aku tetap tersenyum,
meski tak ada kamu
Rasanya masih sama, sakit.
Sakit yang terulang berkali-kali. Ah, entah kemana hatiku, yang sudah tak berbentuk karena didera rasa rindu dan cemburu, kemudian sayatan luka yang tergores entah sudah berapa banyaknya, tak terhitung kiranya. Hingga saat ini, aku tak pernah mengerti pemikiran laki-laki. Intensnya perhatian pun tak menjadi alasan untuk kuat bertahan, dan segala janji itu layu seiring berjalannya waktu.
Sakit yang terulang berkali-kali. Ah, entah kemana hatiku, yang sudah tak berbentuk karena didera rasa rindu dan cemburu, kemudian sayatan luka yang tergores entah sudah berapa banyaknya, tak terhitung kiranya. Hingga saat ini, aku tak pernah mengerti pemikiran laki-laki. Intensnya perhatian pun tak menjadi alasan untuk kuat bertahan, dan segala janji itu layu seiring berjalannya waktu.
Ah, mulut lelaki, susah sekali rasanya menggenggam
kata-katanya. Terkadang mereka lupa, setiap patah kata yang keluar dari bibir
mereka akan terekam jelas ditelinga kekasihnya, dan setiap mimpi yang mereka
rangkai, adalah janji yang harus ditepati kelak nanti.
Dan harusnya aku, sudah tahu alur semua kisah itu. Tapi yang
terjadi saat ini, tidak hanya diluar nalarku, tapi juga diluar persepsiku. Feeling
itu bukan sekedar naluri, tapi juga intuisi. Tak mau belajar dari pengalaman,
hanya mengandalkan perasaan, memang aku tahu semua akan berakhir seperti ini,
meski berkali-kali ku tepis prasangka yang membalut pikiranku sejak dini.
Mungkin aku yang salah, tak mampu menjaga hati yang
dititipkan padaku. Setiap kali selalu berulang, mungkin aku yang selalu gamang.
Ah, tidak ada yang perlu disesalkan, tak ada yang menderita kan? Kau masih
sibuk dengan pemikiranmu, dan aku mulai sibuk menata perasaanku.
Sejak awal, harusnya kamu pahami, hati ini sudah rapuh, kau
sentuh pun harus dengan hati-hati, tapi usai kau sentuh, bukan berarti kau
boleh remukkan. Hati ini sudah goyah, berada diujung pengharapan, jangan kau
usik dan kau hancurkan.
Awalnya memang begitu sempurna, rasa dicintai dengan begitu
indahnya, tapi kenapa harus berakhir luka, dengan segala kepenatan yang
tersisa?
Sekali lagi, aku pernah merasai, mengubah pandanganku
tentang lelaki, yang tak hanya bisa menyakiti, tapi juga membuat nyaman dan
menyayangi. Tapi sekarang ini, yang tersisa adalah pemikiran lama, yang usang
penuh dengan debu dan jelaga.
Apakah harus ku tanya lagi? Mampu kah kau jaga hubungan kita
ketika ikatan itu sudah terlanjur menjadi simpul yang begitu eratnya?
Tapi aku lupa, kau yang membuat simpulnya, seerat-eratnya
simpul itu, kau pasti tahu bagaimana mengurainya kembali. Dan aku hanya bisa
menatapi, simpul yang terurai tanpa bisa ku tahan lagi.
Kau tahu, hati ini sudah lelah menunggu, menunggu kepastian
darimu. Bukan apa-apa, digantung itu rasanya begitu menyiksa, dan luka yang
mengangga pun belum tentu bisa dijahit sempurna. Dan kini, ketika aku sudah
terbiasa tersakiti oleh luka yang membalur leher pengharapanku, kau putuskan
tanpa bicara. Dan aku yang masih tergugu, dengan pengharapan sekian waktu,
hanya mampu terjatuh sempurna diatas rambatan duri yang melata. Sakit yang
semakin sakit saja.
Akupun tak tahu perasaanmu disana seperti apa, hanya mampu
menerka-nerka tanpa kepastian yang nyata. Apa harus kuulangi lagi pertanyaanku,
masihkah diriku ini kau anggap ada?
Terimakasih untuk luka yang kau cipta, dan segala rasa cinta
yang pernah kau bawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar