Aku tak pernah tahu, kapan tepatnya pertama kali aku bertemu dia di tempat ini. Di teras rumahku. Tempat pertama kali aku mengenal dia. Dua setengah tahun yang lalu, aku lupa tanggal maupun bulannya, aku berkenalan dengan dirinya. Waktu itu aku masih menyelesaikan skripsiku, sehingga dia tidak kuingat sepenuhnya. Hanya saja sebulan setelah aku wisuda, dia muncul lagi, di tempat yang sama. Membuatku kembali mengingat kisah yang lalu. Perjodohan dari temanku.
Aku masih sering tersenyum sendiri jika mengingat masa-masa itu. Aku dan dia sama-sama masih lugu, bahkan temanku harus turun tangan untuk menjodohkan kami karena kami sama-sama malu. Hanya saja waktu itu, restu orangtuaku untuk menjalin sebuah hubungan dengan pria masih alot. Jadi setelah wisuda dan setelah dia muncul lagi, aku beranikan untuk meminta restu dari orangtuaku.
Sore ini, aku duduk berdua dengan dirinya di tempat yang sama. Di teras rumahku. Duduk diam, membisu. Menikmati keheningan di tengah-tengah ketegangan yang merambat dalam bilik hati. Desir-desir hangat menyentuh kalbu, membuat jantung berdegub kencang dengan irama berantakan. Tubuh bergetar lambat dan keringat dingin keluar dari celah-celah pori-pori di kulitku. Rasa-rasanya kembali mengulang memori masa lalu. Merasakan detik-detik jatuh cinta yang memabukkan.
Aku menunggu dia bicara, satu detik, satu menit berlalu, sepatah kata belum keluar dari bibirku maupun bibirnya. kami masih berusaha mengusir kecanggungan yang mengapung di udara dengan sama-sama memandang ke halaman yang kupenuhi dengan bermacam-macam tanaman bunga.
Satu jam berlalu, tak terasa. Kami telah menghabiskan satu jam bersama dengan obrolan yang mengalir dalam hati, masih dalam diam kami berbicara. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Terkadang aku tertawa saat beberapa anak kucing berusaha menangkap kupu-kupu yang hinggap di bunga mawar kesayanganku, dan senyum di bibirnya itu semakin lebar setiap kali aku tertawa. Matanya yang bulat dan bening senantiasa bersinar ceria. Walaupun terkadang ada sedikit mendung menghalangi sinar itu. aku tak tahu apa yang dia sembunyikan dariku.
Aku merasa ada satu rahasia yang ingin dia bagi denganku, aku menanti kejujuran dari bibirnya karena aku selalu percaya pada dirinya. Bibirnya yang sedari tadi menampilkan senyum khasnya seketika melekuk kecut. Matanya yang sedari tadi memancarkan sinar indah, seketika redup. wajahnya datar tanpa ekspresi.
“Sudah berapa lama kita bersama?” dia tiba-tiba bertanya padaku, aku berfikir sejenak, menghitung putaran roda waktu yang telah melintasi hidupku yang telah ku habiskan dengannya. Tentu saja kuhitung sejak kami mendapat restu untuk menjalin hubungan dari keduaorangtuaku dan orangtuanya.
“Hampir dua tahun,” jawabku sambil mencoba menebak reaksinya. Kepalaku terasa berat karena begitu banyak pertanyaan yang tiba-tiba menyerbu benakku.
“Selama hampir dua tahun ini, apakah kamu selalu percaya padaku?”
Kepalaku terasa pening, alarm dalam benakku menyala. Kekhawatiran dan ketakutan tiba-tiba melanda fikiranku, menyumbat akal sehatku, emosiku hampir saja meletup karena bayangan-bayangan dirinya bersama perempuan-perempuan lain tiba-tiba muncul. Aku hanya bisa mengangguk.
“Padahal aku berbohong padamu dalam satu hal,” katanya datar sambil menatap lurus kedepan, emosiku tiba-tiba menghilang, entah melebur dimana, yang ku ingat saat ini aku telah menatapnya dengan tatapan bingung.
Dia menatap langit dari balik kacamatanya. Kacamatanya berembun. Tetesan air turun dengan derasnya. Sedang hujan. Senyum kembali muncul dibibirnya. Tapi dimatanya masih ada mendung menggelayut. Rahasia apa yang sebenarnya dia pendam, yang dia sembunyikan dariku.
“Aku tak pernah bilang padamu,” katanya tiba-tiba. Aku menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Aku tak pernah bilang bahwa hidupku hanya tinggal menghitung hari,”
“Maksud mas?” tanyaku tiba-tiba, kaget dan melompat dari dudukku dan mendekat kearahnya,
“Minggu depan aku operasi. Kalau operasiku berhasil, aku akan terus menemanimu, menjagamu, selamanya. Aku janji.”
“Operasi apa?”
Pertanyaanku menggantung, tak pernah ada jawaban keluar dari bibirnya. dia tak pernah mau memberitahuku. Saudara-saudaranya pun sama saja, tak memberi gambaran yang jelas. Orangtuanya selalu menangis setiap kali aku ingin mengetahui penyakit apa yang sebenarnya diderita dia. Aku hanya dapat menebak-nebak dalam sejuta kemungkinan sambil didera sejuta ketakutan, takut dia pergi meninggalkanku.
Waktu seminggu kuhabiskan untuk mencari informasi tentang penyakit apa yang sedang diderita dia. Tapi aku tak pernah menemukan jawabannya. Teman-temannya tak mau angkat bicara. Betapa bodohnya aku, betapa tololnya aku ini. Penyakit kekasihku saja aku tidak tahu. Habis sudah airmataku untuk menyesali ini semua.
Sekarang ini yang ku ketahui adalah mas Awang ada di rumah sakit. Sedang operasi.
***
Sekuntum bunga kamboja putih jatuh dipangkuanku, harumnya yang khas tercium. membuatku sedikit bergidik. Tapi kehangatan mendekapku, menghentikan rasa itu. Disampingku, mas Awang merangkulku. Erat. Seolah enggan melepaskan lagi. Aku menatap wajah mas Awang yang memancarkan aura kelembutan. Operasinya berhasil, walaupun begitu pertanyaan yang selama ini menggangguku tak pernah menemukan jawabnya. Biarpun ku paksa dengan cara apapun, mas Awang tak pernah mau membicarakan masalah itu. Yang ku tahu saat ini adalah mas Awang sudah ada disampingku, siap menjaga dan melindungiku. Selamanya.
Special for someone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar