"Sajak ini bercerita tentang hujan
Tentang sebuah pertemuan
yang tak pernah lepas dari rintik rinai
terhempas dari awan di langit tinggi"
Masih ingatkah kamu. Kita bertemu diantara bintang seribu, diantara kelip lampu, di bawah langit yang memayung. Kita bertemu, pandangan tak mampu beradu, hanya menyunggingkan senyum, kemudian memalingkan wajah malu.
Ah, masih terbayang wajahmu yang
memerah, mungkin merasa gerah oleh segelas kopi dan sepiring roti yang tersaji.
Hingar bingar roda berputar di sepanjang jalan raya, oh iya, kita sama-sama
lupa, ini malam minggu, malam dimana sepasang kekasih asyik menghanguskan
rindu. Mungkin hangusnya itu sama dengan hangusnya roti bakar ini. Ah, siapa
peduli. Malam dimana sepasang kekasih asyik membagi panasnya gelora asmara. Mungkin
sepanas kopi yang tersaji dengan asap yang masih mengepul. Ah, kita pun tak
juga peduli.
Kita masih berjibaku, menyelami fikiran kita sendiri. mungkin sebuah ikatan yang halus, tersembunyi dalam bayang. Ah, malam memang mengaburkan pandangan, tak pernah terlintas memang ada seutas tali yang akan mengikat kita. Sejauh ini.
Pertemuan itu berlalu seiringnya
waktu, kian malam, kian temaran dan aku ingin pulang. Bukan karena jemu, bukan.
Hanya saja memang waktu yang memintaku untuk lekas kembali, sebelum pintu
gerbang terkunci. Mungkin di lain hari, ada saatnya kita untuk berjumpa lagi.
Hujan pertama yang kita rasakan
berdua, kita nikmati jamahannya dengan degup jantung yang diburu waktu. Indah kan?
Sebelum itu pun, ada keindahan
lain yang sebelumnya ingin ku bagi. Aku memang tidak bisa memberimu ribuan
bintang di langit. Rasanya terlalu jauh. Yang bisa ku bagi saat ini, hanya
sebuah tempat, dimana kita bisa menikmati kelip lampu yang tak mampu ku hitung
sendiri. Saat itu pertama kali, tangan kita saling bertautan, membagi
kehangatan.
Ternyata bukan hanya kehangatan
ini yang harus kita bagi. Dinginnya angin malam yang membaur bersama air hujan
yang mengguyur deras, harus kita rasakan berdua. Ingin rasanya saat itu aku
memelukmu. Tapi tangan ini kaku, membeku, tak mampu untuk lakukan sesuai kata
hatiku. Naif, gerutuku dalam hati.
Ketika aku masih mampu, untuk
mengatasi dingin ini sendiri, kamu terbaring, dilingkupi dingin semalam yang
kita rasakan. Rasa bersalah bertubi-tubi menerpa hati. Ingin sekali saat ini,
ku genggam tanganmu, ku bagi hangatku. Namun, jarak, waktu dan semua alasan
yang ku punya tak membuatku ada disampingmu.
Ternyata kau memberikanku kesempatan,
untuk menggenggam tangan, disini, dipandangi makhluk Tuhan yang terpenjara. Di tempat
yang bukan seharusnya mereka berada. Rasanya tak berpijak di bumi, terayun
bersama sambil memandangi awan yang terus saja berlalu di atas kita, indahnya.
Sehari itu, kita bersama, dan
waktu berlalu begitu saja. Tak mau berhenti walaupun kita paksa. Dan mau tak
mau ketika matahari sudah mulai lelah bekerja, kita harus kembali. Dan beberapa
rasa rindu mulai datang menghampiri, mencubit segenap hati yang tersisa. Kepingan
yang masih sempat ku selamatkan sebelum semua terbuang.
Sekali lagi. Pantai. Menjadi tempat
dimana harus ku ulangi sebuah kisah yang selalu ku inginkan tak pernah usai. Kisah
yang sekarang kita mulai berdua. Yang sekali lagi aku pinta, tak pernah ada
akhir meski pernah ada kata awal yang kita ikrarkan sebelumnya.
Kegamangan itu mulai sirna, meski
setiap lembar hatimu belum kamu buka sepenuhnya. Paling tidak aku percaya, Tuhan
masih mengijinkan aku menikmati sebuah rasa cinta. Sudah berjuta rasa yang ku
kecap dari kata cinta. Pahit manisnya, asam asinnya, aku sudah rasa. Dan kini,
aku hanya ingin, seperti apapun rasanya nanti, tak akan ada akhir yang harus ku
ulangi.
Bahkan saat aku mulai berusia,
kau tawarkan aku untuk berpinta. Ah, haruskah ku ulang kata-kataku sebelumnya. Aku
hanya ingin kamu. Hanya ingin kita berdua. Tak ada kata pisah untuk selamanya. Dan
hujan kembali menjadi saksi, sebuah perjalanan yang kita arungi.
Sejak saat itu, mulai
kuperkenalkan kamu pada duniaku. Pada teman2ku. Hingga kamu mulai terbiasa,
dengan segala kegilaan yang mungkin ada. Dan hujan lagi-lagi berbicara, tak mau
ketinggalan dalam setiap kisah kita. Ah, memang sudah musim hujan. Tersadarkan.
Dan yang terdengar hanya sebuah gumaman.
Dan tahukah kamu, dulu aku
percaya, resonasi dari hujan adalah bias kenangan. Mengembalikan sebuah ingatan
lalu, dan aku percaya itu. Tapi kini yang ada, kisah lalu itu berpadu menjadi
satu dengan masa depanku. Berseliweran dalam fikiranku. Dan harusnya mulai kini
kuyakini, seberapa banyak waktu yang telah berlalu itu, tak pernah berguna,
hanya menjadi kenangan ketika hujan datang. Sudah saatnya kusibakkan tirai
hujan itu, dan menemukan masa depanku. Setidaknya kini aku percayai, bahwa masa
depanku itu kamu.