Laman

Senin, 26 Mei 2014

(Bukan) Tanah Kelahiran






// happy birthday to you,
happy birthday to you,
happy birthday, Gunungkidul,
happy birthday to you... // 


Hari ini (27/5) merupakan hari jadi Gunungkidul yang ke 183. Selain memperingati hari lahir, seluruh warga juga mengenang gempa yang delapan tahun lalu meluluh lantakkan kota Jogja. Satu-satu dulu ya bahasnya, mau bahas Gunungkidul dulu. Aku sebenarnya bukan asli anak Gunungkidul, lahir aja numpang di Klaten. Maklumi, mamakku orang Gunungkidul, sementara bapakku orang Klaten.

Meski sebenarnya kedua orangtuaku menetap di Klaten, kedua kakakku lahir di Gunugkidul. Hal ini dikarenakan kakekku yang tinggal di Gunungkidul ingin cucunya lahir disana. Dan ketika ibuku hamil tua karena mengandung aku, tetangga-tetangga yang ada di Klaten langsung nyeletuk, kenapa nggak pulang ke Gunungkidul buat lahiran. Merasa disindir, mamakku memutuskan untuk melahirkanku di sana.

Dan ketika aku berumul 3 tahun, tepatnya tahun 1994, keluargaku memilih untuk hijrah ke Gunungkidul. Perpindahan itu pun bukan tanpa alasan, hal ini dikarenakan maku adalah anak perempuan satu-satunya kakek, dan harus tinggal dirumah, mau tak mau seluruh keluarga pindah ke Gunungkidul.

Jaman dahulu memang susah hidup di Gunungkidul. Masih terbayang ketika masa paceklik itu, makan nasi jagung dengan lauk seadanya. Kadang cuma kerupuk dan kecap, belum lagi untuk pakan ternak juga sulit. Ah, terlalu banyak kenangan manis pahit yang aku habiskan di Gunungkidul.

Paling tidak, Gunungkidul adalah kampung halamanku, tempat aku pulang, melepas rindu kepada bapak mamak. Terima kasih Gunungkidul Handayani, padamu aku titipkan sebagian hati. Ada banyak cinta yang tertinggal disana.

Selain itu, kalau membahas tentang gempa delapan tahun lalu, ada kelucuan tersendiri. Pagi itu belum ada pukul enam, aku sudah bersiap dengan seragam dan tinggal mengikat tali sepatu. Aku sedang duduk di pinggir tempat tidur, menunduk untuk mengikat tali sepatu, dan saat itu ku rasakan bumi bergoyang. Lemari dan pintu berderak keras, kontan aku segera beranjak dan lari. Bapak dan salah satu kakakku masih tertidur lelap, lekas saja aku teriak untuk membangunkan mereka. Tepat ketika aku sudah keluar dari pintu, bapak dan kakakku baru saja keluar dari rumah.

Pohon bergoyang, pintu masih berderak, suara orang berteriak, sementara aku masih sibuk dengan lututku yang tak berhenti bergetar. Masih dalam kepanikan aku mengingat mamakku yang tengah belanja dipasar, apa kabarnya?

Ketika bumi dirasa sudah tidak bergoyang, kami masuk ke rumah dan bermaksud menyalakan radio. Tapi yang terdengar hanyalah suara bising tak beraturan, mungkin gempa tadi juga sudah mengguncang studio radio tersebut.

Belum lagi salah satu kakakku yang satu ada di Jogja, kami kebingungan mencari informasinya. Tidak ada telepon, apalagi handphone. Aku memutuskan tetap berangkat sekolah, mengingat tidak ada banyak tanda-tanda kerusakan. Kebetulan aku sudah selesai ujian dan hanya menyambangi skeolah saja, tapi ternyata sekolah lekas diliburkan karena beberapa kali ada gempa susulan dan kami masih trauma.

Selama beberapa kali kami sekeluarga bergantian jaga ketika malam tiba. Masih takut dengan gempa. Dan tak lama, tetangga kami memberitahu kami bahwa kakakku yang ada di Jogja dalam keadaan baik-baik saja, hanya bangunan yang rusak.

Beberapa minggu setelah itu, bapak ikut tetangga untuk membantu orang-orang di Bantul membangun kembali rumahnya. Pulang-pulang bapak sakit, mamak marah, marah bukan karena murka, tapi karna kesal bapak terlalu ngeyel untuk tetap ke Bantul meski kondisi tidak fit. Disana aku tahu kenapa aku sekarang seperti ini, tetap memaksa bekerja meski badan sudah memberi kode untuk istirahat.

Semua itu adalah kisah dan kenanganku ketika di Gunungkidul. Terimakasih telah memberikan banyak kenangan, membiarkanku menjadi sebagian kecilmu. Happy Anniversary my lovely regency.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar