Laman

Sabtu, 11 Januari 2014

Terbiasa Sendiri



"Jangan, jangan begitu
Nanti aku akan terbiasa
Terbiasa sendiri
tanpamu..."



Bukan aku meragukanmu, bukan, hanya saja, semua kisah lalu yang terlewati sama saja nampaknya. Mereka menitipkan hatinya padaku, tapi aku lupa, yang mereka titipkan hanya sekeping saja, kepingan yang lain mereka bawa pergi, dan entah mereka bagi pada siapa di luar sana. Sementara aku hanya terpaku, diam membisu, membatu, menunggu. Menggenggam sekeping hati yang kupercaya sebagai jaminan setiaku.

Bukan aku meragukanmu, bukan, hanya saja aku sudah terbiasa mengecap rasa pahit pengkhianatan, mencicipi getirnya sebuah kepergian tanpa alasan. Bah! Sampai sekarang pun aku masih percaya kata cinta. Padahal dulu, sempat kubuang jauh-jauh perasaan itu. Tapi terus saja melenting kembali dengan begitu sempurna. Ah, siapa yang peduli. Luka ini aku yang rasa sendiri. Kan?

Bukan aku meragukanmu, bukan, hanya saja aku lama sendirian. Seberapapun jarak yang membentang, tak pernah mengurangi rasa itu. Rasa dingin yang melingkupi jagatku seorang. Eh, kau juga merasakan? Mungkin kita sehati? Jodoh kali? Aku tersenyum dalam hati.

Aku menggenggam sekeping hatimu, jaminan atas setiaku. Kau tahu, tak pernah terlintas dalam benakku untuk menduakanmu, mengkhianatimu bahkan bermain-main tanpa sepengetahuanmu. Kau boleh gunakan kepingan hatimu yang ku genggam ini untuk membunuhku. Apa kau percaya?

Aku menggenggam sekeping hatimu, jaminan atas setiaku. Berdiri disini sendiri pun aku tak peduli. Aku tahu, dalam bayangmu pun kamu memeluk ragaku dengan begitu eratnya, membagi kehangatan untuk melepas dinginnya rasa kesepian. Ah, aku sendiri benci kata rindu, terlalu sakit untuk merasakannya, dan tak pernah ku temui penawarnya hingga saat ini. Sudah berulang kali aku teracuni rindu itu sedemikian parahnya, kemudian yang memiliki penawar sudah melarikan diri, menabur racun rindu pada yang lain. Ah, kau pasti tahu apa gunanya kepingan hati yang mereka titipkan. Ya, aku bunuh diriku, aku bunuh perasaanku dengan kepingan hati itu. Jadi kau tak perlu khawatir, tak perlu menanyakan lagi, apakah dihati ini masih ada perasaan pada yang lalu ataupun yang lain. Nama mereka tinggal ukiran di nisan hatiku. Kau senang?

Aku suka perhatianmu, aku suka caramu memanjakanku. Ah, andai kau tahu awalnya aku ragu. Awalnya aku harus meraba dulu kemana arah tujuanmu, baru aku sedia mendampingimu. Andai kau tahu itu. Bukan, bukan aku meragukanmu. Aku meragukan diriku sendiri. Aku meragukan takdirku. Masihkah seperti dulu, atau akan memiliki kisah yang lain bersamamu? Tapi sekarang aku tak begitu peduli, yang aku tahu kau katakan kau cinta aku, dan aku pun cinta kau.

Bolehkah aku bertanya padamu yang diam disana, apakah kau genggam kepingan hatiku juga, jaminan atas setiamu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar