Laman

Sabtu, 22 Februari 2014

I Know That Feel




//Walau hujan deras,
ku kan bersikeras
Panas matahari
ku tidak peduli
Super elang jawa,
selalu dihati
Ku dukung PSS
walau sampai mati//


Pagi ini, ketika aku masih menikmati semangkuk mie rebus dengan bongkahan telur yang diceplok dalam air panas dan sesekali menyeruput teh hangat di warung borjo dekat kampus untuk menetralisir suhu badanku, kisah itu hadir. Kisah yang ditulis dengan indah oleh seseorang, ya, entah seseorang itu siapa, tertulisa jelas dan disebarkan oleh sebuah page di facebook bernama SUPER ELANG JAWA FANS 1976. Kisah itu berjudul “PSS Sleman, Dan Awal Sebuah Perjalanan Besar.”

Kalimat demi kalimat terus ku baca, merinding seluruh bulu kuduk di tubuhku. Bukan karena ada makhluk halus mungkin saja tengah lewat dibelakangku, tapi kisah itu mengingatkanku kembali ke masa itu. Masa-masa perjuangan PSS musim lalu. Aku tahu perasaan itu, semangat mendukung, luka yang tertoreh secara tak sengaja, bahagia yang terluap begitu saja. Ya, aku memang baru dan masih muda untuk dikatakan sebagai pendukung PSS. Tapi setidaknya aku sekarang belajar mencintainya, cinta yang utuh.

Aku tahu bagaimana rasanya melihat klub kesayangan itu terus melaju dengan gagahnya, sesemangat itu pula aku terus mendukung. Memantau dari jauh. Aku tahu bagaimana rasanya luka itu, luka yang terus tergerus bersama dengan musibah itu, meski aku tak ada disana, luka itu juga tergores disini, dihatiku. Bahkan ketika bahagia itu, mereka melonjak kegirangan dengan haru dan bahagia. Aku ada juga disana, menangis bersama langit, berteriak bersama petasan, menggelora bersama flare yang menyala.


PSS Sleman, Dan Awal Sebuah Perjalanan Besar.

Diperkenalkan dengan sebuah klub (yang dulu aku anggap) medioker, PSS Sleman.

Jangan salahkan aku dengan pandanganku tentang tim ini, karena waktu itu aku memang lebih sering membaca dan berkenalan dengan tabloid olahraga yang mendongeng tentang liga eropa. Entah ditahun berapa, kala PSS masih menggunakan Tridadi sebagai homebase mereka, chants berbau rasis dan kadang melenceng dari niat awal yakni mendukung klub dari tribun, yang keluar justru chant "bakule tempe wooo, woo uu wooo uu wooo" dengan mengunakan nada dari salah satu lagu Gigi band. Ada juga cerita lucu sewaktu pertandingan tengah berlangsung karena cuaca panas, suporter Sleman yang waktu itu begitu banyak memiliki laskar namun kebanyakan tetap sewarna, mereka berteriak meminta air sepanjang pertandingan, and then benar saja ada kendaraan pemadam kebakaran yang mengemprotkan air dari luar stadion Tridadi, funniest day ever.

Suasana berubah drastis dipertengahan tahun 2000, dimana kondisi PSS semakin memburuk, sementara Persiba Bantul dan PSIM Yogyakarta makin hari makin digdaya dimasing masing kompetisi, kala itu aku bahkan tak tau apa liga yang diikuti PSS Sleman. Teman-temanku yang biasa berangkat bersama-sama ke Tridadi makin hari makin sedikit, mobil pick up yang biasa kami tumpangi tak lagi mau mengantar kami melihat Francis Wollo berlaga karena tau kami cuma sekumpulan bocah ingusan yang bahkan tak sanggup membelikan bensin, situasi chemistry ku dengan PSS makin buruk setelah Persiba mengukuhkan diri sebagai juara Liga. Tak ada lagi teman sekampung yang mau aku ajak ke Tridadi, sama sekali tak ada, dari mereka kebanyakan menyebrang ke klub tetangga dan balik mencibir aku dan PSS Sleman-ku.

Kawan, perasaan ini sama seperti engkau disliding temanmu sendiri ketika kau tengah mengejar cinta. Alhasil, aku sendirian berangkat ke stadion berbekal kenekatan membawa motor Ibuku meski tau sepulang stadion aku akan dimarahi habis-habisan. Seiring waktu aku berkenalan dengan Divta Janumarta, seorang punggawa Laskar Pangeran Puger, yang kemudian sudi menemaniku awaydays kebeberapa kota. Aku bukannya santo suci yang tak pernah tergoda, beberapa kali aku tergiur melihat PSIM berlaga, taukah kawan ? bukan atmosfer rumah yang aku rasakan. PSS, Tridadi dan Maguwoharjo lah yang menawarkan perasaan seperti dirumah untukku.

Carut marut liga makin menjadi setelah Nurdin Halid turun kasta sebagai Ketum PSSI, terjadi dualisme seperti yang kalian lihat beberapa tahun kebelakang. Saat krisis kepercayaan pada PSS dan liganya, aku bertemu dengan Aditya Kuswanto, Ananto Dwi Nugroho, orang orang hebat yang membawa kembali euforia cinta pada klub, sementara Divta sudah jauh maju kedepan dengan Ultras 1976 nya yang membawa gebrakan gebrakan baru untuk PSS Sleman. LPIS-lah, badan liga yang kemudian diikuti PSS PSS ditempatkan di Divisi Utama LPIS, liga yang entah terkadang disebut liga haram oleh beberapa kalangan toh tak menyurutkan semangat suporter Sleman yang makin hari makin besar, teman-temanku yang dulu berpaling ? beberapa dari mereka kembali ke tribun Maguwoharjo, beberapa lagi sudah enggan menonton sepakbola di stadion.

Aku pun menjadi saksi laga-laga krusial bagi PSS, menjamu Persis Solo di Maguwoharjo, melawat ke Nganjuk untuk penentuan puncak klasemen, pun tak luput ketika harus bertaruh keselamatan ketika menyusup ke Manahan Solo ketika situasi kedua kubu sedang panas-panasnya. Satu perasaan yang hampir membuat aku menangis ketika pemain kebanggaanku dilempari air seni, batu, dan nyanyian berbau rasial, rasanya sama seperti saat aku putus dengan mantanku sebelumnya, perih tak terperi. Meski laga itu kemudian dianulir, luka terlanjur mengangga, dan aku anggap Mahanan adalah mimpi buruk dalam konotasi sebenarnya.
Liga terus bergulir dan PSS menyentuh semifinal dengan status juara grup dan berhak menghadapi Persitara Jakarta Utara. Suasana stadion begitu riuh ketika PSS menjamu Persitara, bahkan kami harus datang ke stadion pukul 16.00 ketika pertandingan sendiri baru dimulai jam 19.00 hanya untuk mendapat tempat duduk dengan view sempurna. Perbedaan terlihat jelas pada pertandingan kali ini, meski ditinggal Juan Revi yang dipanggil Timnas, namun kolektifitas dan kejelian sayap PSS Sleman cukup membuat Persitara kerepotan, skor 3-0 yang dicetak Agung Suprayogi, Anang Hadi dan Monieaga. PSS meluncur mulus ke final, pun perasaanku yang masih tak percaya, ini semifinal, dan esok final. Dan 3-0 seperti terlalu mudah untuk kami.
Minggu, 10 November 2013. Adalah hari bersejarah bagi PSS, tim yang berdomisili dibawah lereng Merapi dengan gagahnya berdiri di panggung final liga, PSBL Bandar Lampung yang akan menjadi lawan mereka difinal adalah tim yang tak bias dipandang enteng, hanya sekali kalah diputaran grup dengan kolektifitas tim yang solid. Biarkan saya mengomentari sedikit tentang jalannya pertandingan. Dibabak pertama jelas terlihat kalahnya possesion ball PSS Sleman daripada Lampung FC, lini tengah Sleman terlihat timpang tanpa kehadiran rock midfielder macam Juan Revi. Babak pertama berakhir dengan skor imbang meski saya akui saya ketar-ketir melihat pertahanan Ade Christian dan Adelmund sempat diobok obok pemain Lampung FC.
Gol yang kami tunggu hadir dibabak kedua, Satrio Aji yang mendapat bola lalu menusuk kesisi kiri kotak pinalti PSBL kemudian melakukan shoot yang menerpa tiang gawang, bola memantul liar dan mengarah ke Agung Suprayogi yang berhasil menyontek bola masuk ke gawang Lampung, PSS scored and anyone happy, kami semua saling bersorak, berpelukan meski tak kenal satu sama lain di tribun.
Sayang mimpi juara didepan mata nyaris buyar, Lampung FC menyamakan kedudukan dimenit 70, memanfaatkan bola silang seorang pemain Lampung FC melakukan heading sembari menjatuhkan diri (setidaknya itu yang saya lihat ditribun), dan harus diakui itu adalah gol yang bagus dan pemanfaatan timing luar biasa. Pertandingan harus dilanjutkan dengan extra tine, kedua kubu terlihat sudah mulai kelelahan dengan kondisi lapangan yang cukup licin setelah diguyur hujan. Minimnya key passes dari second line menyulitkan Monieaga mendapat peluang, terlebih defender Lampung FC sangat lugas mengawal pemain dengan determinasi luar biasa tersebut.
Setelah 10 menit extra time tak kunjung mendapat kejutan, Mudah Yulianto yang memang sedang dalam topform menusuk lewat sisi kiri pertahanan Lampung FC kemudian mengirim umpan yang justru mengenai tangan pemain Lampung FC didalam kotak pinalti. PSS mendapat pinalti dimenit krusial ! Wahyu Gunawan yang turun sebagai eksekutor sukses mengangkangi kiper Lampung FC, skor 2-1 untuk PSS bertahan hingga peluit akhir.
PSS merengkuh gelarnya, Sang Elang terbang jauh, Euforia Sleman seperti Bosnia Herzegovina yang memastikan lolos Piala Dunia. Gemuruh dalam stadion laiknya SS Lazio kala menjuarai Coppa Italia musim lalu. Disudut stadion seorang pemuda berumur 20-an tahun menahan tangis haru, tangis bahagia, dulu ia diperkenalkan dengan PSS Sleman oleh bapaknya, kini ia menjadi saksi kehebatan tim kotanya bersama adiknya, tim yang tanpa sadar menempati satu ruang besar dihatinya, rasanya aneh, seperti ini kah rasanya juara ? ujarnya dalam hati.
Aku
Jika menangis adalah kesalahan, biarkan aku salah dan menjadi pendosa malam ini.
Ini tangis bahagia.
Ini tangis bangga.
Ini tangis seorang bocah yang selalu percaya, bahwa tim yang ia saksikan semasa kecil akan bermetamorfosa menjadi tim yang lebih kuat setiap harinya.
PSS Sleman tak butuh fans yang ngakunya dimana-mana yang bilang ini itu, cukup FANS yang setia datang mendukung PSS SLEMAN bukan gonta ganti klub dan yang penting mau beli tiket, tak butuh juga pemain berlabel bintang dengan harga selangit jika dia tak bisa loyal, 
Dari Sleman, Pada Sleman, Untuk Sleman. (Danta YK)
Mungkin nanti, jika aku lupa akan perasaan ini, akan ku buka kembali kisah itu, kisah yang mengingatkanku, pahit manis menjadi getir dalam sebuah perasaan untuk klub kesayangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar