Laman

Jumat, 07 Februari 2014

Cinta Tak Terbatas Waktu





//
aku cinta PSS-ku, tak terbatas waktu
tak kan ada selain dirimu
cinta yang telah kita bina, pahit manis bersama
demi PSS, Super Elang Jawa... //


Yang selalu kunantikan saat ini adalah masa-masa ngechant di stadion maguwoharjo bersama Brigata Curva Sud (BCS). Doktrin-doktrin itu membuatku tak mau lekas beranjak meninggalkan tribun selatan stadion. Selalu merasa masih ada yang kurang. Lantang sudah kuteriakkan chant slemania bersama suporter yang lain, tak ada sedikitpun rasa lelah ataupun jengah mengumandangkan yel-yel itu. Ah, sejak kapan aku sefanatik ini?

Semua berawal dari ajakan seorang teman untuk melihat pertandingan langsung di stadion maguwoharjo. Saat itu timnas U23 yang main, pertengahan Agustus tahun kemarin. Hanya saja kebetulan waktu itu kakakku tersayang sedang mengadakan acara aqiqah untuk anak perempuan pertamanya, belum lagi ajakan untuk menjenguk bapaknya temanku yang sedang opname di Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari. Dengan terpaksa aku membatalkan semua acara demi menghadiri acara aqiqahan keponakanku tercinta.

Rasa penasaran terus membayang setiap kali teman-temanku mengirimkan pesan, mengabarkan tentang keadaan di stadion. Ingin sekali rasanya terbang kesana barang sekejap. Tapi, ya sudahlah, belum waktunya untuk kesana.

Dan pagi harinya semua menjadi keruh. Dengan hadirnya sebuah masalah yang mulai disadari kedua orangtuaku, kemudian riuh ungkapan antusias teman-teman mengenai pertandingan semalam. Iri sekali rasanya tidak bisa ikut. Semua yang mereka bicarakan  tak ku mengerti, yang ku tahu saat itu, aku bete tingkat nasional.

Sebulan kemudian, ada pertandingan PSS dengan Persijap. Lekas saja aku menerima ajakan teman-teman untuk melihat langsung ke stadion. Pengalaman pertama melihat pertandingan di stadion secara live. Jadi rencananya kita pergi sore, kemudian nanti seusai menonton akan menginap di rumah Ayah, salah satu temanku yang kebetulan rumahnya tak jauh dari stadion.

Kami semua hanya mengekor Ayah, mulai dari membeli tiket dan masuk ke tribun. Ayah memilihkan tribun merah untuk kami tempati. Saat itu aku tidak tahu bahwa tribun merah adalah tribun khusus penonton, jadi tidak bisa leluasa untuk teriak-teriak. Ketika pertandingan dimulai, perhatianku tak tertuju ke tengah lapangan, tapi menatap ke tribun kuning, dimana suporter disana riuh menyorakkan chant slemania. Aku tertegun. Terpesona.

Hampir selama pertandingan, aku tidak fokus melihat pertandingan berlangsung, aku justru lebih sering mencuri pandang ke tribun kuning. Rasanya seru sekali disana. Di bangku tribun merah ini, berisik sedikit saja, bakalan ada berpuluh-puluh pasang mata memandang lekat menyampaikan protes atas terganggunya konsentrasi mereka menonton pertandingan bola. Maka sudah pasti, badan ini rasanya gatal untuk tidak berjingkrak-jingkrak dan bersorak, mengimbangi yel-yel dari tribun sebelah.

Usai pertandingan, aku lekas saja bilang pada Ayah, “Yah, besok lagi kita nontonnya di tribun kuning ya?” begitu pintaku, yang kemudian diamini oleh yang lain.

Ayah terkejut mendengar keinginan kami, dia pun bilang, “Sebenarnya aku biasanya nonton di tribun kuning, tapi kalian kan baru pertama kali nonton, jadi aku ajak ke tribun merah biar nyaman, eh, malah minta ke tribun kuning,”

Mendengar hal itu, rasanya hatiku penuh seketika. Lain waktu bakal nonton di tribun kuning, bersorak sorai bersama BCS. Memberikan support ke PSS sekaligus memberikan ujian mental pada tim lawan.

Laga menjelang semi final, kami nonton lagi di stadion, di tribun kuning pojok timur. Aku tidak tahu kalau disana sering terjadi kerusuhan. Ah, waktu itu aku tak mau tahu apapun, yang aku ingin hanya menonton pertandingan sambil mengumandangkan chant slemania. Meski sesekali harus terhenti sejenak untuk menghafalkan lirik chant, suaraku tak pernah habis untuk bersorak.

Usai dari pertandingan itu, rasa dihatiku semakin penuh. Lega tak terkendali yang kurasakan. Bangga menjadi salah satu bagian dari suporter terbaik. Bahagia ikut memberikan dukungan pada tim yang kini mulai menjadi kesayanganku.

Candaan sesekali menggelitik ditelingaku. Aku ini anak pelosok Gunungkidul, kok ikut dukung PSS dan ikut ngechant bersama BCS yang notabene ada di Sleman? Tapi bagiku itu bukan sebuah problem, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada PSS, terlanjur sayang pada BCS.

Dan sewaktu pertandingan final, bukan cuma getar hati yang semakin hebat terasa di dada, tapi juga merinding. Entah kenapa, chant itu rasanya sudah menjadi bagian dari voice of the day milikku. Gemuruh itu tak terbendung selama 90 menit, apalagi ketika PSS berhasil menjadi juara, rasanya ingin meloncat tinggi hingga ke awan, bersama berpuluh-puluh flare yang dinyalakan.

Rasa-rasanya aku tak ingin menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk hadir serta di tribun kuning itu. Menjadi bagian disana. Bahkan kemarin sewaktu pertandingan PSS dengan Timnas U19 pun, tak henti-hentinya aku turut menggemakan chant slemania, apalagi ketika meneriakkan chant La Grande Storia dan Forza Sleman, hentakan-hentakan di hati itu meluap menjadi hentakan kaki dan teriakan lantang yang kusumbangkan dengan rela hati untuk Sleman.

Meski belum lama mengenalnya, aku terlanjur jatuh cinta pada PSS, aku terlanjur sayang pada BCS. Tak ada yang kusesali, aku justru bahagia sekaligus bangga. Indah sekali perasaan ini. Ingin rasanya aku bagi pada yang lain. Seperti ini lah rasanya jatuh cinta pada PSS, Ale! Dan sayang pada BCS, ora muntir!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar