Laman

Rabu, 26 Maret 2014

Awalan yang Kesekian












Entah tahun berapa laga itu dimulai. Entah sudah berapa kali sepakan itu berawal. Entah sejak kapan peluit pertama itu dibunyikan. Entah sudah berapa stadion kalian bertandang. Entah sudah berapa ribu orang mendukungmu.

Yang aku tahu, saat ini kudengar berita tentang sebuah garis start tempat kalian akan akan berlaga. Sudah tak sabar memang untuk kembali merasakan euphoria dukungan pada kalian. Ah, sejak kapan aku menggebu-gebu seperti ini? Aku lupa.

Kau tahu, saat ini aku tengah mencoba mencari garis finish atas kewajibanku. Dan kau tahu, garis itu seperti fatamorgana, semakin ku kejar semakin menjauh. Semoga garis finish kalian tak begitu, semoga garis finish kalian tetap menjadi milik kalian dan trofi itu kembali kau kecup.

Tadi aku sempat membaca beberapa sahutan, jadwalnya tidak selalu akhir pekan, jadi pengaturan jadwal harus sudah disusun dari sekarang. Aku pun begitu. Sering mencuri waktu dari beberapa celah yang dikira longgar dan dapat dig anti. Sebegitunya memang sebuah pengorbanan.

Kandang.

Tandang.

Pengen loh aku ikut merasakan keduanya. Tapi, apa jadwal itu akan sedemikian bersahabat? Apa ijin itu akan mudah meloloskan kepergianku? Hah, mengingat itu selalu saja dirundung kelu.

Pasti batin kalian akan berucap seperti ini. Ah, kau cuma banyak alasan, kebanyakan bicara tanpa bukti nyata!

Pfffttt…. Kadang memang seperti itu hidupku. Terlilit ribuan alasan yang tak cukup nyata untuk bersembunyi. Bukan berarti aku ingin melarikan diri, hanya tak cukup kekuatan untuk membawa raga ini. Kalau saja…..

Kata-kata itu tak perlu diteruskan, takut jika ada yang merasa kena dan menimbulkan luka. Terus memantau, mengawal dan mendukung bersama.

Cintaku tetap untuk PSSku. 

Minggu, 23 Maret 2014

Great (Away) Days






//
take me home,
take me home,
to the place where I belong
//



Awaydays.

Sebuah perjalanan mengawal para pejuang. Belum sekalipun aku merasakan. Mendengar kisah yang terkadang cukup mengerikan, diselingi dengan canda tentang cerita di belakang layar. Ingin sekali ikut bertandang. Hanya saja, sekian alasan rasanya tak cukup untuk menutup sebuah kekhawatiran yang sering muncul. Hanya untuk sekedar silaturahmi ke rumah teman yang beda provinsi saja sudah cukup merepotkan, apalagi ini yang katanya “hanya” memberi dukungan.

Keluargaku adalah keluarga yang cukup simple dan tak mau terlibat dengan hal-hal yang rumit. Dan aku, adalah salah satu anggota keluarga yang cukup sering memberikan “kejutan-kejutan kecil” untuk mereka. Entahlah, mungkin jiwa pemberontakan dari gadis penurut dan pendiam ini sudah mulai muncul dengan leluasanya.

Dan kembali mengingat hari itu, hari dimana kata mereka kita menolak lupa. Hari Jumat (14/3). Hari Jumat itu hari yang penuh berkah, kenapa kabar hari itu penuh dengan serapah? Ah, katanya selalu begitu setiap kali tandang.

Aku yang hanya bisa mengawal lewat handphone, melewatkan dentingan waktu dengan tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur karena demam tinggi, cukup merinding mendengar kabar itu. Salah satu official super elja pun cukup giat untuk mengunggah sejumlah foto yang menampilkan suasana di stadion wijaya kusuma. Ngeri dan sekali lagi kata ngeri muncul. Terbayang sudah seandainya aku ada diantara mereka. Aish, buang-buang perasaan pengecut ini. Sejak kapan aku takut seperti ini?

Sumpah serapah dan ribuan caci mulai muncul membanjiri lini masa jejaring sosial. Sejumlah kronologi pun muncul membuat bingung pembaca. Tarik ulur peristiwa tak membuat hati yang kalut menjadi reda, justru semakin kalut, kalut dan kalut saja.

Suasana disana semakin suram saja, tak ubahnya dengan keadaanku waktu itu. Suram dan kelam. Panik mereka, kesal mereka, marah mereka, benci mereka, lelah mereka, sakit mereka, hanya mampu ku rasa lewat rangkaian kata-kata. Apa kabar kalian saudaraku di negeri tetangga?

Hamburan kaca dan semburan gas airmata, sudah cukup menggambarkan sepedih apa keadaan kalian, pun begitu dengan perasaan kalian. Tapi mungkin seperti itu lah resiko. Resiko yang siap disambut disetiap kali debut. Dan disini kami juga menanti kabar sekaligus kalian yang mulai melenggang pulang untuk kembali.

Belum lagi perih itu terobati, kerusakan itu harus diganti dengan sejumlah biaya yang cukup tinggi. Wow sekali.

Saat itu aku sendiri tak bisa membayangkan, sejumlah kerugian yang kalian dapatkan harus ditimbali dengan kerugian yang lain. Kami semua menyingsingkan lengan untuk memberi sedikit bantuan. Duh Gusti, terimakasih kami tetap kau lindungi.

Dan kalian tahu, dengan segala cerita itu, suatu kali, jika ijin itu ku kantongi, aku ingin mencicipi nikmatnya bertandang ke kandang lawan.

Sabtu, 15 Maret 2014

Love in Flare

Terdiam di ujung tribun selatan stadion Maguwoharjo, Dara merasa gamang. Bukan karena apa-apa, tapi dia masih merasa asing dengan keadaan disekelilingnya. Wajah putih mulusnya yang menampilkan kesan imut itu tenggelam dalam lautan manusia yang secara keseluruhan mengenakan topeng, masker, slayer dan syal. Dara meringis kecut, gigi gingsulnya yang selama ini memberikan kesan manis pada wajahnya, kini memudar pesonanya. Dara merasa ciut.

“Salah beli tiket ini,” gerutu Dara dalam hati. Bibir manyunnya semakin menjadi. Apalagi ditambah alis yang selama ini memayungi matanya yang menyorot tajam itu menekuk ketengah, menimbulkan kesan kekecewaan yang luar biasa.

Tadi pagi Ira sudah mengingatkannya untuk datang tepat waktu, tapi ketika dia sampai di stadion, Ira sudah masuk duluan. Tinggal Dara yang manyun sendiri didepan ticket box. Karena kesal, akhirnya dia asal membeli tiket tanpa tahu Ira berada dimana. Ketika masuk, baru dia menyadari bahwa dia membeli tiket yang salah. Seharusnya dia membeli tiket di tribun penonton, bukan tribun supporter.

Paling tidak dia tidak salah kostum. Hampir seluruh makhluk yang ada di tribun selatan itu mengenakan baju hitam dan bersepatu. Dara memandangi dirinya sendiri. Jilbab hitamnya, baju hitam dengan rompi, celana jeans hitamnya sekaligus sepatu sneakersnya. Aman.

“Dara?”

Sebuah sapaan itu menyejukkan hati Dara. Wajah Dara seketika sumringah, ditengah lautan manusia yang berjumlah ribuan ini, masih ada yang mengenalnya.

“Ya?” balas Dara sembari memamerkan senyum termanisnya. Senyum itu beradu dengan senyuman seorang cowok yang tengah berdiri tak jauh dari tempat Dara berdiri. Rambutnya yang sedikit berantakan meski sempat disisir asal. Kaos oblong hitam dan celana jeans belel. Belum lagi syal yang menggantung dileher itu. Wajah yang tak asing dengan senyum tipis tersungging. Kebahagiaan Dara seketika lenyap begitu mengetahui dari siapa sapaan itu bermula.

Dia adalah Adit. Temen sekelasnya yang sedikit badung itu. Bahkan telinga sebelah kirinya nekat dia tindik. Meski sudah diperingatkan berkali-kali oleh guru BP, bahkan nyaris diancam drop out, Adit tetap saja ngeyel. Menurutnya itu adalah ciri khasnya. Dara sendiri tak mengerti dengan pemikiran Adit.

“Ngapain kamu disini?” Tanya Adit keheranan.

“Nonton bola dong, masak iya aku jualan kacang goreng,” jawab Dara asal sembari memperhatikan sekeliling. Siapa tahu ada orang lain yang mengenalnya. Tapi hasilnya nihil.

Di antara beribu manusia di tribun ini, hanya Adit seorang yang dia kenal. Dengan tidak manusiawi, Dara memandangi Adit dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Adit yang merasa ditatap dengan serius oleh Dara mengeryitkan keningnya, menampilkan wajah kebingungan. Matanya memancarkan rasa ingin tahu, sementara Dara yang masih saja memandangi Adit dengan tatapan menyelidiknya hanya mampu manyun-manyun sendiri.

“Kenapa? Aku ganteng ya?”

Dara memonyongkan bibirnya, menandakan ketidaksetujuannya atas pertanyaan sekaligus pernyataan tersirat Adit. Adit terkekeh. Dalam hati Dara mengakui senyum Adit manis sekali saat ini.

“Kok kamu bisa nyasar kesini?”

“Ketinggalan temen-temen yang lain, ternyata salah beli tiket,”

“Kok bisa salah beli tiket?”

“Mana ku tahu, baru sekali ini aku nonton bola di stadion,” jawab Dara masih dengan bibir manyunnya, “padahal sudah janji nonton bareng sama Ira dan Ridwan,”

Adit tertawa melihat kekesalan Dara. Pantas saja manyun itu tidak lepas dari bibir Dara. Adit mendekatkan posisinya ke samping Dara. Dara melotot protes.

“Ngapain kamu?” tanya Dara curiga.

“Jagain kamu,” jawab Adit kalem.

Dalam hati Dara bersyukur. Sebadung-badungnya Adit, ternyata masih memiliki jiwa lelaki pelindung juga. Dara tersenyum dalam hati.

Peluit tanda pertandingan dimulai, Dara terbengong-bengong melihat suasana yang sangat beda jauh dengan yang biasa ia lihat di televisi. Roll paper berterbangan menghujani lapangan bagian selatan. Belum selesai kekaguman Dara pada roll paper yang berjumlah puluhan itu, tiba-tiba suara kembang api menghujani gendang telinga Dara. Bomb smoke dan flare pun dinyalakan.

Masker. Dara segera mencari masker yang kemarin pagi masih terselip di tasnya. Tapi tak kunjung dia temukan. Khawatir asmanya kambuh, Dara buru-buru mengambil ujung jilbabnya untuk menutupi hidung dan mulutnya. Menyadari hal tersebut tidak memberikan banyak arti, Dara mulai terbatuk-batuk.

Dara merasa lengan kanannya ditarik. Matanya terlanjur perih untuk melihat sekelilingnya, setidaknya dia masih paham bahwa yang ada disebelah kanannya adalah Adit. Adit menarik lengan Dara bukan hanya untuk merapatkan barisan saja, tapi juga memeluknya. Dara berontak, hendak protes, tapi Adit terlalu erat memeluknya.

“Dit!” protes Dara.

Dara mendengar Adit bergumam, tapi hanya gumaman yang ia dengar, tidak ada kalimat lain sebagai penjelas. Tapi paling tidak sekarang Dara merasa tenang, sudah tidak terlalu banyak asap yang mengganggunya, dia merasa nyaman dalam pelukan Adit.

Hampir sepuluh menit sampai akhirnya Adit melepaskan pelukannya. Dara yang sudah terlanjur nyaman tergugu sejenak. Dipandanginya wajah Adit yang terhalang oleh slayer hitam. Hanya sepasang mata teduh itu yang mampu dia tatapi. Sejenak.

Detik selanjutnya gegap gempita menggaung ditelinganya. Dara tersentak bingung. Dilihat Adit juga bernyanyi lantang. Slayer hitam yang menyelubungi wajahnya diturunkan. Dara terhenyak seketika. Baru sekali ini harus dia akui ketampanan Adit yang selama ini dia lewatkan.

Rambut Adit yang tadi berantakan kini kian berantakan saja, apalagi keringat mulai meleleh membasahi wajah sekaligus badannya, terlihat semakin seksi saja. Hidungnya yang mancung, bibir tipisnya, alisnya yang tebal memayungi sepasang mata teduh itu, semuanya kini terlihat sempurna saja.

Deg! Jantung Dara seakan berhenti berdetak, kemudian kembali berdenyut satu-satu. Mungkinkah ini cinta?

“Mbak! Kalau mau jadi penonton di tribun merah atau tribun biru saja,” bentak seseorang.

Dara tergagap.

Tiba-tiba dia merasa jemarinya digenggam. Adit.

“Hafalin dulu liriknya, lalu nyanyi sama-sama,” bujuk Adit dengan suaranya yang kini mulai parau. Dara menganggukkan senyum.

Dara mulai terbiasa di tribun ini. Meski suaranya masih kalah keras, dia tetap saja ikut bernyanyi, ternyata begitu menyenangkan. Genggaman tangan Adit semakin erat saja dia rasakan. Semakin nyaman juga perasaannya dalam hati. Dara membagi senyumnya.

Ketika gol tercipta, sorak sorai itu semakin menggelegar. Dara nyaris terjungkal ketika orang-orang disekelilingnya berlonjakan kegirangan. Untung genggaman tangan Adit belum dilepaskan, hingga Dara masih mampu mengatur keseimbang. Baru saja Dara nyaman dengan posisinya berdiri sekarang, sekali lagi lengannya disentakkan.

Pelukan kedua.

Ini bukan lagi tentang asap dari bomb smoke dan flare yang menyesakkan. Dara merasa lain. Selain degup jantungnya, dia mendengarkan degup jantung lain. Sama-sama memburu, sama-sama berdegup kencang tak beraturan. Dara bengong.

Tapi belum sempat Dara melayangkan protes, peluit panjang terdengar. Itu berarti pertandingan telah berakhir.

Suasana semakin menggelora. Roll paper semakin banyak yang berhamburan dan kembang api seakan berlomba-lomba menyentuh langit untuk kemudian memercikkan bunga apinya. Bomb smoke dan flare masih saja berseteru dengan asap yang membumbung, menyala sebatas pagar tribun. Kemudian asapnya menyelimuti tribun selatan.

Dara mengeratkan pelukannya, dia tidak mau asmanya kambuh di kemelut yang bahagia ini, apalagi dipelukan Adit. Adit mengusap punggungnya perlahan sembari membetulkan letak slayer hitamnya. Adit sendiri merasa tersiksa dengan debaran jantungnya sendiri. Antara degup jantung karena terpacu oleh chant, sekaligus terpicu oleh cinta.

Dara, gadis manis yang mencuri hatinya sejak masuk SMU itu benar-benar membuatnya kewalahan. Berkali-kali dia mencoba mencuri perhatian darinya, tapi Dara terlalu cuek, dan dia hanya mampu menelan pahit perjuangannya. Nyaris drop out pun pernah ia alami, tapi tak membuat Dari memandangnya dengan sepenuh hati. Justru pandangan kasihan dan cibiran yang ia dapatkan.

Dara terlalu sibuk dengan urusan pelajaran. Seluruh mata pelajaran dia unggul, bahkan dengan tubuhnya yang mungil berisi itu mampu membuatnya unggul di mata pelajaran olahraga. Adit hanya mampu tersenyum kecut mengetahui bahwa harapannya terlalu jauh untuk menggapai bintang kelas itu.

Nyaris Adit putus asa. Hingga pada akhirnya, hari ini secara tak sengaja dia bertemu Dara disini. Meski sebenarnya dia masih saja penasaran mengapa gadis manis, mungil dan imut ini bisa nyasar di tribun selatan yang tak pernah dibayangkan oleh Dara untuk disinggahi, Adit hanya mampu menganggap bahwa ini adalah keajaiban Tuhan.

Kini gadis itu merasa nyaman dalam pelukannya, mencari kehangatan sekaligus kebebasan, dan Adit mampu memberikan itu dengan seluruh jiwa raganya. Bahkan jika terjadi kerusuhan saat itu, Adit akan dengan rela menjadi tameng untuknya, demi menjaga cintanya.

“Dit?” tanya Dara dengan suaranya yang kini berubah, serak.

“Ya?” sahut Adit dengan suara yang tak kalah parau.

“Asapnya masih tebal?”

“Masih,”

Meski sebenarnya asap sudah mulai menipis, Adit tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan datang untuk kedua kalinya. Adit semakin mengeratkan pelukannya. Dara pun hanya mampu terdiam dalam pelukan Adit, berusaha meredam degup jantungnya yang semakin tak karuan.

Jujur ingin dia akui bahwa dia menyukai lelaki ini. Sejak awal dia masuk sekolah, dia sudah tertarik pada Adit. Hanya saja, beberapa waktu terakhir dia mulai tidak menyukai Adit karena badungnya yang semakin menggila saja. Dara tidak pernah tahu bahwa kenakalan Adit adalah salah satu cara untuk mencuri hatinya, yang Dara tahu adalah Adit yang badung, yang tak pernah menuruti perintah guru, yang hobi bolos sekolah dan pernah sekali ikut tawuran.

Pelukan itu masih saja memaku mereka berdua untuk mematung. Tak berapa lama, getaran handphone mereka menjadi jeda untuk pelukan yang sedemikian eratnya. Dara beringsut melepaskan diri dari pelukan Adit, begitu pula dengan Adit yang mulai melonggarkan pelukkannya. Mereka meraih handphone mereka masing-masing.

From: Ira
To: Dara
Take care ya beb, ada Adit yang jagain kamu kan?

Dara terbengong-bengong memandangi layar handphonenya, ekspresi yang sama juga ditunjukkan oleh Adit.

From: Ridwan
To: Adit
Jagain Dara baik-baik ya, kasihan, baru sekali nonton di stadion dia,

Adit dan Dara saling beradu pandang. Tak ada kata-kata yang mampu mereka ungkapkan, hanya sepasang senyum yang bisa menjadi penerjemah suasana hati. Flare masih menyala, begitu pula dengan cinta mereka.
  
*ENDLESS*



Jumat, 14 Maret 2014

Ku Cinta Kau dan Dia



"aku cinta kamu,
aku cinta dia,
aku tidak bisa memilih satu,
aku cinta kau dan dia"



9 Maret 2014

Nyaris. Kata yang tepat untuk menggambarkan keadaanku kemarin. Nyaris. Nyaris. Dan nyaris. 

Seperti ini rasanya, layaknya punya dua kekasih yang dua-duanya harus diapeli dalam waktu yang hampir bersamaan. Kalau sesuai dengan perhitunganku, pagi aku ngapeli WDC di embung nglanggeran, sorenya ngapeli PSS di stadion Maguwoharjo. Tapi ternyata, ada yang lain lagi muncul tiba-tiba, merusak rencana.

Pagi hari, seperti yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, sekitar pertengahan Februari, terlaksana. Baru saja membuka mata, memandangi jam di handphone, adzan subuh juga baru saja berkumandang, sebentar ku pejamkan mataku. Ketika adzan sudah mulai sayup, tanganku tergerak mencari satu kontak, menekan tombol dial. Tidak ada sahutan, kupastikan dia sudah terbangun dengan sebuah pesan. Dan hanya satu huruf yang kembali padaku. “Y”

Dengan mata masih menahan kantuk, aku berjalan ke tempat yang sudah ku janjikan. Tak berapa lama dia datang, kemudian kami pergi untuk sekedar sarapan. Ah, baru juga kita bertemu, dia harus melihat betapa ektrim porsi makanku. Tapi aku tak pernah peduli dengan pemikiran orang lain mengenai porsi makanku, yang aku tahu perut ini penuh terisi.

Perjalanan itu masih sama dengan perjalananku yang dulu, menuju pendopo embung nglanggeran. Jalan terjal mendaki, dan sudah beberapa orang menanti, akhirnya kami sampai. Kegiatan berjalan lancar, meski sesekali ada beberapa bumbu yang dipaksa hadir untuk melengkapi.

Kabar bahwa kakakku sedang sakit, ditambah siang nanti harus sudah ada di Jogja untuk melihat laga bola, membuatku pusing tak karuan. ku putuskan untuk tidak ikut nonton bola, dan memilih pulang ke kost kakakku untuk merawatnya. Kebetulan bapak juga sedang ada di Jogja. Ku rangkai kata-kata sebelum ku kirimkan pada temanku yang menungguku di Jogja.

Pertamanya aku mencoba untuk menelfonnya, tapi tak ada jawaban. Dengan sangat terpaksa aku mengirimkan pesan itu, pada Ayah dan mbak Yanti. Tepat saat tombol send ku tekan, air mataku seakan tumpah. Susah payah aku coba sembunyikan, karena saat itu aku masih ada di acara WDC.

Kecewa. Iya. Aku kecewa. Hari ini semua acara berantakan. Kacau sudah pikiranku. Ada balasan dari temanku. Katanya, jika masih ada luang waktu, maka aku harus ikut bersama mereka nonton bola. Aku semakin tergugu dalam fikiranku. Sudah dapat kubayangkan wajah-wajah mereka yang kecewa. Aku sendiri pun kecewa. Rainbow smoke bomb itu. Triple flare itu. PSS itu. Ah, semua hanya bayangan.

Usai acara, kami jalan-jalan di embung, sedikit kecewa karena suasananya tak seperti yang kubayangkan, tak seindah yang ada dalam fikiran. Telfon itu datang, dari seorang kawan. Aku yang sedang pusing tak karuan, sekali sempat menyemburkan kemarahan. Beberapa orang disampingku kaget dan langsung terdiam. Suasana tiba-tiba berubah mencekam.

Aku memaksa untuk turun, meski dengan bibir manyun, dan rasa bersalah datang bertubi-tubi. Apalagi ketika mereka bicara tentang pantai, aih, dalam hati ingin, tapi tak bisa. Apalagi ketika temanku berkata, “baru kali ini ngajak cewek ke pantai tapi nggak mau,” Aku ingin nonton bola. Saat ini. Tak ada yang lain.

Perasaan tak enak dengan temanku, perasaan bersalah dengan kawanku. Ah, aku ini memang merepotkan siapa saja.

Hapeku kembali berdering, nomor kakakku, tapi aku tahu, yang mengirimkan pesan adalah pacar kakakku. Memintaku untuk datang, ku bilang selepas maghrib aku baru bisa menyambangi kostnya.

Setengah tiga, aku akhirnya sampai di basecamp, baru saja aku turun dari boncengan, sudah disambut temanku menuju stadion. Tanpa menghela satu nafas untuk istirahat, aku kembali berpacu dengan waktu. Tak terbayang gegap gempita nanti yang menyambutku.

Sampai di rumah temanku, semua sudah berkumpul, dan bersiap untuk berangkat. Bahagia ini. Bahagia ini. Hanya itu yang dapat ku katakan dalam hati.

Masih dengan kaos wonosari dot com, aku melangkah menuju tribun selatan, tak sabar menunggu smoke dinyalakan. Tak sabar menunggu pertandingan. Dan tak sabar menunggu flare yang kemarin sempat padam dinyalakan.

Harusnya aku merasa penat, merasa capek, naik turun gunung, kemudian harus berlonjak-lonjak menyanyikan chants. Ah, tapi siapa yang bakal merasa capek memberikan dukungan untuk PSS Sleman? Aku justru makin bersemangat. Makin lantang bernyanyi. Meski sesekali harus kututupi wajah ini dengan masker, slayer dan syal, karena asap smoke begitu menyesakkan.

Akhirnya semua berjalan lancar. Meski flare harus mlipir, suasana tetap seindah sebelumnya. Usai dari sana, aku merapat ke kost kakakku, menjaganya yang tengah tertidur lelap, berharap dia lekas sembuh.

Hari ini, #WDCday dan #PSSday dapat kulalui dengan khidmat.

Terima kasih untuk semua.

Terimakasih teman.

Terimakasih kawan.

Terimakasih PSS Sleman.


Rabu, 05 Maret 2014

Lega yang Belum Sempurna







yo ayo,
ayo Indonesia
ku yakin,
kita harus menang



Malam tadi, keindahan lain yang kurasa. Bukan untuk super elang jawa memang, tapi setidaknya darah negeri masih mengalir di raga ini.

Awal yang penuh ambigu dan dilema, karena dukungan ini tak mengerti harus pada siapa dibagi. Keputusan pertama tak ada kewajiban untuk datang menyaksikan di tempat biasa didendangkannya chants. Keputusan berikutnya, kewajiban itu berlaku dan siapapun harus berseru.

Tapi semua terbentur dengan tiket dan waktu yang terburu-buru. Hingga akhirnya ketika aku dan teman-temanku sudah merapat, suasana nampak lengang lalu. Ah, mungkin tak kan seseru sebelumnya. Tapi, aku datang untuk bernyanyi, memberikan dukungan pada tim dari negeri ini.

Ketika laga belum juga dimulai, kedua tim sedang sibuk melatih fisik dan mental yang diuji, lemparan air mineral gelasan menghujani lapangan, roll paper pun mulai meluncur ke tengah, bahkan ada juga yang melempar bom asap. Ah, ndeso, batinku dalam hati.

Ketika peluit berbunyi, tanda laga sudah siap dimulai, kami berdiri dan lantang bernyanyi, meski tetap hanya segelintir orang yang dengan keras meneriakkan dukungan. Aku, yang oleh penjaga portir dibilang rombongan anak pramuka karena memakai jilbab cokelat, baju krem dan mengenakan rok, tak mampu untuk menahan diri dan lantang bernyanyi.

Hingga beberapa menit berlalu, akhirnya komando sudah ada didepan memimpin kami bersuara lantang. Gemuruh itu tak seperti biasanya, tapi aku masih berusaha keras untuk menampilkan suara, meski suaraku sudah mulai terkikis habis dan serak memekak, aku tak peduli. Yang pasti, aku tetap bernyanyi.

Dua gol mulai mampu membangkitkan semangat orang-orang disekelilingku, dan suara itu kembali lantang kami teriakkan. Meski sesekali, ada lirik yang terus saja tertukar, antara garuda dan elang jawa, antara Indonesia dan PSS Sleman. Itu semua membuat kami tertawa geli dan saling pandang.

Kemudian, ketika koreo mulai beraksi, mengumpulkan pasukan pun butuh waktu tak sedikit, bahkan polisi yang sedang berjaga pun kami tawari untuk ikut, tapi komandan tak memperbolehkan. Akhirnya, dengan pasukan seadanya, yang merapat ketengah, kami beraksi dengan koreo yang ada.

Kegilaanku mulai menjadi perhatian orang-orang sekitar. Sesepuh pun melirik aku yang terus saja ngechant dengan suara yang sudah tak karuan, orang yang berbaris disampingku pun ikut ingin tahu. Hanya saja aku tak tahu, aku masih saja berseru dan menyanyikan lagu, lagu untuk garudaku.

Semua berakhir dengan kemenangan. Flare dinyalakan, lagu sayonara kembali lantang digaungkan. Tapi, ada kericuhan yang membuat tak nyaman, akhirnya aku dan teman-temanku memilih untuk pulang dan melewatkan semua yang sedang terjadi. Kami kembali pulang, dengan kelegaan yang masih belum sempurna.

Besok hari Minggu, kita lampiaskan lagi semangat ini. Batinku.


Asa yang Bisu







aku tetap tersenyum, 
meski tak ada kamu


Rasanya masih sama, sakit.

Sakit yang terulang berkali-kali. Ah, entah kemana hatiku, yang sudah tak berbentuk karena didera rasa rindu dan cemburu, kemudian sayatan luka yang tergores entah sudah berapa banyaknya, tak terhitung kiranya. Hingga saat ini, aku tak pernah mengerti pemikiran laki-laki. Intensnya perhatian pun tak menjadi alasan untuk kuat bertahan, dan segala janji itu layu seiring berjalannya waktu.

Ah, mulut lelaki, susah sekali rasanya menggenggam kata-katanya. Terkadang mereka lupa, setiap patah kata yang keluar dari bibir mereka akan terekam jelas ditelinga kekasihnya, dan setiap mimpi yang mereka rangkai, adalah janji yang harus ditepati kelak nanti.

Dan harusnya aku, sudah tahu alur semua kisah itu. Tapi yang terjadi saat ini, tidak hanya diluar nalarku, tapi juga diluar persepsiku. Feeling itu bukan sekedar naluri, tapi juga intuisi. Tak mau belajar dari pengalaman, hanya mengandalkan perasaan, memang aku tahu semua akan berakhir seperti ini, meski berkali-kali ku tepis prasangka yang membalut pikiranku sejak dini.

Mungkin aku yang salah, tak mampu menjaga hati yang dititipkan padaku. Setiap kali selalu berulang, mungkin aku yang selalu gamang. Ah, tidak ada yang perlu disesalkan, tak ada yang menderita kan? Kau masih sibuk dengan pemikiranmu, dan aku mulai sibuk menata perasaanku.

Sejak awal, harusnya kamu pahami, hati ini sudah rapuh, kau sentuh pun harus dengan hati-hati, tapi usai kau sentuh, bukan berarti kau boleh remukkan. Hati ini sudah goyah, berada diujung pengharapan, jangan kau usik dan kau hancurkan.

Awalnya memang begitu sempurna, rasa dicintai dengan begitu indahnya, tapi kenapa harus berakhir luka, dengan segala kepenatan yang tersisa?

Sekali lagi, aku pernah merasai, mengubah pandanganku tentang lelaki, yang tak hanya bisa menyakiti, tapi juga membuat nyaman dan menyayangi. Tapi sekarang ini, yang tersisa adalah pemikiran lama, yang usang penuh dengan debu dan jelaga.

Apakah harus ku tanya lagi? Mampu kah kau jaga hubungan kita ketika ikatan itu sudah terlanjur menjadi simpul yang begitu eratnya?

Tapi aku lupa, kau yang membuat simpulnya, seerat-eratnya simpul itu, kau pasti tahu bagaimana mengurainya kembali. Dan aku hanya bisa menatapi, simpul yang terurai tanpa bisa ku tahan lagi.

Kau tahu, hati ini sudah lelah menunggu, menunggu kepastian darimu. Bukan apa-apa, digantung itu rasanya begitu menyiksa, dan luka yang mengangga pun belum tentu bisa dijahit sempurna. Dan kini, ketika aku sudah terbiasa tersakiti oleh luka yang membalur leher pengharapanku, kau putuskan tanpa bicara. Dan aku yang masih tergugu, dengan pengharapan sekian waktu, hanya mampu terjatuh sempurna diatas rambatan duri yang melata. Sakit yang semakin sakit saja.

Akupun tak tahu perasaanmu disana seperti apa, hanya mampu menerka-nerka tanpa kepastian yang nyata. Apa harus kuulangi lagi pertanyaanku, masihkah diriku ini kau anggap ada?


Terimakasih untuk luka yang kau cipta, dan segala rasa cinta yang pernah kau bawa.