Ayah, mbak Yanti dan aku duduk di mobil bagian tengah dalam perjalanan ke Jepara |
Asli bulan Desember ini aku nekat ngambil cuti dengan alasan nonton PSS, itu karena memang pimpinan di perusahaanku tahu bahwa aku adalah suporter PSS, dan alasan yang lain adalah, bosku tahu jadwal PSS berlaga. Awkward banget nggak sih ketika bosmu update jadwal klub bola lokal kesayangan kamu, sampai akhirnya dia share duluan jadwal tersebut di grup perusahaan. Mau nggak mau, ya nggak bisa ijin aneh-aneh untuk bisa ambil cuti.
Yang lebih parah lagi, sebenarnya pada laga Final nggak berniat ambil cuti karena kabarnya akan diselenggarakan di Stadion Manahan Solo dimana bisa ditempuh hanya dalam hitungan jam setelah pulang kantor, but, pada waktu yang sangat mepet sekali, tiba-tiba venue Final dipindah ke Jepara (lagi).
Sebenarnya takut sih ambil cuti, tapi ini laga Final, dan aku nggak mau melewatkan itu, pada saat yang sama pun ada deadline yang bener-bener dead. Akhirnya dengan memberanikan diri, aku minta ijin untuk libur di hari Kamis (22/12) untuk nonton FInal di Jepara. Jawaban yang ku terima adalah "(emot ketawa sampe nangis sampe tiga kali) Oke mbak, tapi setelah dari Jepara fokus kerja lagi ya,".
Just that. Betapa legowonya hati bosku merelakan karyawannya yang nggak jelas ini untuk libur kerja demi PSS.
OM TELOLET OM! |
Perjalanan lancar, meski sempet terkena macet di tol Semarang. Dan diselingi guyonan ngehits kekinian "om telolet om" bahkan kami yang disambut oleh beberapa anak kecil di tepi jalan daerah Mijen Demak untuk meminta stiker. Mulai dari anak kecil, yang pulang ngaji, yang pulang sekolah, sampai bapak-bapak dan ibuk-ibuk. Amazing! Hingga pada akhirnya kita sempet tersesat (padahal tinggal beberapa meter lagi sudah sampai), nyasar muter-muter sampai makam, wait, ini mau ziarah? Kami satu mobil ketawa ngakak karena penunjuk arahnya memang bingung. Akhirnya sampai di stadion hampir pukul 3 sore. Dicky, Chandra, Fiyan, Dhoni, Dany, Dhimas dan satu orang asing (aku nggak kenal sama orangnya) pergi rame-rame nyari tiket, sementara aku, Ayah, mbak Yanti dan mas Harowi duduk diam di mobil sambil makan bekal dari rumah Ayah.
Skip momen banyak banget, akhirnya pukul 5 sore kita menuju stadion dan masuk ke tribun. Sudah ramai sekali. Duduk di tribun atas sebelah utara (jauh) papan skor. Belum juga laga dimulai, Ayah yang duduk di samping mbak Yanti berteriak, "eh, batu, batu, awaass," kami semua langsung melihat ke atas, memang benar ada lemparan batu dari luar stadion. Beberapa mas-mas langsung naik ke atas, bergegas melewati kami yang sibuk melindungi kepala. Tak berapa lama semua terkondisikan. Dalam hati kami masih bertanya-tanya, siapa yang melempar batu? Siapa?
Duduk di Tribun, tepat sebelum kena hujan batu. |
Pertandingan dimulai, belum lama waktu berlalu, Dave sudah menjebol gawang lawan. Sontak kami semua langsung berteriak gembira. Harapan seolah membuncah. Namun tiba-tiba sedikit meredup ketika lawan membalas gol tersebut dengan mudahnya. Wait, kenapa begitu mudah dibalas?
Memang permainan mereka seolah terkonsep begitu rapi hingga PSS sedikit kesulitan untuk mendapatkan bola. Namun, ada hal yang sedikit mengganjal. Kepemimpinan wasit dan drama yang dilakukan oleh para pemain PSCS. Semuanya terlihat begitu nyata, begitu jelas kalau itu hanyalah drama, namun, yang ada di lapangan (maaf, mungkin ini untuk wasit dan para hakim garis) seolah tidak melihatnya.
Setiap kali PSS bisa menjebol gawang lawan, tak lama setelahnya PSCS bisa membalas gol tersebut untuk unggul satu gol. Siapa yang nggak geregetan? Mau nggak mau ya nangis, emosi, ya siapa sih yang nggak gemes lihat laga FInal dan tim yang kamu dukung justru tertinggal? Nangis, iya nangis, cengeng memang, tapi ini luapan emosiku.
Seolah kami tidak bisa menghirup nafas lega sejenak setelah PSS berhasil mendapatkan poin. Hingga pada akhirnya ada insiden yang tak terduga sama sekali. Tepat ketika penjaga gawang PSCS (untuk kesekian kalinya) seolah menahan bola ditangannya sedikit lebih lama untuk mengulur waktu, ada seorang suporter yang entah siapa melompat melewati papan iklan dan masuk ke lapangan, hingga saat itu aku masih belum bisa concern karena ada yang menyalakan kembang api, melempar flare ke dalam lapangan, tidak hanya satu, beberapa flare masuk ke lapangan, seolah mengelilingi lapangan. Aku masih syok, ingin berteriak menahan, tapi, flare itu sudah ditengah lapangan dan kembang api sudah dinyalakan, bahkan ada yang menyalakan smoke bomb, benar-benar nggak bisa lihat keadaan di lapangan, dan, hujan batu kembali datang, menghujani tribun area kami, sontak kami segera naik untuk berlindung, merapat ke tembok pembatas, smoke yang tebal yang tersapu angin berhembus ke arah kami, pekat.
Ketika asap sudah menipis, terlihat beberapa orang tengah menahan yang lain yang ingin membalas lemparan tersebut. Dhoni dibawah, berteriak ke arahku, mbak Yanti, Ayah dan mas Harowi, mengajak kami untuk segera turun, kami berempat masih keukeuh hingga mau tak mau Dhoni bergabung bersama kami. Fiyan menyusul dengan wajah kesal, "Aku kena lemparan batu," ucapnya sembari menunjukkan lengannya, "untung nggak kena kepala," imbuhnya,
"Tadi polisi-polisi itu mengira kita yang ngelemparin batu," kata Dhoni, "Kita teriak, enggak, bukan kita, akhirnya mereka lihat sendiri batunya dari luar stadion,"
Orang-orang disampingku masih sibuk menahan beberapa suporter yang ngeyel ingin membalas lemparan tersebut, "aku salah apa kok dilemparin," teriaknya kesal, kami terus mencoba meredam. Ingat, kita di rumah orang, pikirin gimana caranya pulang, pikirin mobil-mobil, bus, dan motor yang ada di luar.
Akhirnya ketika sudah mulai mereda, kita semua turun, melihat sekilas penganugerahan juara. Kembali hujan batu dan botol minuman keras. "Udah, kita keluar saja," akhirnya kami keluar, dan berkumpul sejenak melihat suasana diluar. Ada mbak-mbak yang pingsan digotong beberapa suporter. Ada yang sibuk menelpon teman-temannya, memastikan semua dalam keadaan aman.
Akhirnya kami memutuskan kembali ke mobil. Karena sangat ramai, kami berjalan mengular, didepanku ada mas Harowi, Ayah dan mbak Yanti, oke aman, dibelakangku ada mas-mas yang nggak tau tadi siapa namanya, aku menoleh sesekali ke belakang memastikan rombongan kami tidak hilang.
Dicky, Dhimas dan Dany sudah menunggu di dekat mobil, kami memutuskan segera pulang. Ketika hampir mencapai perbatasan Demak, semua memutar haluan, ada sweeping katanya. Mau nggak mau kami putar balik lewat Kudus. Perjalanan pulang kami terbilang aman, sesekali aku berkomunikasi dengan anak-anak dari komunitas lain, memastikan keadaan mereka di jalan. Ada lemparan batu di jalan menuju Boyolali, sweeping di area Solo dan mereka memintaku untuk berhati-hati.
Sopir kami pun mendapat kabar dari temannya untuk tidak lewat Boyolali.
Lelah, aku tertidur sesekali, hingga akhirnya ketika masuk Magelang aku terjaga. Sopir kami berteriak, "Wah, ada molotov," kami semua langsung celingukan keluar, "untung nggak kena mobil depan dan mobil kita,"
Agak di depan kami bertemu dengan rombongan yang berhenti sejenak karena ada beberapa kaca yang pecah, ada polisi juga disitu, "Pak, disana tadi ada molotov," ucap Fiyan yang duduk disamping sopir,
"Makasih mas infonya, hati-hati terus ya dijalan, kacanya ditutup saja,"
Kami meneruskan perjalanan. Hingga akhirnya beberapa kali mobil kami hilang kendali karena sopirnya ngantuk. Akhirnya dengan sedikit was-was kami mampir ke Palagan untuk ganti sopir (temannya si sopir).
Pukul 05.30 WIB, kami sampai di rumah Ayah, sudah disambut teh hangat,
"Luky sudah sampai jam tiga tadi, katanya kalah ya yah?" tanya mamaknya Ayah, kita semua mengangguk lesu. Setelah minum teh hangat, kami beranjak tidur tanpa sempat membersihkan diri. Masih ada sedikit waktu untuk beristirahat sejenak sebelum aku berangkat kerja.
Kecewa? Jelas! Siapa sih yang nggak kecewa jika tim yang didukung kalah? Tapi masih tidak bisa terima dengan yang terjadi kemarin. Dan semakin tidak terima jika ada orang-orang yang sama sekali tidak ada dilokasi namun nyinyir. Hey, kamu, kalian tidak tahu apa yang terjadi disana, jangan koar-koar nggak jelas, karena kami sendiri masih gamang dengan kondisi yang ada disana.
Hingga akhirnya ketika sampai di kantor, disambut sapaan dari bosku,
"Lho mbak desi, (iya bos), tak kira bunuh diri (asli ini aku ngeweh bego banget), pss kalah kan ya, 4-3 (sebenernya sih kesel, sumpah, tapi ya sudahlah, mereka nggak tau apa yang terjadi semalam,)"
"Ini saja masih untung saya hidup bos," celetukku.
Menutup kekecewaanku.
Kalah, salah. Menang, dibilang curang. Kami memang selalu salah di mata kalian. Matamu.