Terdiam di
ujung tribun selatan stadion Maguwoharjo, Dara merasa gamang. Bukan karena
apa-apa, tapi dia masih merasa asing dengan keadaan disekelilingnya. Wajah
putih mulusnya yang menampilkan kesan imut itu tenggelam dalam lautan manusia
yang secara keseluruhan mengenakan topeng, masker, slayer dan syal. Dara
meringis kecut, gigi gingsulnya yang selama ini memberikan kesan manis pada
wajahnya, kini memudar pesonanya. Dara merasa ciut.
“Salah beli
tiket ini,” gerutu Dara dalam hati. Bibir manyunnya semakin menjadi. Apalagi
ditambah alis yang selama ini memayungi matanya yang menyorot tajam itu menekuk
ketengah, menimbulkan kesan kekecewaan yang luar biasa.
Tadi pagi
Ira sudah mengingatkannya untuk datang tepat waktu, tapi ketika dia sampai di
stadion, Ira sudah masuk duluan. Tinggal Dara yang manyun sendiri didepan ticket box. Karena kesal, akhirnya dia
asal membeli tiket tanpa tahu Ira berada dimana. Ketika masuk, baru dia
menyadari bahwa dia membeli tiket yang salah. Seharusnya dia membeli tiket di
tribun penonton, bukan tribun supporter.
Paling
tidak dia tidak salah kostum. Hampir seluruh makhluk yang ada di tribun selatan
itu mengenakan baju hitam dan bersepatu. Dara memandangi dirinya sendiri.
Jilbab hitamnya, baju hitam dengan rompi, celana jeans hitamnya sekaligus
sepatu sneakersnya. Aman.
“Dara?”
Sebuah
sapaan itu menyejukkan hati Dara. Wajah Dara seketika sumringah, ditengah
lautan manusia yang berjumlah ribuan ini, masih ada yang mengenalnya.
“Ya?” balas
Dara sembari memamerkan senyum termanisnya. Senyum itu beradu dengan senyuman
seorang cowok yang tengah berdiri tak jauh dari tempat Dara berdiri. Rambutnya
yang sedikit berantakan meski sempat disisir asal. Kaos oblong hitam dan celana
jeans belel. Belum lagi syal yang menggantung dileher itu. Wajah yang tak asing
dengan senyum tipis tersungging. Kebahagiaan Dara seketika lenyap begitu
mengetahui dari siapa sapaan itu bermula.
Dia adalah
Adit. Temen sekelasnya yang sedikit badung itu. Bahkan telinga sebelah kirinya
nekat dia tindik. Meski sudah diperingatkan berkali-kali oleh guru BP, bahkan
nyaris diancam drop out, Adit tetap
saja ngeyel. Menurutnya itu adalah ciri khasnya. Dara sendiri tak mengerti
dengan pemikiran Adit.
“Ngapain
kamu disini?” Tanya Adit keheranan.
“Nonton
bola dong, masak iya aku jualan kacang goreng,” jawab Dara asal sembari
memperhatikan sekeliling. Siapa tahu ada orang lain yang mengenalnya. Tapi
hasilnya nihil.
Di antara
beribu manusia di tribun ini, hanya Adit seorang yang dia kenal. Dengan tidak
manusiawi, Dara memandangi Adit dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Adit yang
merasa ditatap dengan serius oleh Dara mengeryitkan keningnya, menampilkan
wajah kebingungan. Matanya memancarkan rasa ingin tahu, sementara Dara yang
masih saja memandangi Adit dengan tatapan menyelidiknya hanya mampu
manyun-manyun sendiri.
“Kenapa?
Aku ganteng ya?”
Dara
memonyongkan bibirnya, menandakan ketidaksetujuannya atas pertanyaan sekaligus
pernyataan tersirat Adit. Adit terkekeh. Dalam hati Dara mengakui senyum Adit
manis sekali saat ini.
“Kok kamu
bisa nyasar kesini?”
“Ketinggalan
temen-temen yang lain, ternyata salah beli tiket,”
“Kok bisa
salah beli tiket?”
“Mana ku
tahu, baru sekali ini aku nonton bola di stadion,” jawab Dara masih dengan
bibir manyunnya, “padahal sudah janji nonton bareng sama Ira dan Ridwan,”
Adit
tertawa melihat kekesalan Dara. Pantas saja manyun itu tidak lepas dari bibir
Dara. Adit mendekatkan posisinya ke samping Dara. Dara melotot protes.
“Ngapain kamu?”
tanya Dara curiga.
“Jagain
kamu,” jawab Adit kalem.
Dalam hati
Dara bersyukur. Sebadung-badungnya Adit, ternyata masih memiliki jiwa lelaki
pelindung juga. Dara tersenyum dalam hati.
Peluit
tanda pertandingan dimulai, Dara terbengong-bengong melihat suasana yang sangat
beda jauh dengan yang biasa ia lihat di televisi. Roll paper berterbangan menghujani lapangan bagian selatan. Belum
selesai kekaguman Dara pada roll paper
yang berjumlah puluhan itu, tiba-tiba suara kembang api menghujani gendang
telinga Dara. Bomb smoke dan flare pun dinyalakan.
Masker.
Dara segera mencari masker yang kemarin pagi masih terselip di tasnya. Tapi tak
kunjung dia temukan. Khawatir asmanya kambuh, Dara buru-buru mengambil ujung
jilbabnya untuk menutupi hidung dan mulutnya. Menyadari hal tersebut tidak
memberikan banyak arti, Dara mulai terbatuk-batuk.
Dara merasa
lengan kanannya ditarik. Matanya terlanjur perih untuk melihat sekelilingnya,
setidaknya dia masih paham bahwa yang ada disebelah kanannya adalah Adit. Adit
menarik lengan Dara bukan hanya untuk merapatkan barisan saja, tapi juga
memeluknya. Dara berontak, hendak protes, tapi Adit terlalu erat memeluknya.
“Dit!”
protes Dara.
Dara
mendengar Adit bergumam, tapi hanya gumaman yang ia dengar, tidak ada kalimat
lain sebagai penjelas. Tapi paling tidak sekarang Dara merasa tenang, sudah
tidak terlalu banyak asap yang mengganggunya, dia merasa nyaman dalam pelukan
Adit.
Hampir
sepuluh menit sampai akhirnya Adit melepaskan pelukannya. Dara yang sudah
terlanjur nyaman tergugu sejenak. Dipandanginya wajah Adit yang terhalang oleh
slayer hitam. Hanya sepasang mata teduh itu yang mampu dia tatapi. Sejenak.
Detik
selanjutnya gegap gempita menggaung ditelinganya. Dara tersentak bingung.
Dilihat Adit juga bernyanyi lantang. Slayer hitam yang menyelubungi wajahnya
diturunkan. Dara terhenyak seketika. Baru sekali ini harus dia akui ketampanan
Adit yang selama ini dia lewatkan.
Rambut Adit
yang tadi berantakan kini kian berantakan saja, apalagi keringat mulai meleleh
membasahi wajah sekaligus badannya, terlihat semakin seksi saja. Hidungnya yang
mancung, bibir tipisnya, alisnya yang tebal memayungi sepasang mata teduh itu,
semuanya kini terlihat sempurna saja.
Deg!
Jantung Dara seakan berhenti berdetak, kemudian kembali berdenyut satu-satu.
Mungkinkah ini cinta?
“Mbak!
Kalau mau jadi penonton di tribun merah atau tribun biru saja,” bentak
seseorang.
Dara
tergagap.
Tiba-tiba
dia merasa jemarinya digenggam. Adit.
“Hafalin
dulu liriknya, lalu nyanyi sama-sama,” bujuk Adit dengan suaranya yang kini
mulai parau. Dara menganggukkan senyum.
Dara mulai
terbiasa di tribun ini. Meski suaranya masih kalah keras, dia tetap saja ikut
bernyanyi, ternyata begitu menyenangkan. Genggaman tangan Adit semakin erat
saja dia rasakan. Semakin nyaman juga perasaannya dalam hati. Dara membagi
senyumnya.
Ketika gol
tercipta, sorak sorai itu semakin menggelegar. Dara nyaris terjungkal ketika
orang-orang disekelilingnya berlonjakan kegirangan. Untung genggaman tangan
Adit belum dilepaskan, hingga Dara masih mampu mengatur keseimbang. Baru saja
Dara nyaman dengan posisinya berdiri sekarang, sekali lagi lengannya
disentakkan.
Pelukan
kedua.
Ini bukan
lagi tentang asap dari bomb smoke dan
flare yang menyesakkan. Dara merasa
lain. Selain degup jantungnya, dia mendengarkan degup jantung lain. Sama-sama
memburu, sama-sama berdegup kencang tak beraturan. Dara bengong.
Tapi belum
sempat Dara melayangkan protes, peluit panjang terdengar. Itu berarti
pertandingan telah berakhir.
Suasana
semakin menggelora. Roll paper
semakin banyak yang berhamburan dan kembang api seakan berlomba-lomba menyentuh
langit untuk kemudian memercikkan bunga apinya. Bomb smoke dan flare masih
saja berseteru dengan asap yang membumbung, menyala sebatas pagar tribun.
Kemudian asapnya menyelimuti tribun selatan.
Dara
mengeratkan pelukannya, dia tidak mau asmanya kambuh di kemelut yang bahagia
ini, apalagi dipelukan Adit. Adit mengusap punggungnya perlahan sembari
membetulkan letak slayer hitamnya. Adit sendiri merasa tersiksa dengan debaran
jantungnya sendiri. Antara degup jantung karena terpacu oleh chant, sekaligus terpicu oleh cinta.
Dara, gadis
manis yang mencuri hatinya sejak masuk SMU itu benar-benar membuatnya
kewalahan. Berkali-kali dia mencoba mencuri perhatian darinya, tapi Dara
terlalu cuek, dan dia hanya mampu menelan pahit perjuangannya. Nyaris drop out pun pernah ia alami, tapi tak
membuat Dari memandangnya dengan sepenuh hati. Justru pandangan kasihan dan
cibiran yang ia dapatkan.
Dara
terlalu sibuk dengan urusan pelajaran. Seluruh mata pelajaran dia unggul,
bahkan dengan tubuhnya yang mungil berisi itu mampu membuatnya unggul di mata
pelajaran olahraga. Adit hanya mampu tersenyum kecut mengetahui bahwa
harapannya terlalu jauh untuk menggapai bintang kelas itu.
Nyaris Adit
putus asa. Hingga pada akhirnya, hari ini secara tak sengaja dia bertemu Dara
disini. Meski sebenarnya dia masih saja penasaran mengapa gadis manis, mungil
dan imut ini bisa nyasar di tribun selatan yang tak pernah dibayangkan oleh
Dara untuk disinggahi, Adit hanya mampu menganggap bahwa ini adalah keajaiban
Tuhan.
Kini gadis
itu merasa nyaman dalam pelukannya, mencari kehangatan sekaligus kebebasan, dan
Adit mampu memberikan itu dengan seluruh jiwa raganya. Bahkan jika terjadi
kerusuhan saat itu, Adit akan dengan rela menjadi tameng untuknya, demi menjaga
cintanya.
“Dit?” tanya
Dara dengan suaranya yang kini berubah, serak.
“Ya?” sahut
Adit dengan suara yang tak kalah parau.
“Asapnya
masih tebal?”
“Masih,”
Meski
sebenarnya asap sudah mulai menipis, Adit tak mau menyia-nyiakan kesempatan
yang mungkin tidak akan datang untuk kedua kalinya. Adit semakin mengeratkan
pelukannya. Dara pun hanya mampu terdiam dalam pelukan Adit, berusaha meredam
degup jantungnya yang semakin tak karuan.
Jujur ingin
dia akui bahwa dia menyukai lelaki ini. Sejak awal dia masuk sekolah, dia sudah
tertarik pada Adit. Hanya saja, beberapa waktu terakhir dia mulai tidak
menyukai Adit karena badungnya yang semakin menggila saja. Dara tidak pernah
tahu bahwa kenakalan Adit adalah salah satu cara untuk mencuri hatinya, yang
Dara tahu adalah Adit yang badung, yang tak pernah menuruti perintah guru, yang
hobi bolos sekolah dan pernah sekali ikut tawuran.
Pelukan itu
masih saja memaku mereka berdua untuk mematung. Tak berapa lama, getaran handphone mereka menjadi jeda untuk
pelukan yang sedemikian eratnya. Dara beringsut melepaskan diri dari pelukan
Adit, begitu pula dengan Adit yang mulai melonggarkan pelukkannya. Mereka
meraih handphone mereka
masing-masing.
From: Ira
To: Dara
Take care ya beb, ada Adit yang jagain kamu
kan?
Dara
terbengong-bengong memandangi layar handphonenya, ekspresi yang sama juga
ditunjukkan oleh Adit.
From: Ridwan
To: Adit
Jagain Dara baik-baik ya, kasihan, baru sekali
nonton di stadion dia,
Adit dan
Dara saling beradu pandang. Tak ada kata-kata yang mampu mereka ungkapkan, hanya sepasang senyum yang bisa menjadi penerjemah suasana hati. Flare masih menyala, begitu pula dengan
cinta mereka.
*ENDLESS*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar