Laman

Sabtu, 01 Februari 2014

Cappucino, Love, and Toast



"cappucino, yang begitu lembut
Toast, yang begitu hangat
bersanding menjadi satu sajian nikmat
menjadi sebuah kisah cinta yang rumit"


Cappucino love toast.

Toast love cappucino.

Itu kalimat pilihanmu, dan setiap kali aku menemukan cappucino ataupun roti bakar, entah mengapa aku selalu ingat kamu. Mungkin bagimu itu hal sepele, tapi bagiku terasa begitu melekat.

Beberapa hari terakhir aku baru tahu, mungkin seperti itu pula hubungan kita. Harus tersaji hangat secara singkat. Kau tahu cappucino kan? Begitu lembut terasa di lidah, dan panasnya menggugah. Ah, semakin terbayang aroma cappucino yang kini sering kulewatkan. Bukan karena aku tak ingin mengingatmu, tapi karena aku cukup sibuk dengan daftar makanan dan minuman yang mulai saat ini harus ku hindari.

Roti bakar pun akan terasa sangat nikmat jika tersaji hangat baru diangkat dari pemanggangan. Terbayang selainya yang terasa lembut menyapu lidah. Humh, jadi ingin segera mencicipi roti bakar di tempat temanku bekerja sambilan. Roti bakar selai coklat dan kacang yang dicampur itu, menggoda lidah. Sungguh.

Ah, tapi apa gunanya kenikmatan itu jika hanya sesaat kita rasa. Obrolan ringan, santai dan hangat pun tak akan mampu memanaskan kedua sajian itu jika terlanjur dingin.

Kalau ingin terasa nikmat, berarti kita harus mengganti sajiannya dengan yang baru. Aku panaskan airnya, dan kamu yang siapkan cappucino-nya. Eh, kamu pakai cappucino instan ya? Kenapa sih suka banget yang instan? Kan jadi nggak berasa dalam berproses. Tapi, hari gini, siapa sih yang mau capek-capek berproses jika yang instan aja ada dan bikin hemat waktu? Mungkin lain kali saja kita bikin cappucino nggak pakai instan.

Eh, kamu jangan pergi dulu, kalau kamu pergi, yang tersaji nanti bukan cappucino yang hangat nikmat, tapi hanya air putih panas yang harus ku dinginkan dulu jika ingin ku minum. Kemarilah sebentar, aku tuangkan air panas ini ke cangkir. Oh iya, aku juga lupa untuk mengatakan padamu, sudah kau siapkan cangkir yang tahan panas itu? Yang tak mudah pecah walau disiram air mendidih ini? Sudah? Lalu, sudah kau masukkan cappucino instan itu ke dalam cangkir? Terima kasih.

Sudah sampai disini, kau mau pergi lagi? Lalu siapa yang akan mengaduknya? Aku? Lalu bagaimana dengan roti yang harus kita bakar itu? Kemarilah dulu, jangan bergegas pergi. Kita nikmati sebentar proses indah ini. Kau aduklah dulu, sementara aku mengoleskan selai cokelat dan menaburkan kacang yang sudah ditumbuk halus itu ke dalam lapisan roti ini.

Jika sudah kau aduk, kemarilah temani aku di depan panggangan. Aku tak ingin merasakan panas ini sendirian. Bukan aku ingin mengajakmu menderita, tapi bukankah lebih indah jika kita rasa bersama?

Jangan lupa kau balik roti itu, sebentar kau lupa membalik, bisa hangus, seperti harapanku. Sudah matangkah? Angkatlah, kemudian potong-potong, agar memudahkan kita untuk membagi. Membagi apa yang memang harus kita bagi. Bukan sekedar menyembunyikan privasi.

Mari kita taruh roti itu di piring, biar bersama secangkir cappucino itu mereka bersanding. Serasi sekali bukan?

Kenapa kau beranjak berdiri? Tak sudikah menemaniku menikmati sajian ini? Sajian yang kita buat berdua? Peluh ini bukan hanya milikku, tapi juga milikmu. Apakah aku harus menikmati ini sendiri?

Kemarilah sebentar, ceritakan padaku tentang hari yang sudah kau lalui diluar sana. Kau tahu, aku terus mengurung diri dalam rumah ini, menyiapkan segala yang kau butuhkan. Bahkan sudah ku siapkan pelukan jika kau butuhkan untuk kehangatan, ketenangan, kasih sayang.

Kenapa? Apa diluar sana sudah kau dapatkan apa yang kau mau? Kemarilah, rumah ini milikmu, bukan hanya milikku. Harusnya kita tinggali bersama.

Kemarilah, dekat denganku, aku tak akan bersikap kasar padamu. Aku akan selembut cappucino yang kau kecap di bibirmu.

Kemarilah, dekat denganku, aku tak akan bersikap kaku. Aku akan sehangat sajian roti bakar ini, dan menghangatkan harimu.

Kemarilah, dekat denganku. Jika kau ingin tumpahkan cappucino yang tersaji mengepul ini, jika ingin kau campakkan roti bakar yang baru kita angkat dari panggangan, lakukanlah. Aku nanti hanya meratapi, mengapa itu semua harus berakhir untuk hancur jika awalnya begitu indah? Aku nanti hanya memandangi, ceceran cappucino dan remah-remah roti yang terserak dilantai, bersama dengan pecahan cangkir dan piring. Oh, malangnya mereka, harus berakhir hancur meski awalnya begitu indah.

Aku tak akan hancurkan itu, itu milik kita. Tapi jika kamu yang hancurkan, tak apa. Mungkin sudah kau dapati kopi hitam dan snack lain yang lebih nikmat daripada sajian ini.

Tapi, kemarilah dulu, cappucino love toast ini kisah kita, kita berdua yang tentukan, akan terus tersaji hangat, atau justru berakhir dengan kepingan. Aku tak bisa mengakhirinya sendiri.

Aku masih disini, menunggumu. Ditemani secangkir cappucino yang mengepul dan roti bakar yang masih hangat.

Kau masih ingat jalan pulang kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar