Rabu, 27 Mei 2015
Semoga Gunungkidul Berw184wa
Rasanya indah sekali pagi ini, diawali dengan pesan singkat darimu, kemudian kenyataan bahwa hari ini kampung halamanku tercinta bertambah usianya satu. Ya, diulang berapa kali pun tetap sama saja, selamanya kampung halamanku ini memang indahnya sungguh luar biasa. Tak ayal dia disebut The Hidden Paradise of Java. Bagaimana tidak, beragam obyek wisata seolah menjamur dan mulai menampakkan wujudnya.
Siapa yang tidak kenal dengan curug-curugnya yang indah, gunung api purba yang megah, belum lagi dengan embung-embung yang memukau, tak pelak lagi, sudah berapa puluh pantai yang memanjakan setiap wisatawan yang berkunjung ke kabupaten Gunungkidul?
Namun belum lagi rasa bahagia itu muncul, kabar tak sedap yang berhembus sejak beberapa hari yang lalu kini terkuak kembali. Apakabar hai kalian yang mencoba berinvestasi di tanah kami?
Dengarlah debur ombak yang menantangmu untuk tidak mengambil langkah terlalu berani. lihatlah pasir putih yang terhampar, seolah membukakan mata kalian bahwa keindahan ini seharusnya tetap putih tanpa ternoda. Dan semua tiba-tiba menjadi pias oleh kabar penggusuran warga.
Well, mungkin tidak ada yang mau dibilang menggusur. Intinya tetap memaksa untuk pergi kan ya?
Berapa tahun sih aku pernah menyambangi salah satu pantai dan membicarakan masa depan pantai tersebut. Pembangunan. Kata mereka itu adalah pembangunan untuk memberikan kenyamanan pengunjung yang tengah bercengkerama dengan alam.
Helloooo... kemana kamu selama ini? Alam tak pernah memintamu untuk datang, apabila kamu merasa terpanggil, cobalah untuk sekedar berkata, "terimakasih, tidak akan ku usik keindahanmu ini,"
Ah, mungkin memang bukan kalian para wisatawan yang terhormat, namun mereka yang mencoba menghitung koin-koin sebanyak pasir dipantai itu untuk masuk kedalam kantung mereka yang tak pernah penuh itu.
Jika masih peduli, yuk singsingkan lengan kalian, entah kamu, kamu yang merasa salah satu dari bagian kami, bagian kabupaten tercinta ini, bagian dari yang peduli pada alaminya alam, saatnya perjuangkan hak warga untuk tetap tinggal di sekitaran pantai Watu Kodok.
Apalagi tepat di moment bahagia ini, semoga Gunungkidul selalu Handayani.
Rabu, 20 Mei 2015
Sleman (Memang) El39an
Hari ini adalah hari bahagia sleman fans di seluruh penjuru
dunia. Bukan hanya dari kalangan suporter saja, nyatanya dari pihak pemain dan
yang lainnya pun turut menyambut hari ini dengan penuh bahagia.
Seolah memang sudah direncanakan jauh-jauh hari, perayaan
yang sekedar ucapan melalui timeline sosial media pun membludak. Membuncahkan perasaan
kami semua. Namun, ada hal lain yang direncanakan tak berjalan semestinya.
Perhelatan laga persahabatan sebagai bentuk perayaan hari
lahir PSS Sleman yang kini berusia 39 harus dibatalkan karena dari pihak lawan
mengaku tidak mengagendakan laga dengan PSS Sleman. Entah ada rasa kecewa atau
tidak dari kami, namun tetap saja selalu ada harapan yang tersisa ketika semua
berjalan tak sesuai kenyataan.
Mereka, yang pernah berjuang bersama namun harus tersingkir
karena sebuah cela, nyatanya masih begitu dinanti oleh kami semua. Ya, kangen,
perasaan yang selalu hadir jika mendengar nama mereka menggaung dalam benak
kami.
Dan kini, ketika memang sudah waktunya PSS Sleman terbang
tinggi, harus sejenak melemah bersama dunia sepakbola tanah air yang seolah
menggeliatpun enggan. Di puncak tempat kami berdiri, jauh memandang luas dimana
semua memang tengah berjuang dalam denyut yang diam, boleh jadi ini bentuk
refleksi untuk menjadi yang terbaik di musim berikutnya.
Segenap doa kami haturkan untuk masa depan sang pahlawan,
sang kebanggaan.
Saatnya Terbang Tinggi PSS Sleman, Kami bersamamu.
Minggu, 10 Mei 2015
(Bukan) Akhir dari Kisah Ini
Tak ada yang mengerti seperti apa akhir dari sebuah kisah. Sama seperti yang terjadi kemarin sore ketika PSS berlaga. Tidak ada yang mengetahui akhir pertandingan seperti apa dan tidak ada yang mengerti bahwa laga itu adalah yang terakhir sebelum dibubarkan.
Yang ku tahu bahwa, aku yang sepagi sampai siang menembus jalan menuju Kulon Progo demi menghadiri upacara pernikahan sahabatku, harus sesegera mungkin berangkat ke Stadion Maguwoharjo.
Jam menunjukkan pukul 3 sore ketika aku dan mbak Yanti berhasil sampai ke rumah Ayah. Dan segera berangkat dari sana menuju stadion. Kali ini, aku membawa motor sendiri, tidak seperti dulu yang harus antar-jemput.
Ada beberapa pasang mata yang menatap aneh padaku dan mbak Yanti. Ya mungkin karena kostum kami yang lain daripada yang lain. Mau tidak mau aku masih mengenakan kostum kondangan dan hanya menambahkan kaos Sud Montagna serta syal BCS saja.
Sampai di stadion, tepat sebelum laga dimulai. Entahlah, kali ini memang lain rasanya. Mungkin karena posisi kami yang sedikit bergeser ke tengah dan tidak lagi di sisi barat tribun. Semua lantang bernyanyi mengumandangkan lagu “Sampai Kau Bisa”.
Laga dimulai, baru beberapa menit saja sudah gawang kami sudah kebobolan. Rasanya sakit sekali. Suara kami makin menggelegar hingga akhirnya menyamakan kedudukan. Hal yang paling bikin aku jengkel di stadion hanyalah asap rokok dan entah asap-asap apa lagi yang muncul ketika semua sedang sibuk nge-chant. Sesak nafas jadinya dan tidak bisa ikut bernyanyi.
Ketika kami diminta untuk memutar badan menghadap belakang tanpa melihat pertandingan, satu gol kembali ditelan gawang kami. Pahit sekali rasanya. Permainan pun terasa semakin panas dan cenderung kasar.
Hingga detik-detik akhir, akhirnya gol kembali dilesakkan oleh salah satu punggawa Sleman. Riuh kembali berdengung, semua bersorak gembira, tidak ada kata kalah untuk sore ini. Sampai akhirnya ketika laga selesai, dan kali ini di akhir laga ketika para punggawa berbaris menyapa kami, kami menyambutnya dengan lagu “Sampai Kau Bisa”.
Terharu. “Rasanya seperti dinyanyikan lagu romantis sama pacar ya mbak?” bisikku pada mbak Yanti. Ketika lagu tersebut selesai, pemain mulai beranjak meninggalkan stadion, kami melepasnya dengan lagu “Padamu Sleman”. Taji kembali menghadap tribun selatan, merangkul Dicky, dan Batak turut bergabung disusul Rasmoyo.
Perasaanku melihat mereka berempat susah diungkapkan dengan kata-kata. Ingin menangis rasanya. Rasa tulus dan setia mereka pada PSS Sleman begitu lekat dan terasa utuh. Begitu lagu selesai. Tak berapa lama sisi barat tribun selatan kembali berteriak, menyerukan satu nama yang sudah lama kami rindukan. “Hey Monieaga, Monie Monieaga,” seruan itu berkumandang saling bersahutan.
Letupan rasa bahagia kami sore itu, dibayar dengan keputusan pembubaran oleh manajemen. Dan, rasanya itu seperti belum jadian tapi sudah jadi mantan. Dan harus ku akui, kisah cintaku sama seperti itu akhirnya. Namun, bedanya aku sudah tahu bahwa akan seperti ini akhirnya.
Entahlah, pada dasarnya tidak ada yang mengerti semua akan berakhir seperti apa. Di hati ini tetap satu nama, PSS Sleman.
Langganan:
Postingan (Atom)