//
aku cinta PSS-ku, tak terbatas waktu
tak kan ada selain dirimu
cinta yang telah kita bina, pahit manis bersama
demi PSS, Super Elang Jawa... //
Yang selalu kunantikan saat ini adalah masa-masa ngechant di
stadion maguwoharjo bersama Brigata Curva Sud (BCS). Doktrin-doktrin itu
membuatku tak mau lekas beranjak meninggalkan tribun selatan stadion. Selalu merasa
masih ada yang kurang. Lantang sudah kuteriakkan chant slemania bersama
suporter yang lain, tak ada sedikitpun rasa lelah ataupun jengah
mengumandangkan yel-yel itu. Ah, sejak kapan aku sefanatik ini?
Semua berawal dari ajakan seorang teman untuk melihat
pertandingan langsung di stadion maguwoharjo. Saat itu timnas U23 yang main,
pertengahan Agustus tahun kemarin. Hanya saja kebetulan waktu itu kakakku
tersayang sedang mengadakan acara aqiqah untuk anak perempuan pertamanya, belum
lagi ajakan untuk menjenguk bapaknya temanku yang sedang opname di Rumah Sakit
Umum Daerah Wonosari. Dengan terpaksa aku membatalkan semua acara demi
menghadiri acara aqiqahan keponakanku tercinta.
Rasa penasaran terus membayang setiap kali teman-temanku mengirimkan pesan, mengabarkan tentang keadaan di stadion. Ingin sekali rasanya terbang kesana barang sekejap. Tapi, ya sudahlah, belum waktunya untuk kesana.
Dan pagi harinya semua menjadi keruh. Dengan hadirnya sebuah
masalah yang mulai disadari kedua orangtuaku, kemudian riuh ungkapan antusias
teman-teman mengenai pertandingan semalam. Iri sekali rasanya tidak bisa ikut. Semua
yang mereka bicarakan tak ku mengerti,
yang ku tahu saat itu, aku bete tingkat nasional.
Sebulan kemudian, ada pertandingan PSS dengan Persijap. Lekas
saja aku menerima ajakan teman-teman untuk melihat langsung ke stadion. Pengalaman
pertama melihat pertandingan di stadion secara live. Jadi rencananya kita pergi
sore, kemudian nanti seusai menonton akan menginap di rumah Ayah, salah satu
temanku yang kebetulan rumahnya tak jauh dari stadion.
Kami semua hanya mengekor Ayah, mulai dari membeli tiket dan
masuk ke tribun. Ayah memilihkan tribun merah untuk kami tempati. Saat itu aku
tidak tahu bahwa tribun merah adalah tribun khusus penonton, jadi tidak bisa
leluasa untuk teriak-teriak. Ketika pertandingan dimulai, perhatianku tak
tertuju ke tengah lapangan, tapi menatap ke tribun kuning, dimana suporter
disana riuh menyorakkan chant slemania. Aku tertegun. Terpesona.
Hampir selama pertandingan, aku tidak fokus melihat
pertandingan berlangsung, aku justru lebih sering mencuri pandang ke tribun
kuning. Rasanya seru sekali disana. Di bangku tribun merah ini, berisik sedikit
saja, bakalan ada berpuluh-puluh pasang mata memandang lekat menyampaikan
protes atas terganggunya konsentrasi mereka menonton pertandingan bola. Maka sudah
pasti, badan ini rasanya gatal untuk tidak berjingkrak-jingkrak dan bersorak,
mengimbangi yel-yel dari tribun sebelah.
Usai pertandingan, aku lekas saja bilang pada Ayah, “Yah,
besok lagi kita nontonnya di tribun kuning ya?” begitu pintaku, yang kemudian
diamini oleh yang lain.
Ayah terkejut mendengar keinginan kami, dia pun bilang, “Sebenarnya
aku biasanya nonton di tribun kuning, tapi kalian kan baru pertama kali nonton,
jadi aku ajak ke tribun merah biar nyaman, eh, malah minta ke tribun kuning,”
Mendengar hal itu, rasanya hatiku penuh seketika. Lain waktu
bakal nonton di tribun kuning, bersorak sorai bersama BCS. Memberikan support
ke PSS sekaligus memberikan ujian mental pada tim lawan.
Laga menjelang semi final, kami nonton lagi di stadion, di tribun kuning pojok timur. Aku tidak tahu kalau disana sering terjadi kerusuhan. Ah, waktu itu aku tak mau tahu apapun, yang aku ingin hanya menonton pertandingan sambil mengumandangkan chant slemania. Meski sesekali harus terhenti sejenak untuk menghafalkan lirik chant, suaraku tak pernah habis untuk bersorak.
Usai dari pertandingan itu, rasa dihatiku semakin penuh. Lega
tak terkendali yang kurasakan. Bangga menjadi salah satu bagian dari suporter
terbaik. Bahagia ikut memberikan dukungan pada tim yang kini mulai menjadi
kesayanganku.
Candaan sesekali menggelitik ditelingaku. Aku ini anak
pelosok Gunungkidul, kok ikut dukung PSS dan ikut ngechant bersama BCS yang notabene ada di Sleman? Tapi bagiku
itu bukan sebuah problem, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada PSS, terlanjur
sayang pada BCS.
Dan sewaktu pertandingan final, bukan cuma getar hati yang
semakin hebat terasa di dada, tapi juga merinding. Entah kenapa, chant itu
rasanya sudah menjadi bagian dari voice
of the day milikku. Gemuruh itu tak terbendung selama 90 menit, apalagi
ketika PSS berhasil menjadi juara, rasanya ingin meloncat tinggi hingga ke
awan, bersama berpuluh-puluh flare yang dinyalakan.
Rasa-rasanya aku tak ingin menyia-nyiakan setiap kesempatan
untuk hadir serta di tribun kuning itu. Menjadi bagian disana. Bahkan kemarin
sewaktu pertandingan PSS dengan Timnas U19 pun, tak henti-hentinya aku turut
menggemakan chant slemania, apalagi ketika meneriakkan chant La Grande Storia
dan Forza Sleman, hentakan-hentakan di hati itu meluap menjadi hentakan kaki
dan teriakan lantang yang kusumbangkan dengan rela hati untuk Sleman.
Meski belum lama mengenalnya, aku terlanjur jatuh cinta pada
PSS, aku terlanjur sayang pada BCS. Tak ada yang kusesali, aku justru bahagia
sekaligus bangga. Indah sekali perasaan ini. Ingin rasanya aku bagi pada yang
lain. Seperti ini lah rasanya jatuh cinta pada PSS, Ale! Dan sayang pada BCS,
ora muntir!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar