Hari ini (27/5) merupakan hari jadi Gunungkidul yang ke 183.
Selain memperingati hari lahir, seluruh warga juga mengenang gempa yang delapan
tahun lalu meluluh lantakkan kota Jogja. Satu-satu dulu ya bahasnya, mau bahas
Gunungkidul dulu. Aku sebenarnya bukan asli anak Gunungkidul, lahir aja numpang
di Klaten. Maklumi, mamakku orang Gunungkidul, sementara bapakku orang Klaten.
Meski sebenarnya kedua orangtuaku menetap di Klaten, kedua
kakakku lahir di Gunugkidul. Hal ini dikarenakan kakekku yang tinggal di
Gunungkidul ingin cucunya lahir disana. Dan ketika ibuku hamil tua karena mengandung
aku, tetangga-tetangga yang ada di Klaten langsung nyeletuk, kenapa nggak
pulang ke Gunungkidul buat lahiran. Merasa disindir, mamakku memutuskan untuk
melahirkanku di sana.
Dan ketika aku berumul 3 tahun, tepatnya tahun 1994,
keluargaku memilih untuk hijrah ke Gunungkidul. Perpindahan itu pun bukan tanpa
alasan, hal ini dikarenakan maku adalah anak perempuan satu-satunya kakek, dan
harus tinggal dirumah, mau tak mau seluruh keluarga pindah ke Gunungkidul.
Jaman dahulu memang susah hidup di Gunungkidul. Masih terbayang
ketika masa paceklik itu, makan nasi jagung dengan lauk seadanya. Kadang cuma
kerupuk dan kecap, belum lagi untuk pakan ternak juga sulit. Ah, terlalu banyak
kenangan manis pahit yang aku habiskan di Gunungkidul.
Paling tidak, Gunungkidul adalah kampung halamanku, tempat
aku pulang, melepas rindu kepada bapak mamak. Terima kasih Gunungkidul
Handayani, padamu aku titipkan sebagian hati. Ada banyak cinta yang tertinggal
disana.
Selain itu, kalau membahas tentang gempa delapan tahun lalu,
ada kelucuan tersendiri. Pagi itu belum ada pukul enam, aku sudah bersiap
dengan seragam dan tinggal mengikat tali sepatu. Aku sedang duduk di pinggir
tempat tidur, menunduk untuk mengikat tali sepatu, dan saat itu ku rasakan bumi
bergoyang. Lemari dan pintu berderak keras, kontan aku segera beranjak dan
lari. Bapak dan salah satu kakakku masih tertidur lelap, lekas saja aku teriak
untuk membangunkan mereka. Tepat ketika aku sudah keluar dari pintu, bapak dan
kakakku baru saja keluar dari rumah.
Pohon bergoyang, pintu masih berderak, suara orang
berteriak, sementara aku masih sibuk dengan lututku yang tak berhenti bergetar.
Masih dalam kepanikan aku mengingat mamakku yang tengah belanja dipasar, apa
kabarnya?
Ketika bumi dirasa sudah tidak bergoyang, kami masuk ke
rumah dan bermaksud menyalakan radio. Tapi yang terdengar hanyalah suara bising
tak beraturan, mungkin gempa tadi juga sudah mengguncang studio radio tersebut.
Belum lagi salah satu kakakku yang satu ada di Jogja, kami
kebingungan mencari informasinya. Tidak ada telepon, apalagi handphone. Aku memutuskan
tetap berangkat sekolah, mengingat tidak ada banyak tanda-tanda kerusakan. Kebetulan
aku sudah selesai ujian dan hanya menyambangi skeolah saja, tapi ternyata
sekolah lekas diliburkan karena beberapa kali ada gempa susulan dan kami masih
trauma.
Selama beberapa kali kami sekeluarga bergantian jaga ketika
malam tiba. Masih takut dengan gempa. Dan tak lama, tetangga kami memberitahu
kami bahwa kakakku yang ada di Jogja dalam keadaan baik-baik saja, hanya bangunan
yang rusak.
Beberapa minggu setelah itu, bapak ikut tetangga untuk
membantu orang-orang di Bantul membangun kembali rumahnya. Pulang-pulang bapak
sakit, mamak marah, marah bukan karena murka, tapi karna kesal bapak terlalu
ngeyel untuk tetap ke Bantul meski kondisi tidak fit. Disana aku tahu kenapa
aku sekarang seperti ini, tetap memaksa bekerja meski badan sudah memberi kode
untuk istirahat.
Semua itu adalah kisah dan kenanganku ketika di Gunungkidul.
Terimakasih telah memberikan banyak kenangan, membiarkanku menjadi sebagian
kecilmu. Happy Anniversary my lovely regency.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar