Chori chori chupke chupke adalah salah
satu film bollywood yang menampilkan sebuah kisah drama romantic. Meski dibalut dengan kisah klise, ada beberapa hal
yang menarik dari film tersebut. Bukan sekedar kisah cinta yang penuh dengan
canda ataupun duka, tapi hal lain yang lebih menarik untuk dipahami.
Belum selesai
sampai disini saja, karena keegoisan itu muncul bukan hanya dari tokoh utama
dari film tersebut. Tapi juga muncul dari keluarga tokoh utama. Yaitu dari
keluarga Mahotra. Mereka begitu mendambakan seorang cucu hadir dalam lingkungan
keluarga mereka, sementara mereka tidak tahu bahwa Priya sudah divonis tidak
akan bisa hamil lagi.
Berawal dari
kisah datar pernikahan Priya dan Raj, kemudian Priya dikaruniai seorang bayi
dalam kandungannya yang terpaksa tak dapat dia lihat kelahirannya karena kandungannya
harus diangkat oleh sebab infeksi. Kisah yang sebenarnya pun dimulai. Tuntutan
keberadaan seorang bayi tidak terhindarkan. Priya dan Raj memilih menitipkan
benih mereka untuk dilahirkan melalui rahim perempuan lain. Maka perdebatan
antara tokoh Priya dan Madu adalah konflik terhebat dalam film tersebut. Terlihat
dari keegoisan mereka dalam menjalani takdir mereka menjadi seorang wanita.
Keegoisan
Priya yang ingin mengambil seorang anak dari ibunya. Begitu juga dengan
keegoisan Madu yang ingin mengambil suami dari istrinya. Jika hanya melihat
sepihak dan mengikuti alur film tersebut tanpa memaknai seluruh pernyataan dari
kedua wanita tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa banyak pihak yang
menyalahkan Madu karena dirasa berkhianat dengan kesepakatan. Seperti yang
dikatakan oleh Priya, Madu yang seorang pelacur telah kembali pada derajatnya
ketika meminta Raj menjadi suaminya.
Tapi dalam
hal cinta apakah ada kesepakatan yang mutlak?
Bagiku,
mereka dalam posisi yang berimbang. Mertua Priya dalam film itu mengatakan
bahwa wanita lahir tiga kali dalam kehidupannya. Pertama kali sewaktu mereka
lahir dan menjadi seorang putri dari orangtua mereka, yang kedua ketika mereka
menjadi seorang istri, dan yang ketiga ketika mereka melahirkan anak dan
menjadi seorang ibu.
Priya dan
Madu sama-sama dalam posisi wanita yang baru dua kali lahir dalam kehidupan
mereka. Priya yang sudah menjadi seorang istri tapi tidak mendapat kesempatan
untuk menjadi seorang ibu, maka baginya wajar bila dia menginginkan seorang
anak. Dan Madu yang siap menjadi seorang ibu tanpa menyandang gelar sebagai
seorang istri maka wajar baginya menginginkan kasih sayang seorang suami.
Ada lagi yang
menarik, yaitu cara Priya dan Raj dalam menyampaikan perasaannya. Yang pertama
sewaktu memberitahu bahwa Priya positif hamil, Raj tidak serta merta
menyampaikan apa pesan sang dokter, tapi dia menanyakan terlebih dahulu,
“Bagaimana kalau seandainya aku harus membagi cintaku?”, Priya yang dengan
tegas mengatakan bahwa dirinya akan bunuh diri, menyatakan bahwa dirinya adalah
anti poligami. Dan keegoisan cinta muncul lagi disana. Yang kedua, sewaktu Priya
meminta Raj untuk menikah lagi, tapi Raj enggan mengabulkan keinginan istrinya,
bukan karena dia tidak mau, tapi baginya, menikah itu hanya sekali, dan ia
abdikan cintanya hanya untuk satu-satunya istri yang ia nikahi. Lagi, cinta itu
memang egois. Yang ketiga, Priya meminta Madu menggantikannya dalam upacara
tujuh bulanan. Hal ini bukan demi Madu yang siap menjadi seorang ibu, tapi
hanya untuk kebaikan jabang bayi yang dikandung Madu. Keegoisan lagi bukan?
Ada lagi yang
menarik, dari semua keegoisan yang nampak dalam film itu, ada satu adegan yang
menjadi penetralisir. Yaitu ketika Priya meminta sang dokter untuk
menyelamatkan Madu sewaktu operasi. Yang saya fikirkan saat itu adalah, mungkin
dengan menyelamatkan Madu, masih ada kesempatan untuk mendapatkan anak dari
Madu. Egois memang pemikiran saya saat itu. Tapi saya coba cerna sekali lagi,
mungkin (lagi) karena sangat egois jika meminta sang dokter menyelamatkan anak
Madu daripada Madu. Salah jika mempertahankan nyawa seseorang yang kehadirannya
hanya untuk persembahaan pada kakek mertuanya. Salah jika mengatakan bahwa
nyawa orang yang memberikan pertolongan dan harapan tidak berharga. Adakalanya
keegoisan perlu disingkirkan. Ada saatnya mengatakan bahwa kebahagiaan itu
bukan hanya milik kita seorang, tapi semua orang berhak untuk mendapatkan
kebahagiaan yang mereka impikan.
Dengan
berlaku begitu, terkadang orang akan mengetahui ketulusan dari hati seseorang.
Terbukti dari adegan sesudah klimaks yang menampilkan bahwa Madu yang tadinya
menggebu menginginkan untuk menjadi istri Raj akhirnya mengatakan memilih
pergi.
Cinta itu
egois, dan mereka sudah menemukan kebenaran dari cinta mereka. Memahami bahwa
terkadang dalam cinta, egois itu perlu ada. Egois itu menjaga cinta itu sendiri
untuk tetap menjadi satu dan tak terbagi.
“Aku sudah
mendapatkan impianku, mendapatkan kakak sepertimu, mendapatkan kasih sayang dan
kehangatan dari keluargamu, menjadi pengantin, menjadi seorang ibu, itu semua
sudah menjadi bahagiaku. Kalau hanya menjadi adik kakak sudah sebegitu bahagia
ini, kenapa harus melebihi tanpa tahu kepastiannya,”
Dan inilah
sebenarnya yang saya katakan sebagai klimaks dalam film ini. Terkadang kita
harus melepaskan mimpi kita demi kebahagiaan orang lain. Bodoh memang
kedengarannya, tapi terkadang kita bisa mendapatkan kebahagian dengan
menciptakan mimpi yang baru. Egois jika kita hanya menggenggam satu mimpi dan
tidak menyadari bahwa mimpi itu kian usang.
So, why we don’t change our dream when we
know that our dream before never come true?
Cinta itu egois. Tapi mengapa kita tidak mengubah keegoisan tersebut untuk peduli pada perasaan orang lain. Bukankah keegoisan tersebut nantinya akan menjadi pelindung, bukan sekedar penjaga.
Mereka terus
menekankan harapan mereka pada Priya yang semakin merasa bersalah pada keluarga
suaminya. Keegoisan keluarga Raj muncul bukan karena sebuah kesengajaan untuk
menyakiti ataupun menekan sang menantu. Keegoisan itu hadir karena sebuah
kerinduan. Kerinduan dari tangisan bayi yang mereka gadang-gadang sebagai cucu.
Sementara
Priya dan Raj terus saja egois dengan keresahan mereka sendiri. Terus saja
menutupi kenyataan demi menjaga perasaan. Perasaan siapa? Mereka terus saja
mengorbankan perasaan mereka sendiri untuk memuliakan perasaan orang lain. Dan
kemudian mereka harus menumbalkan perasaan orang lain lagi hanya untuk menutupi
perasaan mereka yang telah terluka.
Sebenarnya keegoisan
siapa yang lebih dominan dalam film tersebut. Bisa dikatakan keegoisan si
penulis naskah yang mendambakan rasa iba dan tetes air mata dari penonton
(termasuk saya). Begitu juga dengan sutradara yang terus saja mengalirkan alur
cerita yang menegangkan tapi mampu mengolah dengan nuansa India yang khas
dengan tarian dan lagu-lagu mereka.
Sangat menarik kemasan dalam film tersebut. Jika kita
mampu memahami isi dari film tersebut, kita tidak akan terkecoh dengan cerita
yang kelihatannya sangat klise, karena didalamnya terdapat pelajaran menarik
untuk semua wanita yang cerdas. Wanita
yang mampu memahami penderitaan wanita lain.