Laman

Kamis, 10 Desember 2009

Sebuah Kepercayaan

“Cowok itu semuanya brengsek!!!”
Itulah statement penting yang perlu dicatat oleh semua cewek yang baru patah hati. Dan itu pula yang baru keluar dari bibir tipis Tina pagi ini di kantin. Aku yang sudah hafal dengan sifat Tina yang satu ini hanya nyengir sambil meneguk jus nanasku.

“Jangan pernah percaya sama cowok Nas, cowok itu kebanyakan cuma bisa nyakitin,” kata Tina tegas dengan semangat 45-nya yang menyala-nyala. Aku cuma tersenyum, kubiarkan Tina ngoceh nggak jelas tentang cowok, karena dengan begitu, luk Di hati Tina sedikit terobati.
Tapi, dua minggu setelah statement itu muncul, Tina sudah kembali aktif tebar pesona. Aku selalu heran dengan tingkah sahabatku yang satu ini. Kemarin-kemarin dia aktif ikut organisasi anti cowok, jadi ketua HMJ (Himpunan Mahasiswa Jomblo) dan aktif dalam perekrutan anggota STMJ (Semester Tujuh Masih Jomblo) yang baru. Tapi, sekarang yang kulihat saat ini, Tina sedang asik PDKT dengan seorang cowok yang menurutku lumayan keren di tempat parker.
Lima menit kemudian, Tina sudah ada disampingku, siap menyemburkan sejuta kata yang pasti dengan tepat bisa ku tebak, pujian-pujian untuk cowok keren tadi.
“Ya ampun Nas, cowok tadi keren banget. Udah ganteng, pinter, gaul, supel, kaya, pokoknya perfect banget deh, dan tahu nggak? Dia bawa mobil” seru Tina girang, membuat konsentrasiku untuk menyelesaikan tugas, pecah berhamburan.
“Sopir maksud kamu?” tanyaku sedikit kesal pada Tina yang mulai menunjukan sifat materialitis ini (ngelihat cwo’ dari kendaraannya dulu, kalau mau ngeliat kendaraan ke dealer aja
kan?).
“Ya bukan dong, asli milik dia,” sahut Tina sedikit memprotes,
“Jangan matre gitu dong Tin,” sergahku sebal,
“Ini bukan matre namanya, tapi tahu kebutuhan. Kalo ganteng tapi miskin, mikir dulu,” jawab Tina sambil mencibir.
Nah, mulai lagi anak ini. Dia tidak mau tahu dengan kondisi orang. Cinta itu (menurutku) tidak bisa diukur dengan harta. Cinta itu tulus, murni muncul dari hati. Kita mencintai orang tanpa syarat, dan memang harus seperti itu. Kalau mencintai hanya karena materi, itu bukan dinamakan cinta, cinta nggak bisa dinilai dengan uang, cinta nggak bisa disewa dan cinta nggak bisa dibeli dengan uang (teoriku).
Dan seminggu berlalu tanpa huru hara muncul dari Tina. Karena belakangan aku tahu, dia sudah jadian dengan cowok yang dia bilang perfect dulu itu. Aku hanya bisa menarik nafas sejenak sambil mengelus dada.
Di kantin masih sepi, aku mulai sibuk dengan makan siangku. Tiba-tiba ada seorang cowok yang duduk di bangku tepat didepanku, menghadap kearahku.
”Sendirian?” sapanya, aku hanya mengangguk.
”Galih,” katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya,
”Anastasia,” jawabku sambil menjabat tangannya.
”Kemana temanmu yang biasanya duduk disini bareng kamu?” tanyanya,
”Tina maksud kamu? Lagi asik pacaran di kampus,” kataku sambil menyuapkan sesendok nasi, berharap bisa menghapus rasa lapar yang sejak tadi bersarang diperutku.
”Pacaran? Beberapa minggu yang lalu aku dengar dia maki-maki cowok disini, kok sekarang kamu bilang dia pacaran? Memangnya dia pacaran dengan cowok atau cewek?” tanyanya heran, aku tersenyum geli. Pertanyaan yang aneh, seaneh orang yang dia tanyakan.
”Tentu saja dengan cowok, jangan salah, dia masih normal,” kataku tanpa menghentikan aktivitas mengunyahku.
”Terus yang dia bilang waktu itu?”
”Dia baru saja patah hati, jadi biasalah, ngomongnya ngawur gitu deh. Kalau udah sembuh, pasti berburu cowok lagi,” kataku sambil tertawa, dia juga tertawa, tawa yang lepas, membuatku sedikit memberi jeda untuk acara makan siangku. Baru kali ini aku bisa seakrab ini dengan cowok, bisa ngobrol bebas dan tertawa lepas.
Biasanya aku kaku dan cuek dengan makhluk berjenis cowok. Tapi yang satu ini beda. Sedikit kuperhatikan, dia orangnya biasa-biasa saja, apalagi wajahnya, sungguh amat teramat sangat biasa saja. Mungkin sebanding dengan wajahku yang juga biasa-biasa saja.
Tapi, sejak saat itu, aku mulai sering makan siang berua di kantin sambil ngobrol-ngobrol. Krena harap maklum, sahabatku, Tina, sedang fall in love. Jadi acara nge-date-nya tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, termasuk aku, sahabatnya.
”Cowok itu semuanya bener-bener brengsek!!!”
Suara khas penuh amarah itu menggema di kantin kampus. Dan seluruh pengunjung kantin sudah hafal dan terbiasa dengan makian yang keluar dari bibir Tina.
Tentu saja, karena minimal 2 bulan sekali, dinding kantin akan bergetar karena teriakan Tina yang keras, merdu dan penuh emosi itu. Aku kembali tersenyum dan dengan santai meneguk jus nanasku.
”Kamu tahu Nas? Ternyata aku selingkuhannya yang ketiga. Sialan cowok itu. Inget ya Nas, jangan percaya dengan cowok!” kata Tina dengan semangat menasihatiku.
Aku hanya tersenyum tipis, kemudian melirik cowokku yang duduk tak jauh dari tempatku. Menatapnya dengan tatapan tulus, dan dia membalas dengan senyum manisnya dan menatapku dalam, seolah ingin berkata:
”Aku nggak akan menghianati kepercayaanmu yang kau berikan padaku”
Dan, selama Tina masih aktif dan sibuk berdemonstrasi dengan tema: pemberantasan buaya darat, dengan organisasi anti cowok’nya dan mulai giat memberikan penyuluhan pada para cewek yang broken heart, toh aku tetap berpegangan erat pada tangan Galih. Makin pasti. Makin erat. Hingga Galih juga membebatkan jemarinya sama eratnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar