"deras air yang mengalir
membawa seluruh perasaan
manis, pahit, getir
larut dan menghilang tanpa tujuan..."
Susur sungai bawah tanah. Ah, kemarin temanku baru saja
berbagi cerita seusai dari mengarungi arus sungai di goa cerme. Hal seperti itu
mengingatkanku pada kegalauan pertengahan tahun kemarin.
Waktu itu selepas masa KKN. Kegalauan sewaktu KKN selama
satu setengah bulan itu akhirnya berujung. Berujung tragis. Tak ada kabar
selama satu setengah bulan sudah membuatku menggila, kemudian ketidak
peduliannya padaku semakin membuatku tak menentu.
“Cari bahagiamu,”
Aku tak tahu, hanya dengan satu kalimat itu ternyata
hubungan yang terjalin selama hampir dua tahun itu akhirnya kandas. Aku tak
memahami maknanya. Aku takut salah menafsirkan, aku takut salah paham, akhirnya
hanya galau yang bisa ku pendam.
Hari itu, kebetulan bersama teman-teman padepokan tengah
berkunjung ke rumah yang kami tempati selama KKN. Aku mengajak Mimin, salah
satu temanku untuk menemaniku ke acara pernikahan temanku di forum. Disana aku
bertemu dia. Tak ada kata sapa, hanya senyum dan tatapan mata dingin yang
berlalu. Saat itu hatiku ambigu, hampir saja aku menangis. Kalau saja aku tidak
ingat bahwa aku ada di acara pernikahan, sudah pasti aku akan menangis
sejadi-jadinya disana.
Sepulang dari sana, aku dan temanku menyusul teman-teman
yang lain yang sudah berkumpul di goa seroban. Kebetulan pak Didik (pemilik
rumah tempat kami tinggal selama KKN) sedang mengurus proyek disana, pak Didik juga
mengijinkan kami untuk turut serta masuk untuk melihat keindahan sungai bawah
tanah.
Perasaanku yang masih kalut dan campur aduk itu kucoba
redakan sebentar. Berharap sungai bawah tanah itu bisa menghiburku barang
sejenak. Tapi, aku lupa satu hal, teman-temanku berpasang-pasangan itu, dan aku
sendiri. Oke, aku sudah biasa sendiri. Hanya saja ini sungai, berarus deras,
dan aku tidak bisa berenang. Tamat sudah, itu yang kufikirkan.
Jalan masuk yang begitu gelap dan dingin, dinding batu
seluruhnya. Suara gemuruh air mulai terdengar. Ah, rupanya kami harus melewati
arus deras yang mengguyur sebuah jalan yang sedikit miring. Hanya ada tali
tambang yang menjadi penuntun kami keseberang. Aku terpaku, seandainya aku tak
kuat melawan arus deras itu, kemudian genggamanku pada tali tambang itu
terlepas, seandainya, ah, cukup sudah seandainya itu, aku berhasil
mengarunginya dengan selamat.
Dan kami harus turun, masuk ke dalam sungai yang tingginya
hampir sedada. Masih bergelayut pada tali tambang yang membentang hingga ke
ujung, kami terus menyusuri sungai itu. Ada rasa iri membayangi. Rumi dijaga
Choy, Ariya dijaga Mimin, Putri di jaga Ricky. Kemudian aku. Sendiri. Ah, aku
sudah biasa sendiri. Aku kuat. Mentalku juga lelaki. Tak ada yang perlu
ditakuti. Hanya sesekali aku memandang ngeri pada arus yang terasa deras
membawa badan ini. Aku tak peduli.
Kami berhasil sampai ke ujung, sampai ke bebatuan yang
menampilkan air terjun bawah tanah. Para pekerja sibuk memindahkan batu,
memukul batu dan memasang pompa air. Aku memandangi air terjun itu, ah rasanya
sungguh indah. Berhasil ku lupakan galau yang baru saja memporak-porandakan
hatiku beberapa jam yang lalu.
“Jangan berfikir untuk bunuh diri lho mbak,” celetuk Mimin
padaku.
Ah, baru saja aku berhasil melupakan itu, lekas saja
diingatkan olehnya. Sudahlah, aku sudah tak mau peduli. Rasa sesak di dada
bukan karena sakit hati yang ku alami, tapi oksigen yang ada sudah mulai
menipis. Kami dipaksa kembali untuk naik meski dalam hati masih merasa enggan
karena keindahannya terlalu sayang untuk ditinggalkan.
Perjalanan pulang terasa lebih berat, karena kami harus
melawan arus sungai yang deras, selain itu kami juga harus berebut
menghirup oksigen. Entah sudah berapa
kali kami mencelupkan wajah kami ke air untuk sekedar mencuri oksigen yang
masih bisa kami rasa. Sampai di tengah perjalanan, terdengar suara pak Didik
menggema, lorong batu menuju pintu keluar itu masih panjang.
“Kalian ini bikin khawatir saja, saya suruh cuma sebentar
turunnya, sampai hampir 2 jam kok nggak naik-naik,” ucap beliau dengan gusar
sekaligus khawatir. Nampak raut wajahnya begitu cemas sekaligus lega ketika
bertemu dengan kami di lorong batu itu. Kami sama-sama naik dengan hati-hati.
Udara bebas akhirnya kami hirup bersama. Leganya. Selepas dari
goa seroban, kami menuju lokasi selanjutnya yang tak jauh dari situ. Saat itu
galauku semakin menjadi saja, sms yang ku kirim dan panggilanku pan tak ada
balasan. Mobil berhenti. Aku pura-pura tidur untuk membiarkan mereka
meninggalkanku sendiri di dalam mobil.
Ketika yang lain sudah turun dan pergi, aku kembali sibuk
mengirimkan pesan singkat sekaligus beberapa kali menelfonnya. Hasilnya nihil. Akhirnya
airmataku banjir seketika. Perasaan yang sudah kupendam lama itu sontak keluar
dengan derasnya. Sakit hati, kecewa, benci semua berkumpul menjadi satu. Ingin rasanya
marah. Tapi pada siapa. Makianku sudah berulangkali ku keluarkan dalam bentuk
status di salah satu jejaring sosial sebagai bentuk kemarahanku. Mencoba mencari
cara untuk membuat hati ini nyaman. Tapi yang ada semakin bertubi-tubi kecewa
itu datang karena tak ada tanggapan. Hanya sebuah status no mention yang
membuatku semakin ingin mengamuk saja.
“Maaf untuk yang sudah dongkol hari ini,”
Ingin rasanya aku banting handphoneku, kalau saja tak ingat
itu handphone pemberian kakakku tersayang. Aku hanya bisa menangis dan terus
menangis. Meluapkan gundah itu sendiri selagi masih ada waktu yang tersisa
sebelum teman-temanku kembali ke mobil.
Usai dari sana, kelegaan itu semakin kurasakan. Airmata itu
sudah membawa pergi semua perasaanku. Ah, harusnya dari dulu aku sadari, bahwa
cinta ini memang tak harus ku jalani. Tak ada kisah cinta dimana aku pemeran
utamanya. Dan aku hanya mampu menikmati, selembar kisah usang yang harus ku
buang.
Dan setiap kali ada cerita menarik tentang goa yang mengalir
sungai bawah tanah didalamnya, aku hanya mampu tersenyum, menertawakan kisah
itu. Meski begitu, aku tak pernah membenci siapapun, membenci apapun. Terkadang
aku justru berfikir bahwa aku harus berterima kasih kepada mereka, memberikanku
kesempatan untuk menulis sebuah kisah yang kuanggap sempurna, menguatkanku
dengan menyakitiku terlebih dahulu. Dan itu yang selalu ku ucapkan kepada
mereka.
“Ku harap kita masih bisa berteman,”