Laman

Selasa, 26 Februari 2013

Pancasila, Garda Depan Bangsa Indonesia

Monumen Pancasila Sakti, simbol kesaktian
Pancasila yang sesungguhnya untuk Indonesia
| foto: streetdirectory.com
Era globalisasi adalah masa dimana tembok-tembok pembatas antarnegara, bahkan antarbenua mulai lenyap. Hal ini disebabkan oleh penyambungan segala area itu dapat dilakukan dalam hitungan detik. Satelit, salah satu alasan mengapa segala hal yang ada di bumi ini dapat tersambung secara cepat tanpa ada batas ruang dan waktu.

Hal-hal lain yang merupakan faktor percepatan globalisasi adalah komunikasi dan transportasi. Kemajuan alat-alat penunjang kedua hal tersebut berbanding lurus dengan kemajuan globalisasi. Sehingga, tak hanya tembok pembatas antarnegara, bahkan tirai-tirai yang merupakan filter terkadang ikut kebobolan.

Begitu pula dengan kondisi yang ada di Indonesia saat ini. Indonesia yang merupakan negara paling strategis dengan limpahan kekayaan yang meliputi sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia dengan etos kerja tinggi, dan juga kekayaan seni dan budaya yang tumpah ruah hingga terkadang harus dikumpulkan kembali agar tidak “ditampung” oleh negara lain.

Menjadikan negara lain sebagai kiblat atas segala kemajuan teknologi yang tercipta, kemudian menawarkan segala pernak-pernik yang mengundang mata adalah hal yang sewajarnya harus kita kaji ulang. Filter yang sudah diciptakan berpuluh-puluh tahun yang lalu seakan lumpuh diterjang deras arus globalisasi. Filter yang dimaksud adalah pancasila.

Kelima sila yang terangkum seharusnya menjadi filter paling ampuh untuk memilah dan memilih karya cipta bangsa lain yang kini mulai sering menyusup ke wilayah Indonesia. Mulai dari alat transportasi, bahan makanan, pakaian, hingga style pun harus mengimpor dari luar negeri agar terlihat keren.

Apalah arti keren tanpa nasionalisme? Bangga dengan produk luar negeri padahal produk dalam negeri tumpah ruah tak laku hanya karena menjaga gengsi. Hal tersebut sama saja menyanjung-nyanjung batu meteor yang jatuh merusakkan rumah yang kita bangun dari emas.

Penanaman nilai-nilai pancasila pada raga generasi muda kini hanya dilakukan setengah hati. Bahkan ketika mengikuti upacara pun, dimana itu adalah ruang untuk penggodhokan jiwa nasionalisme mereka pun terkalahkan oleh terik matahari dan rentang waktu yang terasa begitu lama. Mata pelajaran Pancasila pun mulai tersingkirkan dengan mata pelajaran lain yang menurut pemerintah dianggap lebih penting.

Dengan minimnya nilai-nilai pancasila yang tertanam, maka akan semakin rapuh filter yang dibangun bangsa Indonesia saat ini. Sehingga dengan mudahnya bangsa lain menyusup ke Indonesia dengan berbagai cara dan melalui berbagai gerbang yang tak sengaja terbuka atau terkadang sengaja dibuka dengan alasan yang direka-reka demi keuntungan segelintir pihak yang serakah.

Budaya-budaya bangsa sendiri pun tersingkir dengan budaya dari negara lain yang terkemas apik sehingga membuat generasi bangsa terlena. Meniru segala laku dan gaya yang dibawa oleh “duta” bangsa lain dengan bangga membusungkan dada. Yang menjadi pertanyaan adalah, dada yang dia busungkan apakah tersemat nilai pancasila ataukah hanya hampa dan ruang jiwa kosong

Kadang keprihatinan hanya sebatas ucapan dan kata yang dipadu padan sebatas pencitraan. Tapi tak ada tindak tegas atau aksi nyata. Filter hanya sebatas diakui keberadaannya tanpa dimanfaatkan fungsi dan daya gunanya.

Sudah saatnya pemerintah mulai bertindak untuk menggunakan filter sebagai tameng utama dalam menyikapi arus globalisasi. Budaya Indonesia bukan budaya kolot ataupun kuno. Warisan budaya akan abadi sepanjang masa dan semakin berharga seiring berjalannya waktu. Penanaman pola pikir dengan jiwa nasionalisme yang tegas harus dimulai sejak dini. Generasi bangsa harus paham bahwa dengan menggunakan budaya bangsa sendiri adalah kebanggaan yang murni, tak perlu menjaga gengsi. Untuk apa menjaga gengsi sementara bangsa Indonesia semakin tergerogoti?

Alasan suka dengan produk luar negeri, entah itu karya seni atau teknologi, bukanlah hal yang salah. Selama tidak memuja dan menjadi bangga hanya dengan predikat pengguna semata, maka hal tersebut wajar adanya. Maka mulai sekarang, mencintai produk Indonesia adalah bukan hal yang rendah atau tak punya gaya. Jika merasa rendah dengan produk Indonesia saat ini, bukankah lebih baik menciptakan sendiri tanpa mengurangi nilai Indonesia didalamnya, dengan begitu kita telah meninggikan nama bangsa.

Banyaknya komunitas pecinta produk luar negeri pun menjamur di Indonesia. Style dan musik yang meniru gaya dari luar negeri pun semakin menggila. Bahkan kata fanatik pun muncul seusai kata penggemar yang mereka sandang. Namun selama kegiatan tersebut tidak mengganggu jiwa nasionalisme yang tertanam, maka bukanlah hal yang harus kita perangi. Negara kita dikenal negara yang sopan dan ramah dengan tamu, negara yang agung akan penghormatannya kepada tamu. Entah tamu yang berbentuk ideologi, style, budaya atau apapun itu bentuknya, Indonesia dengan luwesnya menerima. Namun penerimaan tersebut haruslah diselubungi penyaring yang kuat. Hal-hal yang dirasa tak perlu atau bahkan membahayakan harus benar-benar ter-eliminasi.

Indonesia sudah diakui kekayaan sumber daya alam dan budayanya, tapi tanpa adanya sumber daya manusia yang cerdas dan setia pada bumi pertiwi, maka semua itu lambat laun akan lenyap seiring semakin mengglobalnya globalisasi

Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia. Apabila ideologi itu kian melemah, maka semakin lemah pula bangsa Indonesia. Di mata seluruh rakyat atau di mata bangsa lain. Ini bukan semacam penyakralan Pancasila, tapi penguatan. Pancasila digali dari keluhuran budaya bangsa yang sudah berakar dan digunakan sejak lama oleh pendiri bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya menjaga nilai-nilai pancasila sebagai ideologi terbuka yang mengalir sesuai arus jaman yang sedang berlangsung. Seperti saat ini, saat era globalisasi meluas, pancasila tetaplah menjadi penyambut pertama dalam gerbang masuk Indonesia.

Hal ini dikarenakan Indonesia adalah satu, tak terpecah karena perbedaan suku atau terpisahnya pulau. Indonesia harus tetap menjadi satu, satu tekad untuk melindungi negeri ini dari tangan penjarah kekayaan alam dan budaya. Indonesia harus satu, satu semangat untuk memajukan bangsa dan mencerdaskan anak bangsa. Dengan begitu, sampailah sumpah para pahlawan yang menitipkan kemerdekaan bangsa ini pada kita. Merdeka adalah bebas, tapi bukan berarti membebaskan orang lain ikut cawe-cawe (ikut campur) dengan urusan negara kita. Satukan suara dan bulatkan tekad serta semangat, teriakan MERDEKA dan negara ini tetap terjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar