Membahas Kartini seakan tidak ada habisnya, tiap setahun
sekali selalu ada satu hari dimana pembahasan tentang Kartini terus dikuliti. Mulai
dari pemikirannya mengenai emansipasi wanita yang hingga hari ini masih saja
nampak kabur.
Bagaimana tidak, perempuan jaman sekarang salah kaprah menanggapi
keberadaan emansipasi. Kesetaraan gender katanya. Mereka menuntut laki-laki
untuk menganggap tingkatan mereka sama, namun tetap saja perempuan selalu
menganggap bahwa laki-laki yang membiarkan wanita bekerja adalah sebuah
kejanggalan.
Itu hanya sebagian kecil dari keambiguan emansipasi. Bukan maksud
aku menyalahkan perempuan, hanya mencoba membimbing pandangan mereka mengenai
emansipasi yang terus saja mereka perjuangkan, namun ketika mereka dapatkan,
dicampakkan begitu saja.
Dewasa ini, perempuan sudah mendapatkan kebebasan untuk
mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, mendapatkan pekerjaan diluar rumah,
dll. Apalagi yang kurang? Apalagi yang mereka inginkan? Kesetaraan yang seperti
apalagi yang belum mereka dapatkan?
Yang menjadi pertanyaan aku disini sebenarnya adalah, kenapa
harus selalu membahas emansipasi di hari Kartini? Kemudian jawaban klise
muncul, karena Kartini adalah tokoh emansipasi wanita, tokoh yang menginspirasi
perempuan Indonesia untuk memberontak kodrat mereka.
Ya, mereka yang dulunya hanya sebagai konco wingking, kini
sudah bisa menjadi seorang direktur dimana karyawannya mungkin saja sebagian
besar adalah kaum Adam. Boleh saja berbangga diri, bagaimana tidak bangga? Mereka
telah berhasil memperjuangkan emansipasi yang digadhang-gadhang Kartini sejak
dulu.
Tapi, apakah pembahasan mengenai Kartini hanya sebatas emansipasi
atau kesetaraan gender? Tidak kan? Pembaca pasti mengerti latar belakang
Kartini yang masih mengalir darah biru ditubuhnya, dengan gelar Raden Ajeng,
Kartini adalah perempuan bangsawan. Dalam diri seorang bangsawan selalu
menjunjung tinggi adat budaya dan tata krama.
Kembali lagi membahas emansipasi, itu memang melanggar adat
budaya jamannya. Tapi, menurut pandanganku, Kartini tengah membentuk budaya
baru, budaya belajar. Belajar tentang apapun, sehingga perempuan tidak dianggap
lagi sebagai kaum rendah dan lemah.
Tapi mengenai tata krama, ternyata sedikit terlupakan dari
pembahasan emansipasi. Perempuan boleh saja memiliki pangkat lebih tinggi dari
laki-laki, tapi secara kodrat mereka tetap mengabdi kepada laki-laki. Keadaan seperti
itu tidak dapat diubah, sudah paten.
Sebenarnya aku ingin mengalihkan pembicaraan dari emansipasi
yang ujung-ujungnya hanya membahas kesetaraan gender yang ambigu antara
perempuan dan laki-laki, kemudian kita berbicara tentang tata krama, tentang
perempuan itu sendiri.
Masih ingat dengan peristiwa kecaman media sosial kepada
Dinda yang marah kepada seorang ibu yang tengah hamil karena menyerobot tempat
duduknya. Banyak yang menghujatnya, ada pula yang membelanya, yang cuek dan tak
acuh pun tentu saja ada. Melihat hal ini, sudah sepatutnya kah perempuan
menuntut emansipasi? Sementara dengan sesamanya masih saling menghujat dan
membedakan?
Kasus ini sebaiknya dipandang dari berbagai macam pandangan,
maka akan tertemu apa yang sebenarnya harus diperbaiki.
Ketika Dinda melihat kasus ini dari sisinya sendiri, maka
sudah pasti ibu itu salah karena menyerobot tempat duduknya. Ditambah dengan
pembelaannya dimana dia juga tengah sakit karena tulangnya bergeser sehingga membuatnya
harus bangun pagi kemudian mengarungi jarak dengan berganti-ganti angkutan,
maka dia merasa keadaan tersebut tidak adil. Dia yang sudah berupaya sekeras
itu harus menelan ludahnya ketika mendapati harapannya sia-sia.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang ibu hamil, maka kasus
tersebut memang seharusnya terjadi. Terbayang kan seberapa beratnya beban ibu
hamil? Perutnya membesar, belum lagi lelah dan letih yang mudah menghampiri,
sudah pasti mendapatkan hak yang lebih istimewa. Sudah sering mendengar kan
kisah seorang ibu hamil ngidam kemudian mendapatkan hal yang ia idamkan secara
cuma-cuma? Seperti itulah istimewanya mereka. Berat loh menyimpan satu nyawa
yang dititipkan sang Khalik.
Apabila dilihat dari pandangan masyarakat, sudah pasti akan
berpihak kepada ibu hamil, seperti apapun itu keadaannya. Ada beberapa orang
yang mengatakan bahwa memang kerap ada orang yang berpura-pura hamil hanya
untuk mendapatkan tempat duduk, menyebalkan memang. Tapi hati nurani tak pernah
dapat diingkari, benar atau tidak kehamilan itu, secara fisik orang tersebut
akan mendapatkan perlakuan istimewa.
Nah, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum sosial itu lebih
kuat dan lebih kejam. Sebagai seorang perempuan, sudah pasti hati nuraninya
tergerak untuk menolong kaumnya apabila mendapatkan kesusahan. Hanya saja,
dalam kasus ini, kedua wanita ini sama-sama mendapat kesusahan. Jadi sebenarnya
siapa yang salah?
Sebelum pembaca menghakimi siapapun, entah itu Dinda atau
pun ibu yang hamil, perhatikan lah, dari sekian banyak orang yang duduk disana
apakah semuanya hamil? Apakah semuanya sakit? Tidak kan? Jadi kenapa bukan
mereka yang membagi tempat duduk?
Semua kembali kepada pribadi masing-masing. Dengan semangat
Kartini ini, hari ini, bulan ini, tahun ini, mari kita merenungi, bahwa bukan
hanya emansipasi yang harus kita capai, tapi juga kemaslahatan bersama antar
sesama wanita.
Seorang wanita tidak
akan membiarkan wanita lain menderita.
Kalimat tadi petikan dari salah satu judul film India
favorit saya.