Senyumku hilang saat memasuki ruang perpustakaan yang sepi dan suasananya tidak kalah sunyi dengan pemakaman. Perpustakaan itu nampak suram. Lembap dan temaram, sehingga membuatku sedikit teringat pada kapal karam, dimana kita harus berusaha melihat dalam keremangan untuk mencari harta terpendam, tapi yang bisa kita temui di perpustakaan ini hanya buku-buku yang bersandar lesu di rak-rak yang rapi berjajar namun penuh debu. Petugas perpustakaan yang seharusnya duduk manis di meja sirkulasipun entah hilang kemana.
Kuedarkan pandanganku, tak kutemukan satu mahasiswapun yang bertengger di salah satu kursi. Aku hanya bisa menghela nafas sejenak, mungkin mereka lebh senang ber-hot spot ria di kampus yang sejuk, tenang dan nyaman darpada di perpustakaan yang kurang terawatt ini.
Tedengar sepatu beradu dengan lantai, berdetak memasuki ruang perpustakaan. Aku terkesiap, terkejut pastinya. Dengan cepat aku menengok ke belakang, menatap pintu perpustakaan yang terbuka lebar menanti kehadiran pengunjung perpustakaan yang mau repot-repot datang untuk sekedar menghirup udara lembap ini.
Nampak sesosok cowok, yang menurutku lumayan rapi walaupun dua kancing atas kemeja birunya tidak dikancingkan. Dengan potongan rambut model harajuku yang ujungnya disemir pirang dan harus sedikit kecewa dengan wajahnya yang standar. Tidak tampan tapi juga tidak jelek.
Cowok itu memasuki ruangan dengan santai sambil konsen berbicara dengan HP-nya tanpa mempedulikanku yang terus memperhatikannya, seakan aku hanya sebongkah batu tak bernyawa.
Aku melangkah ke rak buku dan mengambil buku dengan asal kemudian duduk di salah satu kursi yang memungkinkanku untuk leluasa memperhatikan cowok berwajah standar itu. Ku lirik jam di pergelangan tanganku, kuliah masih satu jam lagi.
Dengan gerakan slow motion yang tidak indah, cowok berwajah standar itu duduk kemudian membuka laptopnya, sementara obrolannya di telephonebelum terputus. Dengan masih terus ngoceh, cowok itu mulai memperhatikan laptopnya, seperti ada yang janggal disana.
Dan dengan diam-diam, aku terus memperhatikan gerak-gerik cowok itu. Poisinya membelakangiku, sehingga aku sedikit lupa dengan wajah standarnya tadi. Tapi, aku sedikit tertarik padanya, karena hanya dia dan aku yang menjadi pengunjung perpustakaan ini.
Tak terasa satu jampun berlalu, dan cowok itu mulai beranjak pergi dari tempat duduknya, tinggal aku yang terbengong sendirian kemudian tersadar, aku sudah terlambat mengikuti kuliah, harusnya
Esok harinya, di jam yang sama, aku sudah ada di dalam perpustakaan, bergulat dengan buku lusuh nan berdebu demi menyelesaikan makalah yang harus ku kumpulkan seminggu lagi. Tapi, cowok berwajah standar kemarin kembali memberi jeda untuk kegiatanku. Masih seperti kemarin, cowok itu sedang berbicara dengan HP-nya sambil membuka laptop.
Tapi, tugasku terlalu penting untuk diabaikan, sehingga aku melupakan kehadiran cowok tadi dan berusaha memusatkan perhatianku pada buku kuno ini.
“Rrrr…”
Getar HP-ku yang tergolek di meja membuat aku berhenti menulis, aku mengulurkan tangan untuk meraih HP dan melihat siapa yang menggangguku. Ternyata telephone dari Riska, teman sekelasku,
“Ya Ris? Tugas yang mana?”
Aku mengerutkan kening bingung, ada tugas yang terlupakan? Rasanya tak mungkin, ku raih buku agendaku. Tidak ada tugas yang terlewatkan untuk minggu ini.
“Bukan tugas kuliah?” tanyaku kembali bingung, meningat-ingat ugas apakah yang ku dapatkan di luar kuliah.
“Ah, kamu memang sudah pikun. Bukannya kau janji akan menulis artikel untuk bulletin kita minggu ini?” kata Riska dengan nada kesal,
“Ya ampun,” aku menepuk jidat, kaget. Padahal deadline-nya 2 hari lagi, dan aku belum mempunyai pandangan ingin menulis apa, sementara tugas kuliah juga mendesak.
“Pokoknya aku tunggu 2 hari lagi,” ujar Riska memaksa sambil memutuskan telephone. Tinggal aku yang terhenyak bingung.
Tiba-tiba semangatku untuk menyelesaikan makalah yang tadinya meluap-luap mulai melemah. Otakku tengah sibuk menggali ide dan topic menarik untuk diulas.
Aha, kenapa tidak menulis tentang perputakaan yang sepi ini, siapatahu bisa membuat pustakawan dan phak kampus sadar akan kurang terawatnya perpustakaan ini. Sehingga mungkin nantinya akan ada perombakan suasana yang bisa menarik perhatian mahasiswa agar mau singgah di perpustakaan.
Setidaknya, hanya aku dan cowok berwajah standar itu yang mau dengan senang hati bertamu di perpustakaan ini. Lebih baik aku mewawancarai cowok itu, sekalian berkenalan. Menyelam sambil minum air, apa salahnya? Aku beranjak dari kursiku sambil meraih buku nota kecil.
“Hai,” sapaku sambil duduk di sebelahnya, cowok itu menoleh terkejut lalu tersenyum tipis.
“Hai juga,”
“Rachel,” aku mengulurkan tanganku, cowok berwajah standar itu tidak menjabat tanganku, ia sedang sibuk dengan laptopnya,
“Hary,” sahutnya sedikit ramah, menatapku sejenak kemudian kembali asyik dengan laptopnya.
Hening,
Aku membenci kehenngan, kesepian, kesunyian dan rasa sendiri ini. Tapi, aku juga bingung mau mulai darimana. Hampir saja aku berkata, “kenapa ke perpustakaan kalau hanya mau main laptop?”. Namun aku malah bertanya,
“Saat masuk perpustakaan, apa sih yang kamu rasakan?”
Hary menghentikan kegiatannya pada laptopnya. Dia menegakkan punggungnya lalu menatap kearahku sambil tersenyum,
“Ketenangan,”
Mungkin tidak relevan jawabannya, karena suasana disini lebih mendekati kesunyian yang mencekam daripada ketenangan,
“Apa kamu tidak peduli dengan sepinya perpustakaan yang lembap dan temaram ini?” usikku mencoba mencari jawaban yang lebih detail,
“Sejujurnya aku tidak suka dengan perpustakaan yang terbengkalai ini, tapi kalau suasana disini berubah menjadi menarik, kemudian banyak mahasiswa yang datang dan berubah jadi ramai, aku tidak akan bisa merasakan ketenangan ini lagi,”
“Berarti kamu lebih suka dengan tidak terawatnya perpustakaan ini?” desakku tak mengerti,
“Aku
“Baiklah, lupakan saja. Terus, selain mencari ketenangan, apa saja yang kamu lakukan disini?” potongku bingung,
“Aku hanya sedang mengerjakan sebuah riset,”
“Oke, jadi kesimpulannya kamu membutuhkan ketenangan untuk mengerjakan riset. Kenapa tidak kau kerjakan di kamarmu saja?”
Hary hanya menggelengkan senyum, kemudian mematikan laptopnya dan menutup layer laptop. Kemudia menatapku lagi,
“Mengerjakan sebuah riset tidak di tempat yang tertutup tapi di ruang luas seperti ini atau bahkan di alam bebas, asal tenang,” katanya sambil membereskan laptop dan buku-bukunya.
“Jadi, bukankah lebih baik membuat perpustakaan ini nyaman agar bisa lebih nyaman juga saat mengerjakan riset?” desakku kembali ke tujuan awal, dia tersenyum geli.
“Kau reporter ya?” tebaknya, aku tersenyum malu,
“baiklah, perpustakaan ini sebaiknya dirawat dan diubah menjadi lebih menarik agar presensi kehadiran mahasiswa di perpustakaan tidak kosong,” kata Hary sambil berdiri dan menjinjing laptopnya, “lagi pula aku hanya singgah disini untuk mengerjakan risetku,”
“Tentang mencari ketenangan?” usikku,
“Mungkin nanti aku akan menemukan cara agar merasa tenang di tengah keramaian mahasiswa yang berkunjung disini,” kata Hary sebelum melangkah keluar dari perpustakaan, meninggalkanku sendiri di ruangan seluas ini.
Sudah seminggu dari saat aku mewawancarai Hary. Dan bulletin itu sudah terbit beberapa hari yang lalu, sekarang perpustakaan ini lebih banyak pengunjung. Namun, disaat mahasiswa yang berkunjung di perpustakaan membludak, aku justru merasa kehilangan.
Kehilangan suasana tenang dan damai yang membuatku nyaman mengerjakan tugas. Dulu saat perpustakaan masih sepi, aku hafal tempat bersemedinya semua buku kuno itu, tapi sekarang, entah banyak yang berpindah tempat, bahkan ada yang menghilang.
Nampak Hary duduk di pojok dengan laptopnya, ia tidak merasa terganggu dengan suara gaduh mahasiswa di sekelilingnya karena telinganya telah disumpal dengan headset, mungkin ia memutar lagu-lagu klasik? Melayu? Pop? Atau dangdut?
“Rrrr…” getar HP-ku menghentikan lamunanku,
Riska menelepon.
“Ya Ris? Makalah yang mana?
Aku terkejut saat menyadari makalah yang kulupakan. Padahal harus dikumpulkan siang ini. Aku mengumpat dalam hati. Harusnya sudah selesai kukerjakan kalau saja buku-buku itu tidak transmigrasi ke rak-rak yang lain. Aku menatap Hary yang kini menatapku. Dia tersenyum geli melihat wajahku yang memucat.
Jujur, aku sekarang butuh ketenangan, ketenangan yang dulu kubenci, ketenangan yang dibutuhkan Hary saat mengerjakan risetnya. Ketenganan yang sekarang lenyap. Aku hanya bisa tertunduk lesu. Mencaci hiruk-pikuk ini, mengharap ketenangan yang dulu hadir kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar