada ide-ide ekstrim tersebut terlupakan ataupun menguap begitu saja tanpa ada visualisasi yang berarti.
Hanya saja terkadang ide-ide yang bermunculan begitu klise dan membosankan. Itu dikarenakan pemilik ide hanya terbawa arus oleh kisah-kisah yang sudah muncul. Membubuhkan bumbu-bumbu lain yang setipe hanya menambah kegaringan yang tak berarti. Inilah mengapa buku-buku populer jaman sekarang mudah terlupakan begitu saja.
Penulis-penulis buku best seller memiliki tahap berbeda untuk mencapai kesuksesannya. Mulai dari ditolak penerbit, hingga penuh kegigihan bisa menjadikan karya ciptanya sebagai buku best seller. Tidak hanya berawal dari ide klise, tapi ide imajinasi yang matang sempurna dengan penuh referensi. Pengalaman dan observasi pun perlu dilakukan untuk menjadikan tulisan menjadi kian terasa nyata.
Entah mengapa remaja jaman sekarang lebih menyukai tulisan yang pop dan ringan. Apalagi kemunculan boyband dan girlband yang menjamur dimana-mana. Hal itu menjadikan santapan sehari-hari untuk mereka.
Tema remaja jaman sekarang pun tak jauh-jauh dari cinta. Hanya cinta. Alasan yang selalu diutarakan untuk pembelaan atas tema tersebut adalah: "cinta tak pernah lekang di makan usia". Dari usia muda hingga tua pun tak terlepas dari unsur cinta. Hanya saja dengan tema yang seharusnya menjadi global justru terfokus pada cinta remaja dan pacaran.
Ada dunia yang lebih komplek yang seharusnya dijamah dan diurai. Dengan ide-ide imajinatif yang kini mulai berkembang bisa menciptakan dimensi ruang untuk menulis segala bentuk yang dapat dituliskan. Kebebasan yang tercipta dalam dunia menulis adalah aturan yang elastis. Bisa diciptakan sendiri oleh penulis. Namun tetap memperhatikan etika dan menghindari unsur SARA yang berlebihan. Karena fanatik itu tak selamanya baik.
Menulis adalah tahapan paling akhir dari seluruh kemampuan manusia. Bermula dari mendengarkan, berlanjut ke berbicara dan menuju tahap membaca dan harus menjadi hasil akhir dalam bentuk tulisan.
Dan dalam bentuk tulisan tersebut maka kita secara otomatis telah menciptakan sejarah dan mengabadikan nama kita dalam sebuah karya. Mau terus terkenang sepanjang masa? Maka mulailah menulis dari sekarang. Jika bertanya mulai dari mana? Mulai dari kata pertama yang kalian tulis, kata pertama yang muncul secara acak dalam fikiran kalian. Maka untuk kata-kata berikutnya akan muncul dengan sendirinya. Selamat mengukir sejarah...

Minggu, 20 Januari 2013

Cinta Itu (Tidak) Harus Egois

Chori chori chupke chupke adalah salah satu film bollywood yang menampilkan sebuah kisah drama romantic. Meski dibalut dengan kisah klise, ada beberapa hal yang menarik dari film tersebut. Bukan sekedar kisah cinta yang penuh dengan canda ataupun duka, tapi hal lain yang lebih menarik untuk dipahami.
Berawal dari kisah datar pernikahan Priya dan Raj, kemudian Priya dikaruniai seorang bayi dalam kandungannya yang terpaksa tak dapat dia lihat kelahirannya karena kandungannya harus diangkat oleh sebab infeksi. Kisah yang sebenarnya pun dimulai. Tuntutan keberadaan seorang bayi tidak terhindarkan. Priya dan Raj memilih menitipkan benih mereka untuk dilahirkan melalui rahim perempuan lain. Maka perdebatan antara tokoh Priya dan Madu adalah konflik terhebat dalam film tersebut. Terlihat dari keegoisan mereka dalam menjalani takdir mereka menjadi seorang wanita.
Keegoisan Priya yang ingin mengambil seorang anak dari ibunya. Begitu juga dengan keegoisan Madu yang ingin mengambil suami dari istrinya. Jika hanya melihat sepihak dan mengikuti alur film tersebut tanpa memaknai seluruh pernyataan dari kedua wanita tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa banyak pihak yang menyalahkan Madu karena dirasa berkhianat dengan kesepakatan. Seperti yang dikatakan oleh Priya, Madu yang seorang pelacur telah kembali pada derajatnya ketika meminta Raj menjadi suaminya.
Tapi dalam hal cinta apakah ada kesepakatan yang mutlak?
Bagiku, mereka dalam posisi yang berimbang. Mertua Priya dalam film itu mengatakan bahwa wanita lahir tiga kali dalam kehidupannya. Pertama kali sewaktu mereka lahir dan menjadi seorang putri dari orangtua mereka, yang kedua ketika mereka menjadi seorang istri, dan yang ketiga ketika mereka melahirkan anak dan menjadi seorang ibu.
Priya dan Madu sama-sama dalam posisi wanita yang baru dua kali lahir dalam kehidupan mereka. Priya yang sudah menjadi seorang istri tapi tidak mendapat kesempatan untuk menjadi seorang ibu, maka baginya wajar bila dia menginginkan seorang anak. Dan Madu yang siap menjadi seorang ibu tanpa menyandang gelar sebagai seorang istri maka wajar baginya menginginkan kasih sayang seorang suami.
Ada lagi yang menarik, yaitu cara Priya dan Raj dalam menyampaikan perasaannya. Yang pertama sewaktu memberitahu bahwa Priya positif hamil, Raj tidak serta merta menyampaikan apa pesan sang dokter, tapi dia menanyakan terlebih dahulu, “Bagaimana kalau seandainya aku harus membagi cintaku?”, Priya yang dengan tegas mengatakan bahwa dirinya akan bunuh diri, menyatakan bahwa dirinya adalah anti poligami. Dan keegoisan cinta muncul lagi disana. Yang kedua, sewaktu Priya meminta Raj untuk menikah lagi, tapi Raj enggan mengabulkan keinginan istrinya, bukan karena dia tidak mau, tapi baginya, menikah itu hanya sekali, dan ia abdikan cintanya hanya untuk satu-satunya istri yang ia nikahi. Lagi, cinta itu memang egois. Yang ketiga, Priya meminta Madu menggantikannya dalam upacara tujuh bulanan. Hal ini bukan demi Madu yang siap menjadi seorang ibu, tapi hanya untuk kebaikan jabang bayi yang dikandung Madu. Keegoisan lagi bukan?
Ada lagi yang menarik, dari semua keegoisan yang nampak dalam film itu, ada satu adegan yang menjadi penetralisir. Yaitu ketika Priya meminta sang dokter untuk menyelamatkan Madu sewaktu operasi. Yang saya fikirkan saat itu adalah, mungkin dengan menyelamatkan Madu, masih ada kesempatan untuk mendapatkan anak dari Madu. Egois memang pemikiran saya saat itu. Tapi saya coba cerna sekali lagi, mungkin (lagi) karena sangat egois jika meminta sang dokter menyelamatkan anak Madu daripada Madu. Salah jika mempertahankan nyawa seseorang yang kehadirannya hanya untuk persembahaan pada kakek mertuanya. Salah jika mengatakan bahwa nyawa orang yang memberikan pertolongan dan harapan tidak berharga. Adakalanya keegoisan perlu disingkirkan. Ada saatnya mengatakan bahwa kebahagiaan itu bukan hanya milik kita seorang, tapi semua orang berhak untuk mendapatkan kebahagiaan yang mereka impikan.
Dengan berlaku begitu, terkadang orang akan mengetahui ketulusan dari hati seseorang. Terbukti dari adegan sesudah klimaks yang menampilkan bahwa Madu yang tadinya menggebu menginginkan untuk menjadi istri Raj akhirnya mengatakan memilih pergi.
Cinta itu egois, dan mereka sudah menemukan kebenaran dari cinta mereka. Memahami bahwa terkadang dalam cinta, egois itu perlu ada. Egois itu menjaga cinta itu sendiri untuk tetap menjadi satu dan tak terbagi.
“Aku sudah mendapatkan impianku, mendapatkan kakak sepertimu, mendapatkan kasih sayang dan kehangatan dari keluargamu, menjadi pengantin, menjadi seorang ibu, itu semua sudah menjadi bahagiaku. Kalau hanya menjadi adik kakak sudah sebegitu bahagia ini, kenapa harus melebihi tanpa tahu kepastiannya,”
Dan inilah sebenarnya yang saya katakan sebagai klimaks dalam film ini. Terkadang kita harus melepaskan mimpi kita demi kebahagiaan orang lain. Bodoh memang kedengarannya, tapi terkadang kita bisa mendapatkan kebahagian dengan menciptakan mimpi yang baru. Egois jika kita hanya menggenggam satu mimpi dan tidak menyadari bahwa mimpi itu kian usang.
So, why we don’t change our dream when we know that our dream before never come true?
Cinta itu egois. Tapi mengapa kita tidak mengubah keegoisan tersebut untuk peduli pada perasaan orang lain. Bukankah keegoisan tersebut nantinya akan menjadi pelindung, bukan sekedar penjaga.
Belum selesai sampai disini saja, karena keegoisan itu muncul bukan hanya dari tokoh utama dari film tersebut. Tapi juga muncul dari keluarga tokoh utama. Yaitu dari keluarga Mahotra. Mereka begitu mendambakan seorang cucu hadir dalam lingkungan keluarga mereka, sementara mereka tidak tahu bahwa Priya sudah divonis tidak akan bisa hamil lagi.
Mereka terus menekankan harapan mereka pada Priya yang semakin merasa bersalah pada keluarga suaminya. Keegoisan keluarga Raj muncul bukan karena sebuah kesengajaan untuk menyakiti ataupun menekan sang menantu. Keegoisan itu hadir karena sebuah kerinduan. Kerinduan dari tangisan bayi yang mereka gadang-gadang sebagai cucu.
Sementara Priya dan Raj terus saja egois dengan keresahan mereka sendiri. Terus saja menutupi kenyataan demi menjaga perasaan. Perasaan siapa? Mereka terus saja mengorbankan perasaan mereka sendiri untuk memuliakan perasaan orang lain. Dan kemudian mereka harus menumbalkan perasaan orang lain lagi hanya untuk menutupi perasaan mereka yang telah terluka.
Sebenarnya keegoisan siapa yang lebih dominan dalam film tersebut. Bisa dikatakan keegoisan si penulis naskah yang mendambakan rasa iba dan tetes air mata dari penonton (termasuk saya). Begitu juga dengan sutradara yang terus saja mengalirkan alur cerita yang menegangkan tapi mampu mengolah dengan nuansa India yang khas dengan tarian dan lagu-lagu mereka.
Sangat menarik kemasan dalam film tersebut. Jika kita mampu memahami isi dari film tersebut, kita tidak akan terkecoh dengan cerita yang kelihatannya sangat klise, karena didalamnya terdapat pelajaran menarik untuk semua wanita yang cerdas. Wanita yang mampu memahami penderitaan wanita lain.