Laman

Minggu, 10 Mei 2015

(Bukan) Akhir dari Kisah Ini



Tak ada yang mengerti seperti apa akhir dari sebuah kisah. Sama seperti yang terjadi kemarin sore ketika PSS berlaga. Tidak ada yang mengetahui akhir pertandingan seperti apa dan tidak ada yang mengerti bahwa laga itu adalah yang terakhir sebelum dibubarkan.

Yang ku tahu bahwa, aku yang sepagi sampai siang menembus jalan menuju Kulon Progo demi menghadiri upacara pernikahan sahabatku, harus sesegera mungkin berangkat ke Stadion Maguwoharjo. 
Jam menunjukkan pukul 3 sore ketika aku dan mbak Yanti berhasil sampai ke rumah Ayah. Dan segera berangkat dari sana menuju stadion. Kali ini, aku membawa motor sendiri, tidak seperti dulu yang harus antar-jemput.

Ada beberapa pasang mata yang menatap aneh padaku dan mbak Yanti. Ya mungkin karena kostum kami yang lain daripada yang lain. Mau tidak mau aku masih mengenakan kostum kondangan dan hanya menambahkan kaos Sud Montagna serta syal BCS saja. 

Sampai di stadion, tepat sebelum laga dimulai. Entahlah, kali ini memang lain rasanya. Mungkin karena posisi kami yang sedikit bergeser ke tengah dan tidak lagi di sisi barat tribun. Semua lantang bernyanyi mengumandangkan lagu “Sampai Kau Bisa”.

Laga dimulai, baru beberapa menit saja sudah gawang kami sudah kebobolan. Rasanya sakit sekali. Suara kami makin menggelegar hingga akhirnya menyamakan kedudukan. Hal yang paling bikin aku jengkel di stadion hanyalah asap rokok dan entah asap-asap apa lagi yang muncul ketika semua sedang sibuk nge-chant. Sesak nafas jadinya dan tidak bisa ikut bernyanyi.

Ketika kami diminta untuk memutar badan menghadap belakang tanpa melihat pertandingan, satu gol kembali ditelan gawang kami. Pahit sekali rasanya. Permainan pun terasa semakin panas dan cenderung kasar.

Hingga detik-detik akhir, akhirnya gol kembali dilesakkan oleh salah satu punggawa Sleman. Riuh kembali berdengung, semua bersorak gembira, tidak ada kata kalah untuk sore ini. Sampai akhirnya ketika laga selesai, dan kali ini di akhir laga ketika para punggawa berbaris menyapa kami, kami menyambutnya dengan lagu “Sampai Kau Bisa”.

Terharu. “Rasanya seperti dinyanyikan lagu romantis sama pacar ya mbak?” bisikku pada mbak Yanti. Ketika lagu tersebut selesai, pemain mulai beranjak meninggalkan stadion, kami melepasnya dengan lagu “Padamu Sleman”. Taji kembali menghadap tribun selatan, merangkul Dicky, dan Batak turut bergabung disusul Rasmoyo.

Perasaanku melihat mereka berempat susah diungkapkan dengan kata-kata. Ingin menangis rasanya. Rasa tulus dan setia mereka pada PSS Sleman begitu lekat dan terasa utuh. Begitu lagu selesai. Tak berapa lama sisi barat tribun selatan kembali berteriak, menyerukan satu nama yang sudah lama kami rindukan. “Hey Monieaga, Monie Monieaga,” seruan itu berkumandang saling bersahutan.

Letupan rasa bahagia kami sore itu, dibayar dengan keputusan pembubaran oleh manajemen. Dan, rasanya itu seperti belum jadian tapi sudah jadi mantan. Dan harus ku akui, kisah cintaku sama seperti itu akhirnya. Namun, bedanya aku sudah tahu bahwa akan seperti ini akhirnya.

Entahlah, pada dasarnya tidak ada yang mengerti semua akan berakhir seperti apa.  Di hati ini tetap satu nama, PSS Sleman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar