Nyaris. Kata yang tepat untuk menggambarkan keadaanku kemarin. Nyaris. Nyaris. Dan nyaris.
Seperti ini rasanya, layaknya punya dua kekasih yang dua-duanya harus diapeli dalam waktu yang hampir bersamaan. Kalau sesuai dengan perhitunganku, pagi aku ngapeli WDC di embung nglanggeran, sorenya ngapeli PSS di stadion Maguwoharjo. Tapi ternyata, ada yang lain lagi muncul tiba-tiba, merusak rencana.
Pagi hari, seperti yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, sekitar pertengahan Februari, terlaksana. Baru saja membuka mata, memandangi jam di handphone, adzan subuh juga baru saja berkumandang, sebentar ku pejamkan mataku. Ketika adzan sudah mulai sayup, tanganku tergerak mencari satu kontak, menekan tombol dial. Tidak ada sahutan, kupastikan dia sudah terbangun dengan sebuah pesan. Dan hanya satu huruf yang kembali padaku. “Y”
Dengan mata masih menahan kantuk, aku berjalan ke tempat yang sudah ku janjikan. Tak berapa lama dia datang, kemudian kami pergi untuk sekedar sarapan. Ah, baru juga kita bertemu, dia harus melihat betapa ektrim porsi makanku. Tapi aku tak pernah peduli dengan pemikiran orang lain mengenai porsi makanku, yang aku tahu perut ini penuh terisi.
Perjalanan itu masih sama dengan perjalananku yang dulu, menuju pendopo embung nglanggeran. Jalan terjal mendaki, dan sudah beberapa orang menanti, akhirnya kami sampai. Kegiatan berjalan lancar, meski sesekali ada beberapa bumbu yang dipaksa hadir untuk melengkapi.
Kabar bahwa kakakku sedang sakit, ditambah siang nanti harus sudah ada di Jogja untuk melihat laga bola, membuatku pusing tak karuan. ku putuskan untuk tidak ikut nonton bola, dan memilih pulang ke kost kakakku untuk merawatnya. Kebetulan bapak juga sedang ada di Jogja. Ku rangkai kata-kata sebelum ku kirimkan pada temanku yang menungguku di Jogja.
Pertamanya aku mencoba untuk menelfonnya, tapi tak ada jawaban. Dengan sangat terpaksa aku mengirimkan pesan itu, pada Ayah dan mbak Yanti. Tepat saat tombol send ku tekan, air mataku seakan tumpah. Susah payah aku coba sembunyikan, karena saat itu aku masih ada di acara WDC.
Kecewa. Iya. Aku kecewa. Hari ini semua acara berantakan. Kacau sudah pikiranku. Ada balasan dari temanku. Katanya, jika masih ada luang waktu, maka aku harus ikut bersama mereka nonton bola. Aku semakin tergugu dalam fikiranku. Sudah dapat kubayangkan wajah-wajah mereka yang kecewa. Aku sendiri pun kecewa. Rainbow smoke bomb itu. Triple flare itu. PSS itu. Ah, semua hanya bayangan.
Usai acara, kami jalan-jalan di embung, sedikit kecewa karena suasananya tak seperti yang kubayangkan, tak seindah yang ada dalam fikiran. Telfon itu datang, dari seorang kawan. Aku yang sedang pusing tak karuan, sekali sempat menyemburkan kemarahan. Beberapa orang disampingku kaget dan langsung terdiam. Suasana tiba-tiba berubah mencekam.
Aku memaksa untuk turun, meski dengan bibir manyun, dan rasa bersalah datang bertubi-tubi. Apalagi ketika mereka bicara tentang pantai, aih, dalam hati ingin, tapi tak bisa. Apalagi ketika temanku berkata, “baru kali ini ngajak cewek ke pantai tapi nggak mau,” Aku ingin nonton bola. Saat ini. Tak ada yang lain.
Perasaan tak enak dengan temanku, perasaan bersalah dengan kawanku. Ah, aku ini memang merepotkan siapa saja.
Hapeku kembali berdering, nomor kakakku, tapi aku tahu, yang mengirimkan pesan adalah pacar kakakku. Memintaku untuk datang, ku bilang selepas maghrib aku baru bisa menyambangi kostnya.
Setengah tiga, aku akhirnya sampai di basecamp, baru saja aku turun dari boncengan, sudah disambut temanku menuju stadion. Tanpa menghela satu nafas untuk istirahat, aku kembali berpacu dengan waktu. Tak terbayang gegap gempita nanti yang menyambutku.
Sampai di rumah temanku, semua sudah berkumpul, dan bersiap untuk berangkat. Bahagia ini. Bahagia ini. Hanya itu yang dapat ku katakan dalam hati.
Masih dengan kaos wonosari dot com, aku melangkah menuju tribun selatan, tak sabar menunggu smoke dinyalakan. Tak sabar menunggu pertandingan. Dan tak sabar menunggu flare yang kemarin sempat padam dinyalakan.
Harusnya aku merasa penat, merasa capek, naik turun gunung, kemudian harus berlonjak-lonjak menyanyikan chants. Ah, tapi siapa yang bakal merasa capek memberikan dukungan untuk PSS Sleman? Aku justru makin bersemangat. Makin lantang bernyanyi. Meski sesekali harus kututupi wajah ini dengan masker, slayer dan syal, karena asap smoke begitu menyesakkan.
Akhirnya semua berjalan lancar. Meski flare harus mlipir, suasana tetap seindah sebelumnya. Usai dari sana, aku merapat ke kost kakakku, menjaganya yang tengah tertidur lelap, berharap dia lekas sembuh.
Hari ini, #WDCday dan #PSSday dapat kulalui dengan khidmat.
Terima kasih untuk semua.
Terimakasih teman.
Terimakasih kawan.
Terimakasih PSS Sleman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar