Laman

Kamis, 10 Desember 2009

Tetap Sahabat

Persahabatan itu memang harus selalu di uji. Sahabat sejati tak akan pernah goyah meninggalkan pergi. Meskipun ada maslaah sebesar gunungdan seluas samudra. Karena sahabat selalu ada disisi kita saat suka maupun duka.
itu pulalah yang terjadi saat ini antara aku dan Rara. Persahabatan kami yang sudah
digembleng berbagai ujian, sudah setegar karang dan sekuat baja, tak membuat ujian berhenti untuk mencoba kekuatan persahabatan kami.
Aku yang dulu sempat “nggak bener” mulai belajar merubah kelakuanku dan Rara yang sudah akrab dengan panggilan “player” mulai introspeksi diri. Kami mulai bersahabat karena situasi saat itu yang memang benar-benar nggak beres.
Dan tentu saja, ujian persahabatan yang paling ampuh adalah cowok. Dan terbukti pula, banyak dari mereka yang tak sadar kalau sahabatnya “ada main” dengan pacarnya (sabar bu’).
Dan itu pulalah yang sering menghampiri aku dan Rara. Berbagai model ujian dari cowok, sudah sering kami hadapi. Tapi keadaannya berbeda sekarang.
Randy, senior di kampusku yang juga pacarnya Rara mulai sering mendekatiku. Tentu saja kalau bukan Randy, sudah aku tendang pantat cowok yang berani menghianati sahabatku agar dia jatuh berlutut, minta maaf pada kami berdua. Tapi, aku pernah naksir Randy. Itu yang beda. Di satu sisi, aku ingin menjadi ceweknya, tapi disisi lain aku juga tak mau menghianati sahabatku.
Dan saat-saat membingungkan itu kembali hadir sore ini, saat Rara sedang latihan teater. Aku sedang duduk di kafe berkonsep out door food court yang nyaman, tiba-tiba Randy juga ikut duduk di meja yang sama denganku,
”Hai Lin, gimana kabarnya?” sapa Randy basa-basi banget.
”Baik,” sahutku sambil mengaduk-aduk kopi susu yang baru saja kupesan.
”Nggak sibuk?” Tanya Randy santai, aku bingung, sungguh mati
gaya aku di depan Randy.

“Nggak, kebetulan lagi senggang, kamu sendiri, nggak nemenin Rara latiha teater?” tanyaku mengalihkan perhatiannya, agar aku tidak tergoda dengan masa lalu.

“Bosen ah, lebih baik nongkrong disini bareng kamu,”
”Kenapa?” tanyaku tiba-tiba, lalu aku tersadar, harusnya aku nggak boleh nanya itu, itu berarti membuka peluangnya untuk merayuku.
Tapi dia hanya tersenyum. Uuuh, nyesel deh jadi diriku sndiri yang nggak bisa memiliki Randy (hayooo, yg pernah pnya perasaan kyak gini pasti setuju dong).
”Denger-denger kamu pernah naksir aku ya?” tanyanya langsung tanpa
tedheng aling-aling. Tentu saja aku salah tingkah, baru kali ini ditanya langsung kayak gini, duuch, bingung…
”Sekarang masih suka sama aku nggak?” tanyanya tanpa sungkan-sungkan.
Ngelunjak juga. Lepas dari Rara sebentar sudah mau main api. Sekarang terserah aku, apakah aku akan jadi minyak yang bisa mengobarkan api permainan ini atau menjadi air yang langsung menghapus permainan api ini.
Belum sempat aku menjawab, HP Randy yang tergeletak di atas meja berbunyi, panggilan masuk, sempatku lirik yang memanggil adalah
ayank ratih, Ratih siapa? Nama Rara itu asli Rara nggak pake embel-embel “tih” di belakangnya. Berarti Randy punya banyak cewek.
Randy sedikit menjauh saat menerima telefon, menambah rasa curigaku. Dan dengan santai aku beranjak pergi dengan langkah mantap, tanpa ragu sedikitpun.
Sialan kamu…!
Itu adalah pesan tersingkat dan singkat pula maknanya, dan aku tahu itu adalah Randy. Tapi, aku belum tahu alas an Randy mengirimkan pesan seperti itu padaku.
Sejam kemudian aku sudah ada di kantin bersama Rara, dan maksud tujuanku disini adalah ingin tahu apakah Rara dan Randy ada maslaah sehingga Randy mengirimkan pesan itu padanya, sebelum sempat aku konfirmasi, Rara sudah mulai cerita,
”Kemarin malam aku putus dengan Randy,” kata Rara santai, menyembunyikan sedikit perihnya.
”Karena aku?” tanyaku ingin tahu, Rara menggelengkan senyum.
”Bukan, tapi karena cewek lain. Aku tahu kamu nggak mungkin khianatin aku, karena kamu tahu
kan kalau ada cowok ingin memiliki kita berdua, itu berarti dia brengsek. Dan kamu pasti ngasih tahu aku kan? Aku kenal siapa kamu Erlin. Biarpun dulu kamu pernah suka sama Randy, tapi kamu pasti nggak akan nyakitin hati sahabatmu ini,” kata Rara dengan nada pasti tanpa menghakimi.
Maaf Ra, aku udah pernah punya niatan menghianati kamu. Maaf karena aku terlalu terlan oleh bayangan masa lalu. Maaf, aku yang khilaf dan buta mata, buta hati. Maafkan sahabatmu yang lupa denagn persahabatan kita.
Setidaknya, aku mendapat jalan yang terang, sehingga tidak tersessat dalam hinanya rimba hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar