Laman

Sabtu, 21 Juni 2014

Mengawal Bidadari Menuju Negeri Atas Awan















Kabar yang tidak ingin didengar itu menyapa telinga. Rencana ke Wonosobo gagal karena si empunya rumah sedang punya hajat dan tidak bisa diganggu gugat. Oke, fine. Namanya juga keadaan dan kenyataan, mendadak pun harus diterima dengan lapang dada, meski rasa kecewa yang menyeruak tetap saja sebesar apa sajalah yang besar-besar.

Dalam perjalanan mengantar seorang kawanku belanja, sebuah ide terlintas di kepala. Masih teringat satu keinginan tertunda yang rencananya akan direalisasikan usai perjalanan kami menuju Wonosobo. Muncak ke Suroloyo. Dengan adanya guide terpercaya, akhirnya aku mengusulkan acara itu untuk mengembalikan mood kami yang sempat hilang.

Ketika semua sepakat dan aku ‘terpaksa’ sebagai koordinator, walhasil harus sering memastikan berapa personil yang akan berangkat dan ketepatan waktu untuk bersiap. Hingga hari Jumat (20/6), nama yang tertera tinggal Mbak Yanti, Ayah, Erna, Yoga, Eko. Sementara itu saja sudah cukup, karena Levi sedang sakit dan Taofiq sedang ngirit.

Belum sempat merasakan debaran penantian hari esok, kabar tak sedap kembali menyambangi ruang pikirku. Mbak Yanti harus mengambil rapor Nur hari Sabtu (21/6). Kemungkinan yang tersedia adalah kami berangkat agak siang. Namun sebuah sms yang kurang menggairahkan hadir, “ya paling tidak jam 12 berangkat, kalau nggak, ya nggak jadi ikut saja, denahnya sudah aku kasih ke Ayah.” Sebuah sms yang membuat aku lemas seketika. Diburu waktu dengan kesibukanku menyapa editan majalah, aku mulai sibuk mencari konfirmasi untuk kesiapan esok hari. Akhirnya, kata sepakat sudah kami dapat. Sabtu siang pukul 13.00 WIB tanpa ada kata terlambat kami akan berangkat.

Dengan berbekal handphone untuk berburu arah menuju tempat pertemuan kami dengan guide kami, mbak Ana, teman KKN mbak Yanti, sempat nyasar hingga harus putar balik. Tapi lumayan seru nyasarnya, di beberapa tembok yang dekat dengan jalan nampak beberapa mural menghiasi, mural tentang PSS. Ya mulai dari PSS Sleman, Slemania, Brigata Curva Sud, hingga BCS Lajellan menyejukkan mataku sejenak. Rindu laga itu kembali menggebu, memberikan secercah warna di hati yang selama ini tersaput mendung.

Perjalanan panjang mendaki dan berliku telah kami lalui, dan sampailah kami ke tempat tujuan. Puncak Suroloyo. Menaiki tangga, dengan nafas satu-satu, akhirnya kami bisa menyapa negeri atas awan yang menawan. Terselubung di dalam kabut setelah hujan mengguyur, kemudian disapa seulas pelangi di kaki bukit, keindahan tak terkira yang kami dapatkan.

Rasanya ingin disana beberapa jenak dan menghentikan waktu agar tak lekas gelap. Tapi apa mau dikata, hari memang sudah malam, waktunya pulang, mengembalikan guide kami ke rumahnya untuk berkumpul kembali dengan keluarganya.

Ah iya, aku lupa belum menceritakan ketika kami sampai di kaki bukit, beristirahat sejenak di pendopo. Kami memesan tujuh mie seduh dan enam teh manis panas. Eko memesan teh tawar. Kami mulai sibuk dengan makanan kami sambil sesekali bersendau gurau.  Ternyata teh pesanan kami rasanya pahit, bahkan yang kami pesan manis pun masih terasa pahit. Apalagi yang tawar, rasanya mirip jamu pahitan.Ketika kami membayar, ternyata anak dari pemilik warung adalah salah satu mahasiswa satu kampus dengan kami. Dan dia mengenali kami sebagai anggota ukm jurnalistik di kampus. Dan masih banyak lagi kisah-kisah yang menjadi selingan indah perjalanan kami yang tak bisa ku tuliskan secara keseluruhan disini.

Momen yang begitu sempurna. Terima kasih kawan, bersama kalian, rasanya hidup tak pernah ada beban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar