Laman

Sabtu, 15 Maret 2014

Love in Flare

Terdiam di ujung tribun selatan stadion Maguwoharjo, Dara merasa gamang. Bukan karena apa-apa, tapi dia masih merasa asing dengan keadaan disekelilingnya. Wajah putih mulusnya yang menampilkan kesan imut itu tenggelam dalam lautan manusia yang secara keseluruhan mengenakan topeng, masker, slayer dan syal. Dara meringis kecut, gigi gingsulnya yang selama ini memberikan kesan manis pada wajahnya, kini memudar pesonanya. Dara merasa ciut.

“Salah beli tiket ini,” gerutu Dara dalam hati. Bibir manyunnya semakin menjadi. Apalagi ditambah alis yang selama ini memayungi matanya yang menyorot tajam itu menekuk ketengah, menimbulkan kesan kekecewaan yang luar biasa.

Tadi pagi Ira sudah mengingatkannya untuk datang tepat waktu, tapi ketika dia sampai di stadion, Ira sudah masuk duluan. Tinggal Dara yang manyun sendiri didepan ticket box. Karena kesal, akhirnya dia asal membeli tiket tanpa tahu Ira berada dimana. Ketika masuk, baru dia menyadari bahwa dia membeli tiket yang salah. Seharusnya dia membeli tiket di tribun penonton, bukan tribun supporter.

Paling tidak dia tidak salah kostum. Hampir seluruh makhluk yang ada di tribun selatan itu mengenakan baju hitam dan bersepatu. Dara memandangi dirinya sendiri. Jilbab hitamnya, baju hitam dengan rompi, celana jeans hitamnya sekaligus sepatu sneakersnya. Aman.

“Dara?”

Sebuah sapaan itu menyejukkan hati Dara. Wajah Dara seketika sumringah, ditengah lautan manusia yang berjumlah ribuan ini, masih ada yang mengenalnya.

“Ya?” balas Dara sembari memamerkan senyum termanisnya. Senyum itu beradu dengan senyuman seorang cowok yang tengah berdiri tak jauh dari tempat Dara berdiri. Rambutnya yang sedikit berantakan meski sempat disisir asal. Kaos oblong hitam dan celana jeans belel. Belum lagi syal yang menggantung dileher itu. Wajah yang tak asing dengan senyum tipis tersungging. Kebahagiaan Dara seketika lenyap begitu mengetahui dari siapa sapaan itu bermula.

Dia adalah Adit. Temen sekelasnya yang sedikit badung itu. Bahkan telinga sebelah kirinya nekat dia tindik. Meski sudah diperingatkan berkali-kali oleh guru BP, bahkan nyaris diancam drop out, Adit tetap saja ngeyel. Menurutnya itu adalah ciri khasnya. Dara sendiri tak mengerti dengan pemikiran Adit.

“Ngapain kamu disini?” Tanya Adit keheranan.

“Nonton bola dong, masak iya aku jualan kacang goreng,” jawab Dara asal sembari memperhatikan sekeliling. Siapa tahu ada orang lain yang mengenalnya. Tapi hasilnya nihil.

Di antara beribu manusia di tribun ini, hanya Adit seorang yang dia kenal. Dengan tidak manusiawi, Dara memandangi Adit dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Adit yang merasa ditatap dengan serius oleh Dara mengeryitkan keningnya, menampilkan wajah kebingungan. Matanya memancarkan rasa ingin tahu, sementara Dara yang masih saja memandangi Adit dengan tatapan menyelidiknya hanya mampu manyun-manyun sendiri.

“Kenapa? Aku ganteng ya?”

Dara memonyongkan bibirnya, menandakan ketidaksetujuannya atas pertanyaan sekaligus pernyataan tersirat Adit. Adit terkekeh. Dalam hati Dara mengakui senyum Adit manis sekali saat ini.

“Kok kamu bisa nyasar kesini?”

“Ketinggalan temen-temen yang lain, ternyata salah beli tiket,”

“Kok bisa salah beli tiket?”

“Mana ku tahu, baru sekali ini aku nonton bola di stadion,” jawab Dara masih dengan bibir manyunnya, “padahal sudah janji nonton bareng sama Ira dan Ridwan,”

Adit tertawa melihat kekesalan Dara. Pantas saja manyun itu tidak lepas dari bibir Dara. Adit mendekatkan posisinya ke samping Dara. Dara melotot protes.

“Ngapain kamu?” tanya Dara curiga.

“Jagain kamu,” jawab Adit kalem.

Dalam hati Dara bersyukur. Sebadung-badungnya Adit, ternyata masih memiliki jiwa lelaki pelindung juga. Dara tersenyum dalam hati.

Peluit tanda pertandingan dimulai, Dara terbengong-bengong melihat suasana yang sangat beda jauh dengan yang biasa ia lihat di televisi. Roll paper berterbangan menghujani lapangan bagian selatan. Belum selesai kekaguman Dara pada roll paper yang berjumlah puluhan itu, tiba-tiba suara kembang api menghujani gendang telinga Dara. Bomb smoke dan flare pun dinyalakan.

Masker. Dara segera mencari masker yang kemarin pagi masih terselip di tasnya. Tapi tak kunjung dia temukan. Khawatir asmanya kambuh, Dara buru-buru mengambil ujung jilbabnya untuk menutupi hidung dan mulutnya. Menyadari hal tersebut tidak memberikan banyak arti, Dara mulai terbatuk-batuk.

Dara merasa lengan kanannya ditarik. Matanya terlanjur perih untuk melihat sekelilingnya, setidaknya dia masih paham bahwa yang ada disebelah kanannya adalah Adit. Adit menarik lengan Dara bukan hanya untuk merapatkan barisan saja, tapi juga memeluknya. Dara berontak, hendak protes, tapi Adit terlalu erat memeluknya.

“Dit!” protes Dara.

Dara mendengar Adit bergumam, tapi hanya gumaman yang ia dengar, tidak ada kalimat lain sebagai penjelas. Tapi paling tidak sekarang Dara merasa tenang, sudah tidak terlalu banyak asap yang mengganggunya, dia merasa nyaman dalam pelukan Adit.

Hampir sepuluh menit sampai akhirnya Adit melepaskan pelukannya. Dara yang sudah terlanjur nyaman tergugu sejenak. Dipandanginya wajah Adit yang terhalang oleh slayer hitam. Hanya sepasang mata teduh itu yang mampu dia tatapi. Sejenak.

Detik selanjutnya gegap gempita menggaung ditelinganya. Dara tersentak bingung. Dilihat Adit juga bernyanyi lantang. Slayer hitam yang menyelubungi wajahnya diturunkan. Dara terhenyak seketika. Baru sekali ini harus dia akui ketampanan Adit yang selama ini dia lewatkan.

Rambut Adit yang tadi berantakan kini kian berantakan saja, apalagi keringat mulai meleleh membasahi wajah sekaligus badannya, terlihat semakin seksi saja. Hidungnya yang mancung, bibir tipisnya, alisnya yang tebal memayungi sepasang mata teduh itu, semuanya kini terlihat sempurna saja.

Deg! Jantung Dara seakan berhenti berdetak, kemudian kembali berdenyut satu-satu. Mungkinkah ini cinta?

“Mbak! Kalau mau jadi penonton di tribun merah atau tribun biru saja,” bentak seseorang.

Dara tergagap.

Tiba-tiba dia merasa jemarinya digenggam. Adit.

“Hafalin dulu liriknya, lalu nyanyi sama-sama,” bujuk Adit dengan suaranya yang kini mulai parau. Dara menganggukkan senyum.

Dara mulai terbiasa di tribun ini. Meski suaranya masih kalah keras, dia tetap saja ikut bernyanyi, ternyata begitu menyenangkan. Genggaman tangan Adit semakin erat saja dia rasakan. Semakin nyaman juga perasaannya dalam hati. Dara membagi senyumnya.

Ketika gol tercipta, sorak sorai itu semakin menggelegar. Dara nyaris terjungkal ketika orang-orang disekelilingnya berlonjakan kegirangan. Untung genggaman tangan Adit belum dilepaskan, hingga Dara masih mampu mengatur keseimbang. Baru saja Dara nyaman dengan posisinya berdiri sekarang, sekali lagi lengannya disentakkan.

Pelukan kedua.

Ini bukan lagi tentang asap dari bomb smoke dan flare yang menyesakkan. Dara merasa lain. Selain degup jantungnya, dia mendengarkan degup jantung lain. Sama-sama memburu, sama-sama berdegup kencang tak beraturan. Dara bengong.

Tapi belum sempat Dara melayangkan protes, peluit panjang terdengar. Itu berarti pertandingan telah berakhir.

Suasana semakin menggelora. Roll paper semakin banyak yang berhamburan dan kembang api seakan berlomba-lomba menyentuh langit untuk kemudian memercikkan bunga apinya. Bomb smoke dan flare masih saja berseteru dengan asap yang membumbung, menyala sebatas pagar tribun. Kemudian asapnya menyelimuti tribun selatan.

Dara mengeratkan pelukannya, dia tidak mau asmanya kambuh di kemelut yang bahagia ini, apalagi dipelukan Adit. Adit mengusap punggungnya perlahan sembari membetulkan letak slayer hitamnya. Adit sendiri merasa tersiksa dengan debaran jantungnya sendiri. Antara degup jantung karena terpacu oleh chant, sekaligus terpicu oleh cinta.

Dara, gadis manis yang mencuri hatinya sejak masuk SMU itu benar-benar membuatnya kewalahan. Berkali-kali dia mencoba mencuri perhatian darinya, tapi Dara terlalu cuek, dan dia hanya mampu menelan pahit perjuangannya. Nyaris drop out pun pernah ia alami, tapi tak membuat Dari memandangnya dengan sepenuh hati. Justru pandangan kasihan dan cibiran yang ia dapatkan.

Dara terlalu sibuk dengan urusan pelajaran. Seluruh mata pelajaran dia unggul, bahkan dengan tubuhnya yang mungil berisi itu mampu membuatnya unggul di mata pelajaran olahraga. Adit hanya mampu tersenyum kecut mengetahui bahwa harapannya terlalu jauh untuk menggapai bintang kelas itu.

Nyaris Adit putus asa. Hingga pada akhirnya, hari ini secara tak sengaja dia bertemu Dara disini. Meski sebenarnya dia masih saja penasaran mengapa gadis manis, mungil dan imut ini bisa nyasar di tribun selatan yang tak pernah dibayangkan oleh Dara untuk disinggahi, Adit hanya mampu menganggap bahwa ini adalah keajaiban Tuhan.

Kini gadis itu merasa nyaman dalam pelukannya, mencari kehangatan sekaligus kebebasan, dan Adit mampu memberikan itu dengan seluruh jiwa raganya. Bahkan jika terjadi kerusuhan saat itu, Adit akan dengan rela menjadi tameng untuknya, demi menjaga cintanya.

“Dit?” tanya Dara dengan suaranya yang kini berubah, serak.

“Ya?” sahut Adit dengan suara yang tak kalah parau.

“Asapnya masih tebal?”

“Masih,”

Meski sebenarnya asap sudah mulai menipis, Adit tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan datang untuk kedua kalinya. Adit semakin mengeratkan pelukannya. Dara pun hanya mampu terdiam dalam pelukan Adit, berusaha meredam degup jantungnya yang semakin tak karuan.

Jujur ingin dia akui bahwa dia menyukai lelaki ini. Sejak awal dia masuk sekolah, dia sudah tertarik pada Adit. Hanya saja, beberapa waktu terakhir dia mulai tidak menyukai Adit karena badungnya yang semakin menggila saja. Dara tidak pernah tahu bahwa kenakalan Adit adalah salah satu cara untuk mencuri hatinya, yang Dara tahu adalah Adit yang badung, yang tak pernah menuruti perintah guru, yang hobi bolos sekolah dan pernah sekali ikut tawuran.

Pelukan itu masih saja memaku mereka berdua untuk mematung. Tak berapa lama, getaran handphone mereka menjadi jeda untuk pelukan yang sedemikian eratnya. Dara beringsut melepaskan diri dari pelukan Adit, begitu pula dengan Adit yang mulai melonggarkan pelukkannya. Mereka meraih handphone mereka masing-masing.

From: Ira
To: Dara
Take care ya beb, ada Adit yang jagain kamu kan?

Dara terbengong-bengong memandangi layar handphonenya, ekspresi yang sama juga ditunjukkan oleh Adit.

From: Ridwan
To: Adit
Jagain Dara baik-baik ya, kasihan, baru sekali nonton di stadion dia,

Adit dan Dara saling beradu pandang. Tak ada kata-kata yang mampu mereka ungkapkan, hanya sepasang senyum yang bisa menjadi penerjemah suasana hati. Flare masih menyala, begitu pula dengan cinta mereka.
  
*ENDLESS*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar