Mungkin aku nggak boleh nulis kata seindah bulan
Mungkin aku nggak boleh bicara sepuitis pujangga
Mungkin aku hanya boleh diam bagai patung tak bernyawa
Mungkin tak boleh ku ungkap rasa cintaku
Mungkintak bisa kukatakan bahwa kau yang kucinta
Mungkin aku harus terdiam
Dan hanya boleh memendam satu perasaan luar biasa
Yang seharusnya dari dulu kukatakan padamu
Sebelum dirinya hadir dihatimu
Tapi kini yang ada kata terlambat
Yang ada hanya rasa penyesalan
Dan membekas dihatiku yang telah berkarat ini
Telah sekian lama aku coba selalu menerima
Sekian waktu kucoba untuk tegar
Tapi kenapa?
Kenapa bahagia yang aku inginkan
Tak pernah hadir dalam hidupku?
Aku sudah puas disakiti,
Aku sudah jemu dikhianati,
Aku sudah bosan patah hati
Dan aku sudah letih lam menanti
Menanti cinta suci tertulus dari hati yang terdalam
Mungkin harus kuakhiri penantianku yang sia-sia ini
Mungkin harus kuhapus rasa yang telah lama mengakar dihatiku ini
Aku harus coba melupakan semua rasa pahit dijiwa
Yang merenggut bahagia dihatiku
Biarlah semua berlalu bersama waktu yang terus bergulir
Biarlah kuukir lagi cinta yang lebih indah
Rindu yang lebih hebat
Dan akan ku beritahu dunia
Bahwa aku takkan bersedih karena patah hati
Dan takkan terluka karena cinta
Senin, 21 Desember 2009
Kan Ku Ukir Satu Cinta Lagi
Senin, 14 Desember 2009
Secret Admirer
Mungkin menjadi seorang pemuja rahasia
Adalah satu hal yang menyakitkan
Tak bisa berbuat apa-apa di saat sang pujaan
Bergandengan tangan dengan kekasihnya
Itu malah menjadi sebuah beban
Daripada menjadi bintang malam
Yang memancarkan berjuta cinta
Di kesuraman hidup sang malam
Yang hanya menjadi pecundang
Saat sang bulan
Sedang mencurahkan kasih sayangnya
Di gelapnya hidup malam
Kamis, 10 Desember 2009
Tetap Sahabat
Persahabatan itu memang harus selalu di uji. Sahabat sejati tak akan pernah goyah meninggalkan pergi. Meskipun ada maslaah sebesar gunungdan seluas samudra. Karena sahabat selalu ada disisi kita saat suka maupun duka.
itu pulalah yang terjadi saat ini antara aku dan Rara. Persahabatan kami yang sudah digembleng berbagai ujian, sudah setegar karang dan sekuat baja, tak membuat ujian berhenti untuk mencoba kekuatan persahabatan kami.
Aku yang dulu sempat “nggak bener” mulai belajar merubah kelakuanku dan Rara yang sudah akrab dengan panggilan “player” mulai introspeksi diri. Kami mulai bersahabat karena situasi saat itu yang memang benar-benar nggak beres.
Dan tentu saja, ujian persahabatan yang paling ampuh adalah cowok. Dan terbukti pula, banyak dari mereka yang tak sadar kalau sahabatnya “ada main” dengan pacarnya (sabar bu’).
Dan itu pulalah yang sering menghampiri aku dan Rara. Berbagai model ujian dari cowok, sudah sering kami hadapi. Tapi keadaannya berbeda sekarang.
Randy, senior di kampusku yang juga pacarnya Rara mulai sering mendekatiku. Tentu saja kalau bukan Randy, sudah aku tendang pantat cowok yang berani menghianati sahabatku agar dia jatuh berlutut, minta maaf pada kami berdua. Tapi, aku pernah naksir Randy. Itu yang beda. Di satu sisi, aku ingin menjadi ceweknya, tapi disisi lain aku juga tak mau menghianati sahabatku.
Dan saat-saat membingungkan itu kembali hadir sore ini, saat Rara sedang latihan teater. Aku sedang duduk di kafe berkonsep out door food court yang nyaman, tiba-tiba Randy juga ikut duduk di meja yang sama denganku,
”Hai Lin, gimana kabarnya?” sapa Randy basa-basi banget.
”Baik,” sahutku sambil mengaduk-aduk kopi susu yang baru saja kupesan.
”Nggak sibuk?” Tanya Randy santai, aku bingung, sungguh mati
“Nggak, kebetulan lagi senggang, kamu sendiri, nggak nemenin Rara latiha teater?” tanyaku mengalihkan perhatiannya, agar aku tidak tergoda dengan masa lalu.
“Bosen ah, lebih baik nongkrong disini bareng kamu,”
”Kenapa?” tanyaku tiba-tiba, lalu aku tersadar, harusnya aku nggak boleh nanya itu, itu berarti membuka peluangnya untuk merayuku.
Tapi dia hanya tersenyum. Uuuh, nyesel deh jadi diriku sndiri yang nggak bisa memiliki Randy (hayooo, yg pernah pnya perasaan kyak gini pasti setuju dong).
”Denger-denger kamu pernah naksir aku ya?” tanyanya langsung tanpa tedheng aling-aling. Tentu saja aku salah tingkah, baru kali ini ditanya langsung kayak gini, duuch, bingung…
”Sekarang masih suka sama aku nggak?” tanyanya tanpa sungkan-sungkan.
Ngelunjak juga. Lepas dari Rara sebentar sudah mau main api. Sekarang terserah aku, apakah aku akan jadi minyak yang bisa mengobarkan api permainan ini atau menjadi air yang langsung menghapus permainan api ini.
Belum sempat aku menjawab, HP Randy yang tergeletak di atas meja berbunyi, panggilan masuk, sempatku lirik yang memanggil adalah ayank ratih, Ratih siapa? Nama Rara itu asli Rara nggak pake embel-embel “tih” di belakangnya. Berarti Randy punya banyak cewek.
Randy sedikit menjauh saat menerima telefon, menambah rasa curigaku. Dan dengan santai aku beranjak pergi dengan langkah mantap, tanpa ragu sedikitpun.
Sialan kamu…!
Itu adalah pesan tersingkat dan singkat pula maknanya, dan aku tahu itu adalah Randy. Tapi, aku belum tahu alas an Randy mengirimkan pesan seperti itu padaku.
Sejam kemudian aku sudah ada di kantin bersama Rara, dan maksud tujuanku disini adalah ingin tahu apakah Rara dan Randy ada maslaah sehingga Randy mengirimkan pesan itu padanya, sebelum sempat aku konfirmasi, Rara sudah mulai cerita,
”Kemarin malam aku putus dengan Randy,” kata Rara santai, menyembunyikan sedikit perihnya.
”Karena aku?” tanyaku ingin tahu, Rara menggelengkan senyum.
”Bukan, tapi karena cewek lain. Aku tahu kamu nggak mungkin khianatin aku, karena kamu tahu
Maaf Ra, aku udah pernah punya niatan menghianati kamu. Maaf karena aku terlalu terlan oleh bayangan masa lalu. Maaf, aku yang khilaf dan buta mata, buta hati. Maafkan sahabatmu yang lupa denagn persahabatan kita.
Setidaknya, aku mendapat jalan yang terang, sehingga tidak tersessat dalam hinanya rimba hati.
Aku Cinta Kamu Apa Adanya
Airmata yang sejak kemarin berlinang, belum sempat dihapus, kini telah disambung dengan linangan airmata baru yang kian membanjir. Tak cukup hanya menggenang, tapi telah tumpah membasahi pipinya yang kian pucat.
Dia belum siap kehilangan Danar, terlalu manis kenangan yang mereka buat, terlalu singkat waktu yang dilewati bersama, terlalu perih sakit yang baru saja digoreskan. Baru saja dia mengusap airmatanya dengan selembar tisu terakhir, karena yang lainnya telah terserak dilantai. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan dering handphone-nya, satu pesan masuk.
Nita menyiagakan hatinya, bersiap dengan segala kemungkinan, dengan ragu dia membuka pesan itu. Ternyata dari Anang, kakak Danar.
Danar pengen bilang sesuatu sama kamu, cepetan ke rumah sakit…
Nita menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha mengusir semua firasat buruk yang mengganggu fikirannya. Paling tidak ia mengerti, kalau terjadi sesuatu yang sangat buruk, Anang pasti akan menelfonnya, bukan mengirimkan pesan. Dengan segera Nita menyambar jaket dan kunci sepeda motornya. Sepuluh menit berikutnya, Nita sudah ada di rumah sakit, dengan terburu-buru dia berlari masuk ke rumah sakit menuju kamar 308.
Danar masih tergolek lemah, perban yang penuh bercak darah menutupi lengan, kaki dan sebagian dari tubuhnya.
Danar yang sekarang berbeda dengan Danar yang dulu, yang lincah, katif, agresif, energik dan sedikit nakal. Tapi kini, Danar tergolek tak bedaya seperti ini karena sebuah kecelakaan.
Nita tak kuasa melihat keadaan yang seperti sekarang, tapi sedikit kesal dan kecewa kembali mengusiknya. Fakta bahwa Danar selingkuh, selingkuh dengan Tika, pacar Anang. Fakta yang menyakitkan hati Nita maupun Anang. Tangis sedih dan sakit hati pecah saat dia mulai duduk disamping ranjang Danar.
Kecelakaan terjadi di tikungan dekat kampus Tika, saat Danar mengendarai motornya keluar halaman kampus saat menjemput Tika tertabrak oleh truk yang melaju sangat kencang. Motor Danar terlempar jauh, sementara Danar terpental dan beruntung jatuh ke sawah yang letaknya tak jauh dari kampus. Tapi, Tika yang terlempar jauh dan kepalanya menghantam pohon, berdaah dan meninggal saat itu juga.
Nita yang mendengar kabar itu dari Anang jadi serba salah. Sedih dan sakit hati bercampur jadi satu. Tapi, demi melihat Anang yang terlihat tegar, meskipun Nita tahu dalam hati Anang tersimpan perih luka dikhianati. Nita berusaha menyimpan sakit hatinya.
Dan sekarang, dia menunggu, menunggu Danar berbicara, menunggu Danar mengatakan satu hal, menunggu Danar membuka bibirnya.
”Nit,” bisik Danar perlahan sambil meringis kesakitan. Nita mendekat, menatap dalam pada Danar.
”Maafin aku,” ucap Danar pelan, Nita hanya mampu mengangguk, berusaha menahan luapan airmatanya, ia sedikit terisak.
”Aku menyesal….menghianati…kamu…mas Anang…” kata Danar sambil menarik nafas perlahan. Nita menunggu, terus menunggu, sementara Anang yang berdiri di dekat pintu hanya bisa air mata yang mulai mengalir.
”Aku yang salah, aku yang ngancurin hubungan kita, karena kebodohanku…” belum selesai Danar berbicara, Nita menyentuh lembut bibir Danar, menghentikan gerak beradu bibir Danar karena Nita tak mau mendengar kelanjutan pengakuan itu.
”Aku cuma ingin kamu sembuh, kamu balik lagi seperti dulu, biar kita bisa menikmati semua dari awal lagi,” kata Nita yang masih terisak menatap tulus pada Danar, memberikan semangat hidup.
”Walaupun nantinya aku sembuh, aku pasti cacat dan kamu sudah nggak mau lagi sama aku,” kata Danar putus asa.
”Aku cinta kamu apa adanya,” kata Nita meyakinkan sambil tersenyum lembut, berusaha menyalurkan enersi kehidupan pada Danar lewat senyumnya.
Danar hanya tersenyum tipis yang disambut senyum manis Nita yang kini sedang mengusap airmatanya. Sementara Anang telah lenyap dari kamar itu, entah pergi kemana.
Di sebuah komplek pemakaman, nampak seorang pria bersimpuh didepan sebuah makam sambil menaburkan bunga. Sementara dibelakang pria tadi, seorang pria lain nampak duduk diam di atas kursi roda dengan wajah sedih penuh penyesalan dan seorang gadis berkerudung nampak setia berdiri disamping kursi roda pria itu.
Ya, Danar sudah sembuh, tapi sekarang hanya bisa duduk di kursi roda karena kakinya masih belum kuat untuk menahan berat badannya. Dan Nita masih setia dan menepati janjinya. Sementara Anang masih terus berziarah ke makam Tika sebulan sekali bersama Danar dan Nita.
Anang tahu ia tidak bisa menyalahkan kematian Tika, namun ia juga tidak mungkin menyalahkan adiknya. Ia sekarang hanya bisa belajar menerima kenyataan bahwa gadis yang dicintainya sudah pergi.
Sementara Dana, walaupun masih diliputi sejuta penyesalan dan rasa bersalah. Tapi, tak mengurangi rasa syukurnya bisa memiliki Nita. Andai saja waktu itu Nita tidak memberikan semangat hidup, mungkin ia sekarang sudah menyusul Tika, pergi meninggalkan dunia.
Nita mencintai dia apa adanya, itulah yang membuat gairah hidup Danar yang sempat meredup kembali menyala. Membuatnya berani menantang dunia meskipun hanya bisa duduk di kursi roda. Tapi Nita selalu ada disisinya. Memberikan senyum tulusnya, memberikan semangat untuknya dan mencintai dia apa adanya.
Sebuah Kepercayaan
“Cowok itu semuanya brengsek!!!”
Itulah statement penting yang perlu dicatat oleh semua cewek yang baru patah hati. Dan itu pula yang baru keluar dari bibir tipis Tina pagi ini di kantin. Aku yang sudah hafal dengan sifat Tina yang satu ini hanya nyengir sambil meneguk jus nanasku.
“Jangan pernah percaya sama cowok Nas, cowok itu kebanyakan cuma bisa nyakitin,” kata Tina tegas dengan semangat 45-nya yang menyala-nyala. Aku cuma tersenyum, kubiarkan Tina ngoceh nggak jelas tentang cowok, karena dengan begitu, luk Di hati Tina sedikit terobati.
Tapi, dua minggu setelah statement itu muncul, Tina sudah kembali aktif tebar pesona. Aku selalu heran dengan tingkah sahabatku yang satu ini. Kemarin-kemarin dia aktif ikut organisasi anti cowok, jadi ketua HMJ (Himpunan Mahasiswa Jomblo) dan aktif dalam perekrutan anggota STMJ (Semester Tujuh Masih Jomblo) yang baru. Tapi, sekarang yang kulihat saat ini, Tina sedang asik PDKT dengan seorang cowok yang menurutku lumayan keren di tempat parker.
“Ya ampun Nas, cowok tadi keren banget. Udah ganteng, pinter, gaul, supel, kaya, pokoknya perfect banget deh, dan tahu nggak? Dia bawa mobil” seru Tina girang, membuat konsentrasiku untuk menyelesaikan tugas, pecah berhamburan.
“Sopir maksud kamu?” tanyaku sedikit kesal pada Tina yang mulai menunjukan sifat materialitis ini (ngelihat cwo’ dari kendaraannya dulu, kalau mau ngeliat kendaraan ke dealer aja
“Ya bukan dong, asli milik dia,” sahut Tina sedikit memprotes,
“Jangan matre gitu dong Tin,” sergahku sebal,
“Ini bukan matre namanya, tapi tahu kebutuhan. Kalo ganteng tapi miskin, mikir dulu,” jawab Tina sambil mencibir.
Nah, mulai lagi anak ini. Dia tidak mau tahu dengan kondisi orang. Cinta itu (menurutku) tidak bisa diukur dengan harta. Cinta itu tulus, murni muncul dari hati. Kita mencintai orang tanpa syarat, dan memang harus seperti itu. Kalau mencintai hanya karena materi, itu bukan dinamakan cinta, cinta nggak bisa dinilai dengan uang, cinta nggak bisa disewa dan cinta nggak bisa dibeli dengan uang (teoriku).
Dan seminggu berlalu tanpa huru hara muncul dari Tina. Karena belakangan aku tahu, dia sudah jadian dengan cowok yang dia bilang perfect dulu itu. Aku hanya bisa menarik nafas sejenak sambil mengelus dada.
Di kantin masih sepi, aku mulai sibuk dengan makan siangku. Tiba-tiba ada seorang cowok yang duduk di bangku tepat didepanku, menghadap kearahku.
”Sendirian?” sapanya, aku hanya mengangguk.
”Galih,” katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya,
”Anastasia,” jawabku sambil menjabat tangannya.
”Kemana temanmu yang biasanya duduk disini bareng kamu?” tanyanya,
”Tina maksud kamu? Lagi asik pacaran di kampus,” kataku sambil menyuapkan sesendok nasi, berharap bisa menghapus rasa lapar yang sejak tadi bersarang diperutku.
”Pacaran? Beberapa minggu yang lalu aku dengar dia maki-maki cowok disini, kok sekarang kamu bilang dia pacaran? Memangnya dia pacaran dengan cowok atau cewek?” tanyanya heran, aku tersenyum geli. Pertanyaan yang aneh, seaneh orang yang dia tanyakan.
”Tentu saja dengan cowok, jangan salah, dia masih normal,” kataku tanpa menghentikan aktivitas mengunyahku.
”Terus yang dia bilang waktu itu?”
”Dia baru saja patah hati, jadi biasalah, ngomongnya ngawur gitu deh. Kalau udah sembuh, pasti berburu cowok lagi,” kataku sambil tertawa, dia juga tertawa, tawa yang lepas, membuatku sedikit memberi jeda untuk acara makan siangku. Baru kali ini aku bisa seakrab ini dengan cowok, bisa ngobrol bebas dan tertawa lepas.
Biasanya aku kaku dan cuek dengan makhluk berjenis cowok. Tapi yang satu ini beda. Sedikit kuperhatikan, dia orangnya biasa-biasa saja, apalagi wajahnya, sungguh amat teramat sangat biasa saja. Mungkin sebanding dengan wajahku yang juga biasa-biasa saja.
Tapi, sejak saat itu, aku mulai sering makan siang berua di kantin sambil ngobrol-ngobrol. Krena harap maklum, sahabatku, Tina, sedang fall in love. Jadi acara nge-date-nya tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, termasuk aku, sahabatnya.
”Cowok itu semuanya bener-bener brengsek!!!”
Suara khas penuh amarah itu menggema di kantin kampus. Dan seluruh pengunjung kantin sudah hafal dan terbiasa dengan makian yang keluar dari bibir Tina.
Tentu saja, karena minimal 2 bulan sekali, dinding kantin akan bergetar karena teriakan Tina yang keras, merdu dan penuh emosi itu. Aku kembali tersenyum dan dengan santai meneguk jus nanasku.
”Kamu tahu Nas? Ternyata aku selingkuhannya yang ketiga. Sialan cowok itu. Inget ya Nas, jangan percaya dengan cowok!” kata Tina dengan semangat menasihatiku.
Aku hanya tersenyum tipis, kemudian melirik cowokku yang duduk tak jauh dari tempatku. Menatapnya dengan tatapan tulus, dan dia membalas dengan senyum manisnya dan menatapku dalam, seolah ingin berkata:
”Aku nggak akan menghianati kepercayaanmu yang kau berikan padaku”
Dan, selama Tina masih aktif dan sibuk berdemonstrasi dengan tema: pemberantasan buaya darat, dengan organisasi anti cowok’nya dan mulai giat memberikan penyuluhan pada para cewek yang broken heart, toh aku tetap berpegangan erat pada tangan Galih. Makin pasti. Makin erat. Hingga Galih juga membebatkan jemarinya sama eratnya.
Kamis, 03 Desember 2009
Ketenangan yang Sekarang Lenyap
Senyumku hilang saat memasuki ruang perpustakaan yang sepi dan suasananya tidak kalah sunyi dengan pemakaman. Perpustakaan itu nampak suram. Lembap dan temaram, sehingga membuatku sedikit teringat pada kapal karam, dimana kita harus berusaha melihat dalam keremangan untuk mencari harta terpendam, tapi yang bisa kita temui di perpustakaan ini hanya buku-buku yang bersandar lesu di rak-rak yang rapi berjajar namun penuh debu. Petugas perpustakaan yang seharusnya duduk manis di meja sirkulasipun entah hilang kemana.
Kuedarkan pandanganku, tak kutemukan satu mahasiswapun yang bertengger di salah satu kursi. Aku hanya bisa menghela nafas sejenak, mungkin mereka lebh senang ber-hot spot ria di kampus yang sejuk, tenang dan nyaman darpada di perpustakaan yang kurang terawatt ini.
Tedengar sepatu beradu dengan lantai, berdetak memasuki ruang perpustakaan. Aku terkesiap, terkejut pastinya. Dengan cepat aku menengok ke belakang, menatap pintu perpustakaan yang terbuka lebar menanti kehadiran pengunjung perpustakaan yang mau repot-repot datang untuk sekedar menghirup udara lembap ini.
Nampak sesosok cowok, yang menurutku lumayan rapi walaupun dua kancing atas kemeja birunya tidak dikancingkan. Dengan potongan rambut model harajuku yang ujungnya disemir pirang dan harus sedikit kecewa dengan wajahnya yang standar. Tidak tampan tapi juga tidak jelek.
Cowok itu memasuki ruangan dengan santai sambil konsen berbicara dengan HP-nya tanpa mempedulikanku yang terus memperhatikannya, seakan aku hanya sebongkah batu tak bernyawa.
Aku melangkah ke rak buku dan mengambil buku dengan asal kemudian duduk di salah satu kursi yang memungkinkanku untuk leluasa memperhatikan cowok berwajah standar itu. Ku lirik jam di pergelangan tanganku, kuliah masih satu jam lagi.
Dengan gerakan slow motion yang tidak indah, cowok berwajah standar itu duduk kemudian membuka laptopnya, sementara obrolannya di telephonebelum terputus. Dengan masih terus ngoceh, cowok itu mulai memperhatikan laptopnya, seperti ada yang janggal disana.
Dan dengan diam-diam, aku terus memperhatikan gerak-gerik cowok itu. Poisinya membelakangiku, sehingga aku sedikit lupa dengan wajah standarnya tadi. Tapi, aku sedikit tertarik padanya, karena hanya dia dan aku yang menjadi pengunjung perpustakaan ini.
Tak terasa satu jampun berlalu, dan cowok itu mulai beranjak pergi dari tempat duduknya, tinggal aku yang terbengong sendirian kemudian tersadar, aku sudah terlambat mengikuti kuliah, harusnya
Esok harinya, di jam yang sama, aku sudah ada di dalam perpustakaan, bergulat dengan buku lusuh nan berdebu demi menyelesaikan makalah yang harus ku kumpulkan seminggu lagi. Tapi, cowok berwajah standar kemarin kembali memberi jeda untuk kegiatanku. Masih seperti kemarin, cowok itu sedang berbicara dengan HP-nya sambil membuka laptop.
Tapi, tugasku terlalu penting untuk diabaikan, sehingga aku melupakan kehadiran cowok tadi dan berusaha memusatkan perhatianku pada buku kuno ini.
“Rrrr…”
Getar HP-ku yang tergolek di meja membuat aku berhenti menulis, aku mengulurkan tangan untuk meraih HP dan melihat siapa yang menggangguku. Ternyata telephone dari Riska, teman sekelasku,
“Ya Ris? Tugas yang mana?”
Aku mengerutkan kening bingung, ada tugas yang terlupakan? Rasanya tak mungkin, ku raih buku agendaku. Tidak ada tugas yang terlewatkan untuk minggu ini.
“Bukan tugas kuliah?” tanyaku kembali bingung, meningat-ingat ugas apakah yang ku dapatkan di luar kuliah.
“Ah, kamu memang sudah pikun. Bukannya kau janji akan menulis artikel untuk bulletin kita minggu ini?” kata Riska dengan nada kesal,
“Ya ampun,” aku menepuk jidat, kaget. Padahal deadline-nya 2 hari lagi, dan aku belum mempunyai pandangan ingin menulis apa, sementara tugas kuliah juga mendesak.
“Pokoknya aku tunggu 2 hari lagi,” ujar Riska memaksa sambil memutuskan telephone. Tinggal aku yang terhenyak bingung.
Tiba-tiba semangatku untuk menyelesaikan makalah yang tadinya meluap-luap mulai melemah. Otakku tengah sibuk menggali ide dan topic menarik untuk diulas.
Aha, kenapa tidak menulis tentang perputakaan yang sepi ini, siapatahu bisa membuat pustakawan dan phak kampus sadar akan kurang terawatnya perpustakaan ini. Sehingga mungkin nantinya akan ada perombakan suasana yang bisa menarik perhatian mahasiswa agar mau singgah di perpustakaan.
Setidaknya, hanya aku dan cowok berwajah standar itu yang mau dengan senang hati bertamu di perpustakaan ini. Lebih baik aku mewawancarai cowok itu, sekalian berkenalan. Menyelam sambil minum air, apa salahnya? Aku beranjak dari kursiku sambil meraih buku nota kecil.
“Hai,” sapaku sambil duduk di sebelahnya, cowok itu menoleh terkejut lalu tersenyum tipis.
“Hai juga,”
“Rachel,” aku mengulurkan tanganku, cowok berwajah standar itu tidak menjabat tanganku, ia sedang sibuk dengan laptopnya,
“Hary,” sahutnya sedikit ramah, menatapku sejenak kemudian kembali asyik dengan laptopnya.
Hening,
Aku membenci kehenngan, kesepian, kesunyian dan rasa sendiri ini. Tapi, aku juga bingung mau mulai darimana. Hampir saja aku berkata, “kenapa ke perpustakaan kalau hanya mau main laptop?”. Namun aku malah bertanya,
“Saat masuk perpustakaan, apa sih yang kamu rasakan?”
Hary menghentikan kegiatannya pada laptopnya. Dia menegakkan punggungnya lalu menatap kearahku sambil tersenyum,
“Ketenangan,”
Mungkin tidak relevan jawabannya, karena suasana disini lebih mendekati kesunyian yang mencekam daripada ketenangan,
“Apa kamu tidak peduli dengan sepinya perpustakaan yang lembap dan temaram ini?” usikku mencoba mencari jawaban yang lebih detail,
“Sejujurnya aku tidak suka dengan perpustakaan yang terbengkalai ini, tapi kalau suasana disini berubah menjadi menarik, kemudian banyak mahasiswa yang datang dan berubah jadi ramai, aku tidak akan bisa merasakan ketenangan ini lagi,”
“Berarti kamu lebih suka dengan tidak terawatnya perpustakaan ini?” desakku tak mengerti,
“Aku
“Baiklah, lupakan saja. Terus, selain mencari ketenangan, apa saja yang kamu lakukan disini?” potongku bingung,
“Aku hanya sedang mengerjakan sebuah riset,”
“Oke, jadi kesimpulannya kamu membutuhkan ketenangan untuk mengerjakan riset. Kenapa tidak kau kerjakan di kamarmu saja?”
Hary hanya menggelengkan senyum, kemudian mematikan laptopnya dan menutup layer laptop. Kemudia menatapku lagi,
“Mengerjakan sebuah riset tidak di tempat yang tertutup tapi di ruang luas seperti ini atau bahkan di alam bebas, asal tenang,” katanya sambil membereskan laptop dan buku-bukunya.
“Jadi, bukankah lebih baik membuat perpustakaan ini nyaman agar bisa lebih nyaman juga saat mengerjakan riset?” desakku kembali ke tujuan awal, dia tersenyum geli.
“Kau reporter ya?” tebaknya, aku tersenyum malu,
“baiklah, perpustakaan ini sebaiknya dirawat dan diubah menjadi lebih menarik agar presensi kehadiran mahasiswa di perpustakaan tidak kosong,” kata Hary sambil berdiri dan menjinjing laptopnya, “lagi pula aku hanya singgah disini untuk mengerjakan risetku,”
“Tentang mencari ketenangan?” usikku,
“Mungkin nanti aku akan menemukan cara agar merasa tenang di tengah keramaian mahasiswa yang berkunjung disini,” kata Hary sebelum melangkah keluar dari perpustakaan, meninggalkanku sendiri di ruangan seluas ini.
Sudah seminggu dari saat aku mewawancarai Hary. Dan bulletin itu sudah terbit beberapa hari yang lalu, sekarang perpustakaan ini lebih banyak pengunjung. Namun, disaat mahasiswa yang berkunjung di perpustakaan membludak, aku justru merasa kehilangan.
Kehilangan suasana tenang dan damai yang membuatku nyaman mengerjakan tugas. Dulu saat perpustakaan masih sepi, aku hafal tempat bersemedinya semua buku kuno itu, tapi sekarang, entah banyak yang berpindah tempat, bahkan ada yang menghilang.
Nampak Hary duduk di pojok dengan laptopnya, ia tidak merasa terganggu dengan suara gaduh mahasiswa di sekelilingnya karena telinganya telah disumpal dengan headset, mungkin ia memutar lagu-lagu klasik? Melayu? Pop? Atau dangdut?
“Rrrr…” getar HP-ku menghentikan lamunanku,
Riska menelepon.
“Ya Ris? Makalah yang mana?
Aku terkejut saat menyadari makalah yang kulupakan. Padahal harus dikumpulkan siang ini. Aku mengumpat dalam hati. Harusnya sudah selesai kukerjakan kalau saja buku-buku itu tidak transmigrasi ke rak-rak yang lain. Aku menatap Hary yang kini menatapku. Dia tersenyum geli melihat wajahku yang memucat.
Jujur, aku sekarang butuh ketenangan, ketenangan yang dulu kubenci, ketenangan yang dibutuhkan Hary saat mengerjakan risetnya. Ketenganan yang sekarang lenyap. Aku hanya bisa tertunduk lesu. Mencaci hiruk-pikuk ini, mengharap ketenangan yang dulu hadir kembali.