Laman

Sabtu, 27 Juli 2013

Uang Baru dan Pencitraan




Menjelang hari raya Idul Fitri di sepanjang jalan raya yang padat dilalui kendaraan dapat kita lihat beberapa orang tengah berdiri, menjajakan sejumlah uang. Istilah yang dipakai adalah jasa penukaran uang.


Tapi yang terjadi bukanlah penukaran secara cuma-cuma, tapi melewati sebuah transaksi, dimana uang tersebut menjadi sebuah komoditi dagang yang bernilai jual. Hari gini mana ada yang gratis?
Yang sebenarnya kita lihat secara kasat mata adalah penukaran uang dengan penambahan komisi pada para penjaja. Tapi sebenarnya yang terjadi adalah, pembelian rupa uang. Menukarkan uang lama yang kusut, lusuh dan kumal dengan uang baru yang masih rapi, cerah dan menarik. Tak ubahnya seperti membeli kue, dimana rasa bukanlah nilai utama, tapi topping atau hiasannya lah yang menjadi penentu harga. Meski rasanya sama, tapi dengan penampilan menarik, maka akan berbeda harga yang diberlakukan.
Dan inilah yang terjadi di Indonesia, dan mungkin hanya terjadi di Indonesia adanya jual-beli uang. Untuk apa sebenarnya uang baru tersebut? Tak lain tak bukan untuk dibagikan pada sanak famili. Alasannya adalah anak-anak kecil akan sangat senang menerima uang yang masih baru dibandingkan dengan uang yang lama meski nilai uang tersebut sama atau bahkan lebih besar. Dimulai dari situlah anak-anak sebenarnya diajari pentingnya pencitraan. Dimana nilai diri tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana menampilkan diri agar terlihat mempunyai nilai di hadapan khalayak ramai. Dengan istilah lain, kita mengajari mereka menjadi seorang penjilat. Entah itu terjadi atau tidak, tapi yang kita lihat sekarang ini adalah seperti itu adanya. Pencitraan adalah harga mutlak bagi setiap orang yang ingin terkenal tanpa mengindahkan kepribadian yang baik.
Seharusnya mulai sekarang masyarakat paham bahwa seperti apapun rupa yang ada, yang terpenting adalah nilai internal. Nilai yang ada didalam. Nilai yang murni. Bukan nilai palsu yang disodorkan dengan penampilan yang harus di-permak terlebih dahulu. Tidak baik memaksakan diri terlihat baik jika sebenarnya belum baik. Lebih baik memperbaiki diri agar menjadi lebih baik, dengan begitu semua orang akan menerima dengan baik keberadaan kita.
Mulai berfikir bahwa kualitas itu lebih penting daripada kuantitas.

2 komentar:

  1. Pertamax,,^,^
    tapi apa boleh buat nek waktu wes mepet, masihkan berpikir kualitas? Nah lo. hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya itulah resiko hidup dari penilaian masyarakat.... susah menjadi diri sendiri yg apa adanya.... :D

      Hapus