Laman

Kamis, 30 Januari 2014

Sepenggal Kisah Sungai Bawah Tanah



"deras air yang mengalir
membawa seluruh perasaan
manis, pahit, getir
larut dan menghilang tanpa tujuan..."


Susur sungai bawah tanah. Ah, kemarin temanku baru saja berbagi cerita seusai dari mengarungi arus sungai di goa cerme. Hal seperti itu mengingatkanku pada kegalauan pertengahan tahun kemarin.

Waktu itu selepas masa KKN. Kegalauan sewaktu KKN selama satu setengah bulan itu akhirnya berujung. Berujung tragis. Tak ada kabar selama satu setengah bulan sudah membuatku menggila, kemudian ketidak peduliannya padaku semakin membuatku tak menentu.

“Cari bahagiamu,”

Aku tak tahu, hanya dengan satu kalimat itu ternyata hubungan yang terjalin selama hampir dua tahun itu akhirnya kandas. Aku tak memahami maknanya. Aku takut salah menafsirkan, aku takut salah paham, akhirnya hanya galau yang bisa ku pendam.

Hari itu, kebetulan bersama teman-teman padepokan tengah berkunjung ke rumah yang kami tempati selama KKN. Aku mengajak Mimin, salah satu temanku untuk menemaniku ke acara pernikahan temanku di forum. Disana aku bertemu dia. Tak ada kata sapa, hanya senyum dan tatapan mata dingin yang berlalu. Saat itu hatiku ambigu, hampir saja aku menangis. Kalau saja aku tidak ingat bahwa aku ada di acara pernikahan, sudah pasti aku akan menangis sejadi-jadinya disana.

Sepulang dari sana, aku dan temanku menyusul teman-teman yang lain yang sudah berkumpul di goa seroban. Kebetulan pak Didik (pemilik rumah tempat kami tinggal selama KKN) sedang mengurus proyek disana, pak Didik juga mengijinkan kami untuk turut serta masuk untuk melihat keindahan sungai bawah tanah.

Perasaanku yang masih kalut dan campur aduk itu kucoba redakan sebentar. Berharap sungai bawah tanah itu bisa menghiburku barang sejenak. Tapi, aku lupa satu hal, teman-temanku berpasang-pasangan itu, dan aku sendiri. Oke, aku sudah biasa sendiri. Hanya saja ini sungai, berarus deras, dan aku tidak bisa berenang. Tamat sudah, itu yang kufikirkan.

Jalan masuk yang begitu gelap dan dingin, dinding batu seluruhnya. Suara gemuruh air mulai terdengar. Ah, rupanya kami harus melewati arus deras yang mengguyur sebuah jalan yang sedikit miring. Hanya ada tali tambang yang menjadi penuntun kami keseberang. Aku terpaku, seandainya aku tak kuat melawan arus deras itu, kemudian genggamanku pada tali tambang itu terlepas, seandainya, ah, cukup sudah seandainya itu, aku berhasil mengarunginya dengan selamat.

Dan kami harus turun, masuk ke dalam sungai yang tingginya hampir sedada. Masih bergelayut pada tali tambang yang membentang hingga ke ujung, kami terus menyusuri sungai itu. Ada rasa iri membayangi. Rumi dijaga Choy, Ariya dijaga Mimin, Putri di jaga Ricky. Kemudian aku. Sendiri. Ah, aku sudah biasa sendiri. Aku kuat. Mentalku juga lelaki. Tak ada yang perlu ditakuti. Hanya sesekali aku memandang ngeri pada arus yang terasa deras membawa badan ini. Aku tak peduli.

Kami berhasil sampai ke ujung, sampai ke bebatuan yang menampilkan air terjun bawah tanah. Para pekerja sibuk memindahkan batu, memukul batu dan memasang pompa air. Aku memandangi air terjun itu, ah rasanya sungguh indah. Berhasil ku lupakan galau yang baru saja memporak-porandakan hatiku beberapa jam yang lalu.

“Jangan berfikir untuk bunuh diri lho mbak,” celetuk Mimin padaku.

Ah, baru saja aku berhasil melupakan itu, lekas saja diingatkan olehnya. Sudahlah, aku sudah tak mau peduli. Rasa sesak di dada bukan karena sakit hati yang ku alami, tapi oksigen yang ada sudah mulai menipis. Kami dipaksa kembali untuk naik meski dalam hati masih merasa enggan karena keindahannya terlalu sayang untuk ditinggalkan.

Perjalanan pulang terasa lebih berat, karena kami harus melawan arus sungai yang deras, selain itu kami juga harus berebut menghirup  oksigen. Entah sudah berapa kali kami mencelupkan wajah kami ke air untuk sekedar mencuri oksigen yang masih bisa kami rasa. Sampai di tengah perjalanan, terdengar suara pak Didik menggema, lorong batu menuju pintu keluar itu masih panjang.

“Kalian ini bikin khawatir saja, saya suruh cuma sebentar turunnya, sampai hampir 2 jam kok nggak naik-naik,” ucap beliau dengan gusar sekaligus khawatir. Nampak raut wajahnya begitu cemas sekaligus lega ketika bertemu dengan kami di lorong batu itu. Kami sama-sama naik dengan hati-hati.

Udara bebas akhirnya kami hirup bersama. Leganya. Selepas dari goa seroban, kami menuju lokasi selanjutnya yang tak jauh dari situ. Saat itu galauku semakin menjadi saja, sms yang ku kirim dan panggilanku pan tak ada balasan. Mobil berhenti. Aku pura-pura tidur untuk membiarkan mereka meninggalkanku sendiri di dalam mobil.

Ketika yang lain sudah turun dan pergi, aku kembali sibuk mengirimkan pesan singkat sekaligus beberapa kali menelfonnya. Hasilnya nihil. Akhirnya airmataku banjir seketika. Perasaan yang sudah kupendam lama itu sontak keluar dengan derasnya. Sakit hati, kecewa, benci semua berkumpul menjadi satu. Ingin rasanya marah. Tapi pada siapa. Makianku sudah berulangkali ku keluarkan dalam bentuk status di salah satu jejaring sosial sebagai bentuk kemarahanku. Mencoba mencari cara untuk membuat hati ini nyaman. Tapi yang ada semakin bertubi-tubi kecewa itu datang karena tak ada tanggapan. Hanya sebuah status no mention yang membuatku semakin ingin mengamuk saja.

“Maaf untuk yang sudah dongkol hari ini,”

Ingin rasanya aku banting handphoneku, kalau saja tak ingat itu handphone pemberian kakakku tersayang. Aku hanya bisa menangis dan terus menangis. Meluapkan gundah itu sendiri selagi masih ada waktu yang tersisa sebelum teman-temanku kembali ke mobil.

Usai dari sana, kelegaan itu semakin kurasakan. Airmata itu sudah membawa pergi semua perasaanku. Ah, harusnya dari dulu aku sadari, bahwa cinta ini memang tak harus ku jalani. Tak ada kisah cinta dimana aku pemeran utamanya. Dan aku hanya mampu menikmati, selembar kisah usang yang harus ku buang.

Dan setiap kali ada cerita menarik tentang goa yang mengalir sungai bawah tanah didalamnya, aku hanya mampu tersenyum, menertawakan kisah itu. Meski begitu, aku tak pernah membenci siapapun, membenci apapun. Terkadang aku justru berfikir bahwa aku harus berterima kasih kepada mereka, memberikanku kesempatan untuk menulis sebuah kisah yang kuanggap sempurna, menguatkanku dengan menyakitiku terlebih dahulu. Dan itu yang selalu ku ucapkan kepada mereka.

“Ku harap kita masih bisa berteman,”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar