Yogyakarta, 2000
Namaku Akbar. Aku hanyalah
seorang pemuda desa biasa. Ingin mencari jati diri yang seolah menjauh
pergi tiap kali hampir ku mencapainya. Dalam tiap denyut nadiku, aku
selalu berharap ada cahaya terang yang menemani langkahku. Cinta, itulah
cahaya yang kumaksud. Namun bukan sekedar cinta biasa yang semu dan
sesaat. Cinta yang indah, dilandasi iman kepada sang Pencipta.
Sudah
beberapa hari ini aku diam berdiri di halte bus, menunggu angkot yang
membawaku menuju tempatku mencari ilmu. Universitas biasa yang kuharap
bisa menjadikanku manusia luar biasa. Bukan maksudnya menjadi pahlawan
bertopeng ataupun sejenisnya, yang ku maksudkan aku bisa menimba ilmu
disana dan menerapkannya di dunia nyata.
Setiap kali aku diam
berdiri di halte ini, ada seseorang yang sama, selalu duduk menyendiri
di ujung bangku panjang. Seorang gadis. Tidak begitu cantik. Bahkan jauh
untuk dibilang seksi. Tubuh yang dibungkus baju seragam putih abu-abu
dan kerudung putih itu diam memandang jauh kedepan dengan tatapan
kosong. Enggan rasa di hati untuk menyapanya. Bahkan kaki ini menahanku
pergi untuk sekedar menemaninya duduk di bangku.
Angkot yang ku nanti sudah datang. Saatnya aku pergi, dan gadis itu masih duduk sendiri.
***
Yogyakarta, 2001
Ada
hal lain yang membuatku lebih semangat untuk datang ke kampus ini.
Seorang gadis cantik nan anggun telah menantiku didepan pintu kelas,
selalu menyambutku dengan senyuman manis yang mengembang di bibirnya.
Ah,
Anisa. Gadis cantik nan anggun yang selalu membuat hatiku berbunga.
Menjadi lebih semangat untuk menjalani hidup di kampus yang begitu
keras. Dan aku menyebutnya: kekasihku.
Sebenarnya perkenalan
dengannya begitu singkat. Akupun tidak terlalu melakukan pendekatan yang
rumit. Karena aku dan dia sama-sama memiliki rasa cinta satu sama lain.
Indahnya cinta.
Kedekatanku dengannya memberikan rasa cemburu
pada kaum adam yang lain. Tentu saja menjadi hal yang wajar, gadis
secantik dan seanggun dia disayangi oleh banyak pria. Namun, aku begitu
bahagia saat tahu, aku adalah pria terpilih untuk menyebutnya sebagai
kekasih.
“Terlambat 15 menit,” gerutunya manja.
“Maaf,
terkadang angkot memang tidak tepat waktu datangnya,” sahutku sembari
tersenyum dan menggandeng tangannya. Kami masuk kelas bersamaan.
Kisah
yang kurangkai bersama Anisa memang begitu manis. Dia cinta pertamaku,
kekasih pertamaku, dan aku menginginkannya menjadi kekasihku. Meminang
gadis terindah di dunia ini. Bidadari surga pasti cemburu kepadanya.
Hingga
hari itupun tiba. Hari dimana aku harus menyadari bahwa dunia ini tak
seindah impian kita. Kenyataan bahwa tak selamanya kita mengecap hal-hal
yang manis, terkadang kita harus mencicipi pahitnya juga.
Amplop
yang kuterima dari Rahma tadi pagi, menyadarkanku bahwa aku hidup di
dunia yang begitu keras. Sesampainya dirumah, aku merobek ujung amplop
dan menarik keluar secarik kertas penuh huruf yang terangkai. Tulisan
yang begitu indah itu justru membawa kepedihan yang menyayat hatiku.
Maaf.
Hanya
itu kata yang mampu ku tuliskan untuk mewakili perasaanku padamu. Ada
banyak hal yang ingin ku jelaskan. Namun aku rasa waktu tidak
mengijinkan kita untuk berjumpa lagi dengan perasaan yang sama seperti
dahulu.
Aku meminta maafmu, karena aku tahu aku telah
menyakiti hatimu. Menorehkan luka yang begitu dalam. Sebut saja aku
tidak berperasaan, karena mungkin sebutan itu pantas untukku. Tapi aku
hanya ingin kau tahu. Dunia ini tak selalu menuruti impian kita. Ada
hal-hal lain yang berpengaruh atas keberlangsungan cerita indah yang
kita inginkan.
Aku sekarang menemukan penggantimu. Seseorang yang bisa menuntunku menuju-Nya. Dia calon suamiku.
Anisa
Airmata
benar-benar harus ku tahan. Aku tak mau menangis. Bukan salahnya, bukan
pula salahku. Aku tidak bisa menyudutkan siapa yang bersalah. Aku harus
merelakan semuanya berlalu. Meski sakit yang tertahan di hati begitu
merajam. Ah, aku tak mau bermelankolis. Cukup aku dan Dia yang tahu rasa
apa yang sedang berkecamuk dalam hati.
Pria seperti apa yang bisa
membuat hati kekasihku, ah, mantan kekasihku mampu berpaling dariku.
Apa kekuranganku? Mungkin banyak, dan aku tak tahu.
Surat itu
masih terus ku baca hingga aku sampai di halte. Rasa perih yang menusuk
semakin terasa nyeri. Aku diam memandang lalu lalang kendaraan di
depanku.
Sudut mataku menangkap sosok yang tidak asing. Gadis yang
sama. Masih duduk diam di ujung bangku. Sebenarnya rasa penasaran
selalu menggelitikku. Namun saat ini, perasaan campur aduk itu membuatku
semakin enggan untuk mendekatinya.
Gadis itu menatap tenang meski pandangannya tetap kosong.
Tiba-tiba
senyum mengembang di bibirnya. Dan entah, tiba-tiba wajah yang biasa
saja itu terlihat begitu cantik saat tersenyum. Sejenak aku terpesona
menatapnya. Gadis itu beranjak mendekati sebuah motor yang berhenti di
halte. Seorang pria mengulurkan helm padanya.
Aku mengenal pria itu. Angga. Sahabatku di kampus.
***
Sejuta
tanya tentang gadis itu tiba-tiba ingin menyeruak keluar setiap kali
aku sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatku, dan tentu saja ada Angga
disana. Tapi seperti ada yang menyumbat bibirku. Lidah ini kelu tiap
kali aku sudah merangkai kata untuk bertanya pada Angga.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu Bar?” tanya Angga ketika dia memergokiku tengah gelisah menatapnya.
“Nggak, nggak apa-apa kok,” jawabku buru-buru.
“Bahaya tuh Ngga, jangan-jangan Akbar naksir kamu,” celetuk Aryo yang kemudian disambut tawa sahabat-sahabatku.
“Kacau lo Bar, masa’ baru ditinggal Anisa aja langsung banting stir jadi suka sesama sih?” omel Angga dengan nada geli.
“Sialan kalian,” gerutuku tanpa mampu membela diri.
***
Yogyakarta, 2002
Pertanyaan
yang berkeliaran liar dikepalaku terhenti sejenak. Ketika satu cinta
yang lain datang menyapa. Aisyah. Dia adalah sahabat dari sepupuku.
Perkenalanku dengannya pun begitu singkat. Akan tetapi dari perkenalan
singkat itu, ada rasa cinta yang tercipta.
Tak jauh berbeda dengan
Anisa, Aisyah adalah putri dari seorang Kiai. Sudah pasti pengetahuan
tentang agamanya lebih dalam daripada aku. Dia juga begitu santun.
Apalagi mendengar suaranya yang lembut. Membuatku tak bisa lepas
memperhatikannya.
“Aisyah sudah punya pacar belum?” tanyaku pada Aida, sepupuku ketika aku iseng-iseng main ke rumahnya sewaktu liburan semester.
“Belum, kenapa? Kamu naksir dia?” tanya Aida. Aku hanya tersenyum geli sambil mengedipkan sebelah mataku padanya.
“Sok imut,” gerutunya.
Aneh
memang, hanya dengan hitungan bulan, aku sudah menggantikan posisi
Anisa dihatiku dengan nama Aisyah. Mungkin benar kata sahabat-sahabatku,
untuk bisa melupakan sakit hati adalah dengan jatuh cinta lagi.
Aku
hanya bisa sebulan sekali bertemu dengannya, itu karena rumahnya
berbeda kota denganku. Bahkan pernah aku menemuinya dua bulan sekali
karena tugas kuliah yang menuntutku untuk terjun langsung ke beberapa
daerah untuk observasi penelitian.
Selama ini hubunganku dengannya
baik-baik saja, namun kerenggangan mulai terasa ketika ia memutuskan
untuk belajar di pondok pesantren yang tempatnya cukup jauh. Butuh waktu
sehari semalam untuk sampai kesana.
Aku tentu tidak bisa turut
campur dalam pilihannya, karena dia masih tanggung jawab orangtuanya.
Aku hanya bisa mengikhlaskannya belajar di tempat yang jauh dariku. Aku
tahu, ini untuk kebaikannya. Semoga Aisyah nanti menjadi wanita sholehah
yang menjadi perhiasan dunia.
“Tiap kali lebaran aku pasti
pulang,” janjinya padaku saat aku turut mengantarkannya ke stasiun. Aku
hanya tersenyum penuh harap.
***
Yogyakarta, 2003
Masih
dengan kegiatan yang sama, tiap pagi pasti aku sudah ada di halte ini,
menunggu angkot. Dan gadis yang dulu itu tak lagi berseragam putih
abu-abu. Baju yang dikenakannya sama seperti anak-anak kuliahan. Dia
masih duduk diam memandang lurus ke depan.
Sudut mataku menangkap
sebuah amplop merah jambu di tangannya. Tangannya bergetar lembut.
Sepertinya dia sedang gelisah. Beberapa kali aku melihat ia menggigit
bibir bawahnya. Mungkin dia benar-benar gelisah atas sesuatu.
Tapi fikiranku pada Aisyah mengalahkan rasa penasaranku padanya. Sekali lagi gadis itu kalah atas satu cinta dihatiku.
Lebaran
tahun ini semakin terasa indah daripada sebelumnya. Setahun tak bertemu
membuat rasa kangen serasa akan membunuhku. Aneh memang rasa kangen
itu, antara sakit dan bahagia. Dan malam ini, aku lepaskan rasa kangen
itu bersamanya.
Di bawah langit malam yang tak hanya bertabur
gemerlap bintang, tapi juga ditambah warna-warni kembang api. Indahnya.
Aku dan Aisyah duduk berdua di teras rumahnya, sementara ayah dan ibunya
duduk di ruang tengah, sedang menonton televisi.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku ketika dia duduk di sampingku,
“Alhamdulillah, baik,” jawabnya singkat,
Rasanya
tak percaya bisa bersanding lagi dengannya. Tapi memang ini bukanlah
sekedar mimpi, ini nyata. Kerinduanku sirna sudah, terobati dengan
hadirnya dia di sisiku.
Meski kadang aku merasa ada yang aneh
dengannya sikapnya yang kaku dan sedikit canggung, tapi coba ku redam
kegelisahanku dengan terus mencoba ngobrol dengannya. Aku hanya punya
kesempatan untuk duduk berdua dengannya malam ini, esok dia harus
kembali ke pondok pesantren.
Malam ini aku mimpi indah.
Pagi hari, aku sudah datang ke rumah Aisyah, membantunya
packing.
Hanya aku seorang yang mengantarnya ke stasiun, karena ayah dan ibunya
harus tinggal di rumah karena ada saudaranya yang akan berkunjung.
Turun
dari bus, ku bawakan tas dan kopernya. Dia diam mengekor dari belakang.
Aku hanya tersenyum melihatnya masuk ke gerbong kereta.
“Aku akan menunggu kedatanganmu lagi,” ucapku sebelum kereta benar-benar berangkat.
Aisyah hanya tersenyum tipis dan menunduk.
***
Yogyakarta, 2004
Assalamu’alaikum wr. wb.
Bersama
dengan surat ini aku minta maaf. Mungkin ini akan menyakitimu, tapi ini
pilihanku. Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak bisa lagi meneruskan
hubungan kita. Aku sudah memilih putra Kiai di pondok pesantrenku
sebagai penggantimu, namanya Gus Alif. Jika kau berkenan, suatu saat
nanti akan ku kenalkan padamu. Afwan.
Wasalamu’alaikum wr. wb.
Aisyah
Surat yang sampai ditanganku kemarin siang masih saja kubaca. Surat
permintamaafan lagi. Meminta maaf itu mudah, tapi untuk memaafkan, itu
masih terlalu sulit bagiku. Ku buka laci meja belajarku, disana
bersemayam surat dari Anisa beberapa tahun yang lalu, dan kini surat itu
tak lagi sendiri. Surat dari Aisyah ini akan menemaninya.
Pagi itu aku benar-benar kacau, sekacau rasa dihatiku. Padahal siang nanti ada ujian pendadaran. Sial.
Sesampainya
di halte, aku duduk sambil menunggu angkot yang akan membawaku ke
kampus datang. Sudut mataku menangkap sosok yang membuat banyak
pertanyaan di benakku. Amplop berwarna merah jambu itu masih setia di
genggamannya. Sudah tidak karuan bentuknya. Mungkin karena terlalu
sering dia genggam, maka membuat surat itu kian lusuh termakan waktu.
Aku
sedikit penasaran, surat itu dia tujukan untuk siapa? Sudah setahun
lebih sejak aku pertama kali melihat surat itu, hingga sekarang masih
setia dia genggam. Itu surat untuk siapa ataukah surat dari siapa?
Pertanyaanku
kembali terhenti sejenak di benakku karena angkot yang kunanti sudah
datang. Ku langkahkan kakiku menuju angkot tersebut. Akan tetapi sebuah
tarikan kecil di lengan bajuku membuatku terhenti. Aku menengok, siapa
yang menghentikan langkahku.
Nampak gadis yang tadinya duduk di
ujung bangku sudah ada di belakangku, dia mengulurkan surat beramplop
merah jambu padaku. Surat yang telah lusuh itu.
“Buat aku?” tanyaku tak percaya.
Gadis
itu mengangguk. Ku ambil surat tersebut dari tangannya, belum sempat
aku menanyakan hal yang lain, dia sudah kembali duduk di ujung bangku
sembari menunduk. Masih dengan penasaran, aku masuk ke dalam angkot
sambil terus memandangi surat tersebut.
Tentu saja penasaran,
kenapa? Karena aku tidak mengenal siapa gadis itu. Dengan acuh tak acuh,
ku masukkan surat tersebut ke dalam tas. Pikiranku sedang kacau karena
Aisyah, karena ujian pendadaran, kini ditambah rasa penasaran atas surat
ini.
***
Yogyakarta, 2005
Akhirnya
aku wisuda. Dan sudah sejak sebulan yang lalu aku bekerja, tapi aku
masih merasa ada yang belum bisa ku capai. Cahaya yang dulu ku impikan
itu belum juga datang. Cahaya yang bernama cinta berlandaskan taqwa
kepada sang Pencipta.
Mungkin Anisa dan Aisyah terlalu sempurna
untuk ku miliki. Mereka sudah bahagia dengan pilihan mereka
masing-masing. Dan tinggal aku yang harus tersenyum melihat senyum
mereka yang terkembang karena orang lain. Mungkin aku harus menyerah
dengan keinginanku melalui jalan hidupku dengan cahaya itu.
Ku
buka laci meja belajarku. Ada dua surat disana, berdampingan. Surat dari
Anisa dan Aisyah. Surat yang beberapa tahun yang lalu sempat mengoyak
hatiku, menghancurkan perasaanku. Dan surat itu hanya tinggal prasasti
perjalanan hidupku. Semoga tidak ada surat sejenis di kemudian hari.
Surat?
Aku
teringat dengan surat merah jambu yang belum sempat ku baca. Surat yang
telah lusuh dimakan waktu. Surat yang terselip dalam tasku.
Surat
itu masih ada di dalam tasku, semakin tak karuan bentuknya. Ku buka
perlahan kertas merah jambu itu, hanya ada sepenggal kalimat yang
tertera disana. Bergetar hatiku membacanya.
Aku ingin kamu menjadi imamku
***
Yogyakarta, 2006
Sejak
pagi tadi aku tidak melihat gadis yang memberikanku surat merah jambu
di halte ini. Rela ku bolos kerja hari ini, ku katakan kepada pak Alan
bahwa aku sakit sehingga tak bisa pergi ke kantor. Diam berdiri di
halte membuatku bosan.
Aku segera menuju kantor Angga. Kebetulan sekali Angga tidak sedang dinas keluar kota.
“Tumben kemari, ada apa Bar?”
“Aku mau tanya sesuatu, sebenarnya aku sudah lama pengen tanya tentang ini, tapi aku bingung,”
“Tanya apa? Jangan belibet kayak cewek,”
“Cewek yang selalu kamu jemput di halte itu siapa sih?”
Angga bengong sejenak sebelum menjawab pertanyaan dariku.
“Sori, kalau itu cewekmu, aku nggak akan tanya-tanya lagi deh,” buru-buru ku tambahkan, takut Angga salah paham.
Di luar dugaan, Angga tertawa tergelak-gelak.
“Oh, Amanda? Dia adikku, kenapa?”
“Adikmu?” tanyaku tak percaya,
“Iya, kenapa, nggak percaya?”
“Lalu kenapa dia harus menunggu di halte, bukannya rumahmu deket dengan halte,”
Angga
tersenyum. Dengan sedikit geli dia ceritakan tentang Amanda.
Amanda
lebih suka duduk di halte sembari menunggu Angga mengantarkannya ke
sekolah. Angga sendiri juga heran mengapa adiknya bertingkah seperti
itu. Namun rasa penasaran Angga terhenti ketika melihat buku harian
adiknya. Disana selalu ia tuliskan bahwa ia melihat malaikat di halte.
“Siapa malaikat yang kau lihat di halte, Dik?” tanya Angga suatu hari pada adiknya.
Wajah Amanda merona merah.
“Darimana kakak tahu aku melihat malaikat di halte?”
“Maaf, kakak lancang membaca buku harianmu, kakak penasaran kenapa kamu selalu menunggu kakak di halte,”
Amanda tersenyum sambil menunduk.
“Dia malaikat kak, pertama kali melihatnya, dia terlihat begitu indah, aku menyukainya,”
“Siapa namanya?”
“Aku tidak tahu kak, aku malu untuk berkenalan dengannya,”
“Lewat surat saja, berikan padanya, siapa tahu dia mau mengenalmu lebih dekat,”
Sayangnya
hingga Amanda kuliah, dia belum bisa mengenal malaikat yang selalu dia
lihat di halte. Angga melihat sendiri, setiap kali dia mengantar Amanda,
surat merah jambu itu selalu ada di genggamannya.
“Dimana adikmu sekarang?” tanyaku cepat, memotong ceritanya.
“Kenapa?” tanya Angga penasaran,
Belum
sempat aku menjawab pertanyaan Angga, pintu ruang kerja Angga terbuka,
muncul sosok yang sangat ku kenal. Dia masuk sembari membawa sekotak kue
brownies. Senyumnya terlihat begitu ceria, membuat wajahnya terlihat
begitu cantik.
Aku beranjak dari dudukku. Amanda terlihat begitu
terkejut melihatku ada di ruang kerja kakaknya. Senyumnya menjadi kaku,
lalu perlahan dia mendekati kakaknya.
“Cobain kak, ini bikinanku lho,” ucapnya manja. Suaranya menggelitik indraku.
Angga mengambil kotak kue dari tangan Amanda, kemudian membukanya. Angga menatapku,
“Mau coba, Bar? Mumpung gratis,” ucap Angga, aku tersenyum dan mengambil sepotong brownies dari kotak kue yang di pegang Angga.
Sebelum potongan kue itu masuk ke mulutku, ku lirik Amanda, dia terlihat begitu tegang dan salah tingkah.
“Manis, kayak yang bikin,” ucapku setelah menelan potongan kue tersebut.
Amanda memandangku dengan wajah berbinar.
“Yang bener?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menganggukkan senyum padanya.
“Tapi ada sedikit pahit sih,” ucapku.
Ku tatap wajahnya, ada sedikit rasa kecewa di raut mukanya. Sangat terlihat dia kecewa.
“Mungkin itu rasa pahit dari sebuah penantian yang tak pasti,” lanjutku,
Wajahnya berubah merah. Aku tahu dia malu. Sementara Angga masih belum paham dengan tingkah laku kami yang aneh.
“Kalian ngomongin apa sih?”
Aku menarik sepucuk surat merah jambu dari saku celanaku. Entah seperti apa bentuknya, aku tidak peduli.
“Ijinkan aku menjadi imammu,”
***
Yogyakarta, 2007
Dan
kini aku pahami, bukan aku yang seharusnya mencari cahaya itu. Tapi aku
yang harus menghadirkan cahaya tersebut. Mungkin aku tidak berjodoh
dengan Anisa dan Aisayah karena mereka adalah cahaya bagi orang lain,
dan mungkin aku harus menjadikan Amanda cahayaku. Menjadikannya cahaya
penerang jalan hidupku. Dan cinta itu hadir, kami rangkai bersama.
Menjadi imamnya sama saja membawa sebuah nyala obor di kegelapan jalan
kami.
Insya Allah, cahaya itu selalu ku genggam menuju surga-Nya.
*) Kalau dikembangin jadi novel, seru nggak yaw??? Coz, ni masih ngambang, belum keliatan asyik klo jadi cerpen.... Hehehhe.. ^^